Thrills or Bills? : Menganalisis Perilaku Ekonomi dalam Fenomena Judi Online, Celah antara Rasionalitas dan Kepuasan

Author: Nawfal Aulia Luthfurrahman dan Cynthia Aretha Pratiwi Antonius

 

PENDAHULUAN

Indonesia sempat dihebohkan dengan viralnya salah satu anggota DPRD DKI Jakarta fraksi PDIP yang bermain judi slot di tengah berlangsungnya rapat paripurna. Kendati demikian, yang bersangkutan tetap berdalih bahwa ia sedang bermain games kala itu. Hal ini sontak membuat DPP PDIP bertindak tegas dan memberikan sanksi keras terhadap kadernya berdasarkan rapat pleno yang diadakan pada tanggal 25 Juli 2023 (CNN Indonesia, 2023). Keadaan seperti ini tentu menimbulkan sebuah pertanyaan besar, apakah perjudian khususnya judi online yang dibungkus dengan permainan slot menjadi sebuah hal yang ‘lazim’ bagi sebagian besar masyarakat Indonesia? Dan bagaimana pengaruh judi dari sudut pandang perilaku ekonomi? 

Jika dilihat dari kacamata sejarah, Indonesia pernah melegalkan dan meregulasi perjudian. Perjudian legal di Indonesia pertama kali hadir di kota Jakarta dalam masa pemerintahan Ali Sadikin yang kala itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada tahun 1966 hingga 1977. Kondisi Jakarta pasca kemerdekaan membutuhkan pembangunan infrastruktur dan pendidikan dikarenakan masifnya peningkatan jumlah penduduk Jakarta yang bahkan lebih dari total penduduk negara Singapura kala itu. Dikarenakan keterbatasan dana APBD bagi kota Jakarta yakni hanya senilai 66 Juta Rupiah (Paramita Widyaningrum, 2013), Ali Sadikin kemudian melegalkan dan meregulasi judi dengan catatan melarang seluruh perjudian gelap di wilayah DKI Jakarta. Tak lama setelah itu, hadirlah kasino legal pertama di kawasan Petak Sembilan No. 52, Jakarta Barat.  

Selama 11 tahun mendapatkan aliran dana pajak dari kasino, Ali Sadikin mengklaim telah membangun 2400 gedung sekolah, 1.200 kilometer jalan raya, memperbaiki desa, dan infrastruktur lainnya dengan uang hasil perjudian legal. Dia berhasil meningkatkan APBD yang semulanya Rp66 Juta rupiah menjadi Rp116 Miliar di masa akhir jabatannya. Namun saat ini, perjudian merupakan hal ilegal yang berkembang di Indonesia. Fakta bahwa lebih sulit untuk meregulasi judi dikarenakan pemerintah harus mertimbangkan perlindungan konsumen dari judi yang bersifat fraud (penipuan) membuat pemerintah kemudian melarang adanya judi di Indonesia. Namun pelarangan ini justru menjadi bumerang dan ironi, tatkala beberapa oknum institusi dan pemerintah juga melakukan perjudian ilegal tersebut yang sekarang kemudian dikemas ke dalam berbagai games dalam penipuan judi online.

 

PEMBAHASAN

Gambar 1.1 Nilai Transaksi Judi online di Indonesia per Tahun (2017-2022)

Sumber: Muhamad, N. (2023, September 27). Tren Judi online di Indonesia Terus Meningkat, Nilainya Tembus Rp100 T pada 2022. Katadata.co.id; Databoks https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/09/27/tren-judi-online-di-indonesia-terus-meningkat-nilainya-tembus-rp100-t-pada-2022

Berdasarkan grafik di atas, tren judi online di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun dengan rekor tertinggi yang berada pada tahun 2022 dengan nilai total perputaran uang mencapai Rp190 triliun. Dilansir dari data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), selama periode 2017-2022 ada sekitar 157 juta transaksi judi online di Indonesia yang dianalisis dari 887 pihak yang termasuk dalam jaringan bandar judi online (PPATK, 2023). Mayoritas perputaran aliran dana dilakukan untuk taruhan, membayar kemenangan, hingga kasus pencucian uang yang dilakukan oleh sindikat bandar judi yang berbentuk seperti lingkaran setan karena dalam hal ini uang hanya berputar terus menerus tanpa ada untungnya untuk negara dan sangat berbanding terbalik ketika judi adalah hal yang legal di Indonesia.

