[QUICKIE!] Perspektif Rasional dari Fenomena Panic Buying

Author : Adnalia Farha

Kehadiran pandemi Covid-19 mendesak banyak aspek dalam kehidupan, termasuk perekonomian. Baik dari sisi supply maupun demand, keduanya tampak terkena dampak yang besar dari adanya persebaran virus ini. Dari sisi supply, terdapat shock pada labor supply sehingga berimbas pada penurunan produktivitas (R. Maria del Rio-Chanona et al., 2020). Sedangkan demand shock yang terjadi menurut Baker et al. (2020), berkaitan dengan pola consumer spending meliputi penurunan dan peningkatan demand. Penurunan demand terjadi pada barang-barang yang membutuhkan kontak fisik untuk mendapatkannya, sedangkan peningkatan demand terjadi pada barang-barang yang ditimbun (stockpiling) akibat adanya panic buying (Baker et al., 2020).

Panic buying merupakan salah satu fenomena yang sering terjadi sejak pandemi. Tidak hanya di Indonesia, kasus panic buying akibat pandemi juga terjadi di banyak negara seperti Amerika Serikat, Cina, Inggris, Prancis, dan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa panic buying telah menjadi fenomena global selama pandemi. Oleh karena itu, kajian ini akan membahas fenomena panic buying lebih mendalam dimulai dari bagaimana panic buying terjadi, the game theory of panic buying, fenomena panic buying selama pandemi, efeknya pada elastisitas, dan rekomendasi solusi.

Terjadinya Panic Buying : Perubahan Perilaku Konsumsi

Pandemi menimbulkan adanya perubahan pada perilaku konsumsi atau consumption behavior masyarakat. Perubahan ini merupakan bentuk respon masyarakat terhadap ketidakpastian dan ancaman yang ditimbulkan dari pandemi. Salah satu contoh perubahan pada perilaku konsumsi dapat dilihat dari data daily spending penduduk UK (United Kingdom) pada awal pandemi (grafik 1 dan 2). 

O’Connell et al (2020) mengklasifikasikan barang-barang yang dibeli masyarakat UK menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok makanan pokok (staples) meliputi beras, makanan kaleng, dan lain-lain serta perlengkapan rumah tangga (household supplies) meliputi sabun, tisu toilet, dan lainnya. Grafik 1 dan 2 menunjukkan adanya kenaikan  daily spending yang signifikan pada dua kelompok barang ini oleh konsumen di United Kingdom (UK) pada awal pandemi. 

Menurut Ntontis E, et al. (2022), adanya peristiwa ekstrim seperti pandemi ini mendorong timbulnya perilaku masyarakat yang bersifat tidak rasional atau loss control, seperti panic buying. Perilaku ini berupa pembelian barang dalam jumlah besar yang ditandai dengan adanya kenaikan permintaan pada suatu produk secara tiba-tiba (Mary Loxton, et al., 2020). Kemudian, apa yang menyebabkan terjadinya fenomena ini?

Terjadinya panic buying disebabkan oleh beberapa faktor, seperti faktor psikologis dan emosional. Perasaan khawatir dan takut menjadi alasan yang paling sering disebutkan untuk menjelaskan mengapa panic buying terjadi. Kajian yang dilakukan oleh  Kum Fai Yuen, et al. (2020) menjelaskan tentang faktor ini dengan mendasarkan pada persepsi manusia yang dibagi atas persepsi ancaman (perceived threat) dan persepsi  kelangkaan (perceived scarcity). Persepsi ancaman berkaitan dengan risiko yang timbul seiring dengan adanya krisis selama pandemi sehingga panic buying atau stockpiling dilakukan sebagai bentuk perlindungan diri untuk meminimalisasi risiko. Sedangkan persepsi kelangkaan berhubungan dengan perkiraan terhadap produk yang akan sulit didapatkan akibat adanya krisis selama pandemi sehingga mendorong masyarakat untuk menimbun barang sebagai bentuk persiapan. Selain itu, ketakutan akibat ketidaktahuan dan pengaruh sosial juga disebutkan sebagai faktor terjadinya panic buying (Kum Fai Yuen, et al., 2020). 