Data perputaran uang yang meningkat tentu mengindikasikan bahwa hingga sekarang perjudian adalah hal yang secara masif menyangkut kehidupan sebagian masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan yang ada. Dilansir dari data yang disampaikan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana (25/9/2023), dapat diidentifikasi sebanyak 2.761.828 masyarakat Indonesia yang terlibat judi online dalam rentang tahun 2017-2022. Fakta menarik adalah bahwa sebanyak 77% dari total pelaku judi online yakni sebanyak 2.190.447 melakukan aktivitas pertaruhan dengan nominal kecil yakni di bawah Rp100 ribu. Mayoritas mereka merupakan golongan warga berpenghasilan rendah yang memiliki profil sebagai pelajar, mahasiswa, buruh, petani, ibu rumah tangga, dan pegawai swasta. Dari pola ini, dapat kita simpulkan bahwa target utama dari judi online adalah masyarakat berpenghasilan rendah dengan edukasi yang minim terkait bahaya judi (gambling-harms) dan rasionalitas. Namun, tetap saja pelaku judi online di Indonesia datang dari berbagai kalangan. Untuk lebih memudahkan dalam menganalisis, kami menggolongkan setiap target judi online ke dalam empat klasifikasi kuadran yang berbeda dalam bentuk matriks.

Gambar 1.2 Analisis Empat Kuadran Pelaku Judi 

Sumber: Ilustrasi Penulis

Secara sederhana, kita dapat mengasumsikan bahwa di dunia ini hanya ada dua klasifikasi keluarga yakni keluarga miskin dan kaya. Katakanlah bahwa keluarga miskin adalah mereka yang hanya memiliki pendapatan perbulan senilai < Rp1 Juta diasumsikan pula mereka menghabiskan hampir setiap hari memasang taruhan bodoh di bawah Rp100 ribu dan berharap keuntungan secara instan tanpa mengetahui bahwa mereka terjebak penipuan karena minimnya edukasi. Hal ini kemudian dapat membawa mereka untuk tidak bisa memenuhi kebutuhan dengan  prioritas utama sehingga mereka yang semulanya miskin menjadi tambah miskin akibat judi online. Sedangkan keluarga kaya adalah mereka yang diasumsikan berpenghasilan Rp100 Juta. Keluarga ini memandang bahwa judi hanyalah sarana hiburan semata sehingga jika mereka mengeluarkan jumlah taruhan yang sama  yakni Rp100 ribu rupiah dan mereka kalah dalam beberapa pertandingan, hal ini kemudian tidak secara signifikan mempengaruhi kehidupan keluarga kaya. Dari analogi di atas, mari kita menganalisis lebih dalam segmentasi dari orang-orang yang terdapat dalam setiap kuadran pelaku judi.

Klasifikasi kuadran pertama (A1) adalah pelaku judi berpenghasilan tinggi (menengah ke atas) dan memiliki edukasi. Parameter berpenghasilan tinggi yang dipakai adalah PDB per kapita dimana berdasarkan data terakhir yang dilansir pada tahun 2022,  Indonesia termasuk negara berpendapatan menengah ke atas dengan PDB per kapita sebesar US$ 4.783 (CEICdata.com, 2023). Oleh karena itu, masyarakat yang memiliki penghasilan rata-rata >US$ 4.783 dapat dikategorikan sebagai masyarakat menengah ke atas. Sedangkan parameter edukasi yang dipakai adalah mereka yang memenuhi syarat wajib belajar 12 tahun serta diasumsikan memiliki pengetahuan yang baik terkait kesadaran akan resiko, pemikiran rasionalitas dalam pengambilan keputusan, serta literasi keuangan.

Pelaku judi dalam kuadran A1 adalah mereka yang memandang judi sebagai hiburan dan aktivitas yang dapat mengisi waktu luang semata. Mereka paham bahwa judi  sebenarnya merupakan fraud (penipuan), sehingga mereka tidak berharap akan ‘memenangkan’ judi online tersebut. Orang-orang dalam kuadran pertama ini juga mereka yang lebih tertarik untuk bermain langsung secara tradisional dalam sebuah kasino ketimbang mengakses website secara online (Giuliano Resce et al., 2019). Dan dapat diasumsikan bahwa mereka adalah gamblers yang tidak segan-segan mempertaruhkan nominal yang besar dalam alur permainan. Sehingga jika kalah, mereka tidak terlalu menganggap serius dan hal ini tidak memiliki dampak signifikan terhadap mentalitas karena motivasi atau tujuan utama mereka adalah bersenang-senang dan sisa uang mereka masih sangat banyak. Dan kemungkinan sebagian besar dari mereka bahkan tidak bermain judi secara online karena telah mengetahui bahwa hal tersebut merupakan penipuan dan tidak ada gunanya (rational gambling).

Klasifikasi kuadran kedua (A2) adalah pelaku judi berpenghasilan tinggi namun tidak memiliki edukasi/pengetahuan. Jika kita memperhatikan polanya, kebanyakan orang yang berada di kuadran ini adalah mereka yang terlahir dalam keluarga dan lingkungan yang sudah mapan sehingga mereka tidak memiliki urgensi untuk berkontribusi mewujudkan target karir karena mereka sudah menganggap diri mereka financially secured atau mapan dari segi finansial. Dapat diasumsikan karena minimnya edukasi yang mereka miliki, pelaku judi online dalam kuadran ini menganggap bahwa judi tidak semata-mata hanya sebuah permainan namun berharap dapat membuat mereka semakin kaya. Sehingga mereka semakin sering melakukan judi tanpa mengetahui bahwa itu adalah fraud. Akibatnya mereka dalam kuadran ini memiliki tingkat adiksi yang tinggi terhadap judi.

Klasifikasi kuadran ketiga (A3) adalah pelaku judi berpenghasilan menengah ke bawah namun mereka memiliki pengetahuan yang mumpuni mengenai rasionalitas. Mereka juga paham betul bahwa judi online sebenarnya merupakan fraud. Karena mereka berpenghasilan menengah ke bawah (pendapatan terbatas) dan diasumsikan bahwa mereka juga harus memenuhi kebutuhan dalam skala prioritas mereka. Maka judi online bukanlah hal yang harus dilakukan. Sehingga, orang-orang dalam kuadran ini adalah mereka yang tidak mau atau bahkan tidak pernah bermain judi online.

Kuadran A4 yang terdapat pada posisi terakhir namun menduduki posisi pertama terkait dampak negatif judi dari berbagai sisi adalah pelaku judi yang berasal dari kalangan menengah kebawah dengan asumsi pendapatan <US$ 4.783 dan tidak memiliki pengetahuan yang kurang bahkan tidak sama sekali akan kesadaran risiko, rasionalitas, dan keuangan. Minimnya pengetahuan dan kualitas SDM ini pula yang membawa kalangan ini mendapatkan income yang relatif rendah karena mereka dianggap kurang memiliki value. Hal ini kemudian menciptakan sebuah celah. Mereka menganggap bahwa judi hadir sebagai sebuah kesempatan emas bagi mereka untuk keluar dari lingkaran kemiskinan tersebut. Mereka berharap bahwa dengan mempertaruhkan sedikit uang yang mereka miliki dapat mengubahnya menjadi jumlah yang besar sehingga mampu merubah kondisi finansial mereka tanpa mengetahui bahwa judi online yang mereka lakukan adalah sebuah penipuan. Hal ini yang kemudian membuat orang-orang di kuadran A4 mempertaruhkan uang dalam nominal kecil namun terus menerus sehingga 77% total pelaku judi di Indonesia (2,1 juta) berasal dari kaum ‘miskin’ baik secara finansial, pengetahuan, dan mentalitas (PPATK, 2023) Sehingga hal inilah yang kemudian membuat mereka jatuh dalam adiksi perjudian.