The Game Theory of Panic Buying

Menurut Puja Mehra (2021), panic buying dapat digambarkan sebagai fenomena yang rasional. Dengan menggunakan teori ekonomi, ia menyatakan bahwa panic buying merupakan bentuk strategi pengambilan keputusan pada Nash equilibrium dalam  game theory. Game theory diyakini beberapa ahli sebagai model yang dapat menjelaskan bagaimana perilaku konsumsi masyarakat berubah dari normal buy ke panic buy akibat tindakan konsumen lain.

 

Gambar 1 menunjukkan bahwa terdapat dua equilibrium yang tercapai seiring dengan adanya perubahan perilaku konsumen. Equilibrium pertama tercapai ketika semua konsumen memilih untuk membeli secara normal (normal buy) dan equilibrium yang kedua tercapai ketika semua konsumen melakukan panic buy (Puja Mehra, 2021). Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh S.Taylor (2021) bahwa seorang pembeli akan melakukan panic buy ketika pembeli-pembeli lain melakukan stockpiling karena pembeli tersebut percaya bahwa persediaan barang akan menipis. 

Walaupun dianggap dapat menjelaskan bagaimana panic buying dapat terjadi, The game theory ternyata memiliki beberapa kelemahan. Berdasarkan S.Taylor (2021), teori ini tidak menjelaskan alasan sebagian orang tidak melakukan panic buy dan alasan suatu produk menjadi target dari panic buying ini. Selain itu, teori ini hanya berdasarkan pada logic decision-making dan mengabaikan faktor emosional (S.Taylor, 2021). Oleh karena itu, teori ini tidak dapat menjadi satu-satunya acuan untuk melihat faktor terjadinya panic buying.

Panic Buying selama Pandemi : Global vs Lokal

Global

Kasus panic buying melonjak di berbagai negara semenjak pandemi. Grafik 3 menunjukkan tingkat penjualan dibandingkan tahun lalu dan awal mula munculnya stockpiling oleh beberapa negara pada awal pandemi (IRI, 2020). Penimbunan barang di beberapa negara seperti Italia, Belanda, Prancis, dan Jerman sudah mulai terjadi sejak bulan Februari, sedangkan negara lain menyusul pada bulan Maret. Tren penjualan mengalami kenaikan yang signifikan pada bulan Maret. Hal ini menandakan adanya panic buying yang tinggi pada bulan  ini.

Barang-barang yang berkaitan dengan proteksi virus, seperti masker dan hand sanitizer menjadi target utama dari adanya tindakan menimbun dan panic buying ini. Berdasarkan data dari Statistics Canada (2020), penjualan pada hand sanitizer meningkat hingga 792% pada minggu pertama bulan Maret 2020 dibandingkan tahun lalu. Selain itu masker dan sarung tangan juga dilaporkan meningkat sebesar 116% pada minggu tersebut (Statistics Canada, 2020). Selain barang-barang ini, S.Taylor (2021) menyebutkan tisu toilet, makanan, perlengkapan kebersihan, dan obat-obatan sebagai target dari panic buying. Di Amerika Serikat dan Cina, panic buying juga terjadi pada obat-obatan seperti suplemen dan obat herbal  (Smith, 2020, Kostev & Lauterbach, 2020 ; Liu et al., 2020).

 

Lokal

Di Indonesia, panic buying juga terjadi selama pandemi. Hal ini dapat kita lihat pada grafik 4 yang menunjukkan adanya perubahan konsumsi pada beberapa jenis konsumsi termasuk produk kesehatan. Berdasarkan data dari BPS, produk kesehatan mengalami peningkatan konsumsi paling tinggi hingga 73,3%, sedangkan bahan makanan dan pulsa juga mengalami kenaikan konsumsi di atas 50% pada awal pandemi (Katadata, 2020).

Menurut Dewan  Penasihat Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO), panic buying terjadi di Indonesia selama 3 periode. Periode pertama pada tanggal 2 Maret 2020, kedua tanggal 14-16 Maret, dan ketiga pada tanggal 19 Maret 2020 (Agung Minto Wahyu, et al. 2021). Panic buying ini ditandai dengan adanya peningkatan pada penjualan barang-barang seperti vitamin, masker medis, hand sanitizer, dan tisu basah hingga 500% (M. Indartoyo, et al., 2020). 