Dalam analisis empat kuadran pelaku judi, dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan dan pendapatan sangat mempengaruhi cara pelaku judi dalam setiap kuadran melihat perjudian. Celah dan perbedaan paling signifikan adalah mereka yang berada di kuadran A1 (high income and educated) menganggap judi semata-mata hanya sebagai sebuah bentuk hiburan sedangkan mereka yang berada di kuadran A4 (low income and uneducated) memiliki harapan yang besar akan memenangkan judi tanpa tahu bahwa hal tersebut merupakan penipuan.

Meskipun ada beberapa teori secara rinci yang menjelaskan mengenai pendekatan matematika dan statistika mengenai perjudian yang dilakukan secara fair dan legal, dalam esai ini kami lebih menyoroti bagaimana orang yang terlibat perjudian sebagai individu memilih untuk terlibat di dalamnya. Sebagaimana kita pelajari dalam teori ekonomi yang mengasumsikan bahwa semua orang bertindak rasional dan selalu memilih keputusan yang paling optimal sepanjang waktu. Namun manusia, seperti yang kita ketahui, tidak selalu bertindak rasional dan rentan terhadap kesalahan serta impulsivitas emosional yang berkaitan dengan kepuasan. Lantas yang kemudian menjadi pertanyaan adalah bagaimana manusia yang awalnya berdinamika selalu bertindak rasional malah terjebak ke dalam perangkap judi online?

Dalam setiap proses industri judi online, pengaruh bandar sangat penting untuk mengarahkan rasionalitas korban agar menguntungkan mereka. Hal ini terjadi sejak mereka mempromosikan situs web perjudian mereka, para korban mulai mengakses situs web mereka, hingga sebagian besar korban terjebak, yang telah diatur oleh bandar. Sebagian besar penipuan ini berkembang secara dinamis di industri judi online  karena lebih mudah bagi bandar judi untuk memodifikasi, membuat, dan mengatur algoritma berdasarkan keinginan mereka daripada perjudian tradisional. Bandar judi menganalisa dan mengeksploitasi perilaku ekonomi korban mereka sehingga mereka dapat merancang mekanisme yang paling menguntungkan. 

Pertama, bandar melakukan promosi produk besar-besaran dengan menyewa beberapa tokoh masyarakat untuk mendukung produk mereka atau membayar beberapa platform untuk mempromosikan produk mereka. Bandar judi bertujuan untuk membiasakan produk mereka dengan calon pengguna mereka, yang sebagian besar dari mereka adalah konsumen atau penggemar figur publik tersebut. Keterkaitan antara penggemar dan figur publik ini adalah sesuatu yang dilihat oleh bandar judi. Fenomenanya disebut sebagai paparan belaka, fenomena kuat yang dapat terjadi bahkan dengan rangsangan yang sudah dikenal, dan tingkat keakraban yang tinggi menghambat reaksi afektif utama dan “menggantikannya” dengan evaluasi yang lebih sadar dan kognitif (Ye, G., & Raaij, W., 1997). “Evaluasi yang lebih sadar dan kognitif” didefinisikan sebagai istilah untuk keputusan irasional yang dibuat oleh calon pengguna. Karena sebagian besar calon pengguna didorong oleh narasi di media sosial, menunjukkan judi online sebagai hal yang biasa dan menormalkannya tanpa keputusan rasional lebih lanjut. Selanjutnya, bandar judi juga menyediakan seratus tautan situs web untuk memastikan aksesibilitas web mereka.

Aksesibilitas adalah langkah ekstensi yang diambil oleh bandar judi untuk mendapatkan keuntungan dari pengguna potensial mereka. Tepat setelah mereka mempromosikan situs web mereka, jelas mereka akan mendistribusikan produk mereka untuk mengkapitalisasi produk mereka. Untuk memuaskan utilitas pengguna, bandar judi membuat tautan situs web yang sangat besar baik untuk menjaga stabilitas server mereka atau untuk menghindari penghambatan pemerintah. Meskipun ilegal, metodenya diterima secara luas oleh sebagian besar industri judi online . Karena menjadi lebih praktis, sebagian besar bandar judi berlomba untuk membuat produk mereka lebih mudah diakses oleh semua kelas sosial ekonomi di negara ini. Akibatnya, banyak pengguna media online yang sebelumnya hanya mendapatkan informasi mengenai judi online , kini dapat dengan mudah mengakses website tersebut (Franke, N.,et al, 2009).

Kedua, ketika bandar judi telah berhasil menarik para korbannya, mereka kemudian mencoba memanipulasi korbannya melalui ekspektasi ataupun harapan dari percobaan yang mereka lakukan. Beberapa bandar judi melakukan manipulasi dengan memberikan kemenangan bagi para penggunanya untuk mempengaruhi rasionalitas mereka agar terus meningkatkan nilai percobaannya hingga titik dimana mereka akan dikalahkan oleh bandar. Manipulasi ini dilakukan oleh bandar melalui pemahaman mereka tentang prospect theory pada economic behavioral

Prospect theory  pertama kali diperkenalkan oleh Amor Tversky dan Daniel Kahneman pada tahun 1979. Teori ini menjelaskan bahwa ketika seseorang akan cenderung untuk menghindari kerugian dalam jumlah yang lebih kecil dibandingkan ketika mereka diberikan pilihan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar meski mendapatkan kerugian yang lebih besar. Hal ini dapat diilustrasikan dengan kondisi ketika seseorang diberi pilihan untuk mendapatkan $50 secara gratis atau $60.25 dengan peluang 80% maka mayoritas akan memilih untuk mendapatkan $50 dibandingkan $60.25 meski keduanya memiliki nilai valuasi yang sama $50. Akan tetapi, ketika diberikan pilihan untuk mendapatkan $50 secara gratis atau $1,000 dengan peluang 0,5%, maka untuk pertama kalinya mayoritas akan memilih untuk mengambil resiko untuk mendapatkan $1,000 (Wendover Production, 2018).

Gambar 1.3 Grafik Prospect Theory

Sumber: Boyce, P. (2020, October 21). Prospect Theory: Definition & Examples. BoyceWire; BoyceWire. https://boycewire.com/prospect-theory-definition-and-examples/

Perilaku untuk mengambil risiko dalam jumlah yang lebih besar inilah yang pada akhirnya dimanfaatkan oleh bandar judi untuk mendapat keuntungan. Ketika mereka memberikan kemenangan secara masif bagi para penggunanya, maka kemudian mereka akan meningkatkan jumlah taruhannya dengan harapan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Mereka akan terus memperbarui keyakinan mereka tentang kemenangan dan kekalahan, meski bertentangan dengan rencana awal mereka (Barberis dalam Ariella, 2021). Kemudian mereka akan terus melanjutkan pertaruhan meski pada mulanya mereka akan meninggalkan permainan ketika mengalami kekalahan menjadi terus bermain dengan harapan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Irasionalitas tersebutlah yang pada akhirnya dimanfaatkan oleh bandar judi untuk memanipulasi korban hingga mereka terus mencoba hanya untuk mendapatkan kembali uang yang telah mereka pertaruhkan. Mereka akan terus memperbarui keyakinan mereka tentang kemenangan dan bertahan.

Gambar 1.4 Proyeksi Perubahan Perilaku Pelaku Judi Online

Ketiga, keyakinan korban untuk terus bertahan juga diakibatkan oleh nominal uang yang telah mereka pertaruhkan di dalam judi online atau yang dikenal sebagai sunk cost fallacy. Korban memiliki tendensi untuk meneruskan apa yang telah mereka investasikan dalam bentuk uang, waktu, dan usaha yang mereka berikan (Arkes & Blumer, 1985). Mereka enggan untuk meninggalkan permainan karena mereka menganggap bahwa jika bertahan lebih lama, maka jumlah uang yang mereka pertaruhkan akan menguntungkan atau kembali. 

Tanpa harus memanipulasi secara langsung, bandar telah berhasil untuk mempermainkan korbannya dengan memanfaatkan sisi psikologis. Korban akan terus mempertaruhkan uangnya sampai titik dimana mereka benar-benar kehabisan uang untuk dipertaruhkan dalam platform itu. Hal ini karena mereka tidak mampu untuk keluar dari jebakan psikologis sampai manipulasi yang dilakukan oleh bandar judi. Dan ketika hal ini tidak dikendalikan oleh pemerintah maka implikasinya akan berdampak buruk, mengingat bahwa segmentasi korban judi online tersebar dalam berbagai spektrum masyarakat dengan nilai ekonomi yang mencapai 190 triliun rupiah pada 2022.

 

REKOMENDASI

Judi online adalah ancaman nasional yang perlu ditangani secara struktural dan budaya. Seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya, kebanyakan orang terjebak dalam penipuan judi online  karena mereka kurang berpendidikan dan serba kekurangan. Oleh karena itu, untuk mengatasi faktor-faktor ini, kami menyarankan agar pemerintah menerapkan supremasi hukum dan memberlakukan pendidikan yang inklusif.

Melalui supremasi hukum, pemerintah memiliki kontrol lebih terhadap akses judi online yang marak beredar di masyarakat. Penindakan hukum yang tepat, selain menindak para bandar dan pengedar judi online, memberikan rasa takut terhadap masyarakat untuk mengakses maupun mempromosikan kegiatan tersebut. Proses ini memberikan proteksi pada masyarakat akan operasi judi online yang berlaku sebagai tindak penipuan juga menunjukkan peran pemerintah sebagai payung masyarakat. 

Selanjutnya adalah meningkatkan pendidikan yang lebih efektif dan inklusif bagi setiap individu. Pendidikan sangatlah penting mengingat bahwa dalam matriks rasionalitas individu, pendidikan yang baik juga akan membentuk seseorang menjadi lebih kritis dalam menilai suatu bentuk penipuan dan memiliki keinginan untuk mendapatkan informasi sejelas mungkin sebelum melakukan suatu penilaian. Hal inilah yang kemudian dibutuhkan sebagai mekanisme pertahanan mereka agar tidak mudah terjebak dalam mekanisme penipuan yang diciptakan oleh bandar judi online.

 

KESIMPULAN

Judi, terutama judi online dengan permainan slot, merupakan isu meresahkan di Indonesia, mempengaruhi berbagai lapisan masyarakat, terutama yang berpenghasilan rendah. Selain dampak ekonomis, judi online juga melibatkan manipulasi psikologis oleh bandar judi dengan strategi kemenangan awal dan sunk cost fallacy. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan tindakan tegas dari pemerintah dalam menerapkan hukum dan memberantas bandar judi online, serta memberikan edukasi yang efektif tentang risiko perjudian kepada masyarakat. Dengan demikian, judi online merupakan ancaman serius yang memerlukan perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk melindungi warganya dari praktik perjudian yang merusak.

 

DAFTAR PUSTAKA

A Model of Casino Gambling. (2023). Management Science. https://pubs.informs.org/doi/abs/10.1287/mnsc.1110.1435

Arkes, H., & Ayton, P. (1999). The sunk cost and Concorde effects: Are humans less rational than lower animals?. Psychological Bulletin, 125, 591-600. https://doi.org/10.1037/0033-2909.125.5.591.

Boyce, P. (2020, October 21). Prospect Theory: Definition & Examples. BoyceWire. https://boycewire.com/prospect-theory-definition-and-examples/

CNN Indonesia. (2023, August 26). “PPATK Ungkap Transaksi Judi Online Naik Jadi Rp81 T, Ada Anak SD Main.” Ekonomi; cnnindonesia.com. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20230826133325-92-990812/ppatk-ungkap-transaksi-judi-online-naik-jadi-rp81-t-ada-anak-sd-main

CNN Indonesia. (2023, July 20). “Viral Main Game di Rapat DPRD DKI, Cinta Mega Bantah Main Slot.” Nasional; cnnindonesia.com. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230720191246-12-975828/viral-main-game-di-rapat-dprd-dki-cinta-mega-bantah-main-slot

Franke, N., Keinz, P., & Steger, C. (2009). Testing the Value of Customization: When Do Customers Really Prefer Products Tailored to Their Preferences?. Journal of Marketing, 73, 103 – 121. https://doi.org/10.1509/jmkg.73.5.103.

Gainsbury, S., King, D., Russell, A., Delfabbro, P., & Hing, N. (2017). Virtual addictions: An examination of problematic social casino game use among at-risk gamblers. Addictive behaviors, 64, 334-339. https://doi.org/10.1016/j.addbeh.2015.12.007.

Giuliano Resce, Raffaele Lagravinese, Benedetti, E., & Molinaro, S. (2019). Income-related inequality in gambling: evidence from Italy. Review of Economics of the Household, 17(4), 1107–1131. https://doi.org/10.1007/s11150-019-09468-9

Gambling. (2018, November 13). Buffalo.edu. https://www.buffalo.edu/cria/news_events/es/es3.html

Kahneman, D., & Tversky, A. (1988). Prospect theory: An analysis of decision under risk. In P. Gärdenfors & N.-E. Sahlin (Eds.), Decision, probability, and utility: Selected readings (pp. 183–214). Cambridge University Press. https://doi.org/10.1017/CBO9780511609220.014

Maulandy Rizki Bayu Kencana. (2023, September 25). “2,7 Juta Orang Indonesia Main Judi online”, Mayoritas Pelajar dan Ibu Rumah Tangga.” Liputan6.com; Liputan6. https://www.liputan6.com/bisnis/read/5406813/27-juta-orang-indonesia-main-judi-online-mayoritas-pelajar-dan-ibu-rumah-tangga?page=2

Mcbride, J., & Derevensky, J. (2008). Internet Gambling Behavior in a Sample of online Gamblers. International Journal of Mental Health and Addiction, 7, 149-167. https://doi.org/10.1007/s11469-008-9169-x.

Muhamad, N. (2023, September 27). “Tren Judi online di Indonesia Terus Meningkat, Nilainya Tembus Rp100 T pada 2022.” Katadata.co.id; Databoks. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/09/27/tren-judi-online-di-indonesia-terus-meningkat-nilainya-tembus-rp100-t-pada-2022

Pajak Kasino untuk Pembangunan Jakarta.” (2019, December 15). Historia – Majalah Sejarah Populer Pertama Di Indonesia. https://historia.id/ekonomi/articles/pajak-kasino-untuk-pembangunan-jakarta-PRVja/page/5

Paramita Widyaningrum. (2013). “Peranan Ali Sadikin Dalam Pembangunan Kota Jakarta Tahun 1966-77.” Candi, 5(1). https://jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/sejarah/article/view/1601

People in poor neighborhoods are twice as likely to have gambling problems, study finds.(2014, January 3). Buffalo.edu. https://www.buffalo.edu/news/releases/2014/01/001.html

Wendevor. (2018). The Magic Economics of Gambling. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=7cjIWMUgPtY

Ye, G., & Raaij, W. (1997). What inhibits the mere-exposure effect: Recollection or familiarity?. Journal of Economic Psychology, 18, 629-648. https://doi.org/10.1016/S0167-4870(97)00027-5

Leave a Reply

Your email address will not be published.