Perbandingan : Kasus Tisu Toilet

           Kasus panic buying yang terjadi baik di Indonesia maupun negara-negara lain kurang lebih memiliki kesamaan pada produk yang dibeli. Hal ini tentu disebabkan karena pandemi yang dirasakan oleh banyak negara. Namun, kita dapat melihat bahwa tidak semua barang di negara-negara lain dibeli secara panic oleh masyarakat Indonesia. Salah satu contoh barang tersebut adalah tisu toilet. Pembelian pada produk tisu termasuk tisu toilet mengalami kenaikan di banyak negara, seperti Italia (di atas 50%), Prancis (108%), Jerman (109%), Inggris (134%), Spanyol (210%), dan Amerika Serikat (217%) (Keane M, Neal T. 2020). Sedangkan di Indonesia, kasus ini tidak terjadi secara signifikan karena penggunaan toilet paper yang tidak sebanyak penggunaannya di negara-negara lain

Dampaknya pada Elastisitas Harga

         Salah satu akibat adanya panic buying adalah kelangkaan atau berkurangnya persediaan barang. Persediaan yang tidak sebanding dengan tingginya permintaan menyebabkan adanya kenaikan harga pada barang-barang tersebut. Laporan dari Arab Saudi menyatakan bahwa harga masker jenis N95 meningkat dari $0.38 menjadi $5.75 atau sebesar 1,513% (Al-Mahish et al., 2021). Di Indonesia, harga sekotak masker N95 juga sempat mengalami kenaikan hingga Rp1,6 juta dari harga normal Rp195.000. Selain itu, harga masker biasa juga melonjak hingga Rp170.000-Rp350.000 setiap kotak. Padahal, pada hari biasa, harga sekotak masker biasa hanya Rp15.000-Rp25.000 setiap kotak (Kemenkeu, 2021).

          Apakah perubahan harga yang terjadi mempengaruhi jumlah permintaan barang-barang ini? Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Al-Mahish et al. (2021), perubahan harga tidak mempengaruhi jumlah permintaan barang-barang PPP (Personal Protection Products), seperti masker dan hand sanitizer secara signifikan. Tabel 1 menunjukkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Al-Mahish et al. bahwa tingkat sensitivitas hand sanitizer dan masker terhadap perubahan harga berada di angka negatif (inelastis).

Item  Own-Price Elasticity
Hand Sanitizer -0,11
Face Mask -0,067

          Hal ini juga dijelaskan oleh Hao Chen dan Alvin Lim (2022)  pada penelitian empiris mereka dengan konsumen Belanda, bahwa hand sanitizer merupakan barang inelastis selama pandemi karena kebutuhan dan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kebersihan meningkat. Dengan demikian, barang-barang ini cenderung less sensitive terhadap perubahan harga.

Rekomendasi Solusi

          Panic buying yang terjadi dapat dikendalikan dengan beberapa strategi. S. Taylor (2021) telah merangkum strategi-strategi yang efektif maupun tidak efektif terhadap pengendalian panic buying. Strategi yang dianggap tidak efektif dalam mengatasi perilaku ini adalah adanya peraturan para retailers yang membatasi jumlah pembelian barang. Hal ini dianggap kurang efektif karena masyarakat masih dapat mencari toko lain atau membeli barang melalui toko online. Selain itu, larangan-larangan seperti “jangan panik!” oleh suatu komunitas atau pembeli-pembeli yang terdesak  tanpa adanya penjelasan yang jelas juga tidak efektif dalam menghentikan lonjakan panic buying. Alih-alih larangan singkat, pemerintah dan masyarakat dapat menyediakan edukasi publik mengenai informasi bahwa panic buying bukan hal yang mengancam dan berlangsung dalam waktu singkat. Hal ini lebih efektif dalam mengendalikan perilaku tersebut. Selain itu, peran komunitas dan social influencers juga dibutuhkan dalam menyebarkan infromasi  ini (S. Taylor, 2021).

Kesimpulan

Panic buying selama pandemi telah menjadi fenomena yang dirasakan oleh banyak negara. Barang-barang yang berkaitan dengan pencegahan virus seperti masker dan hand sanitizer tampak menjadi sasaran dari perilaku menimbun yang dilakukan oleh masyarakat. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa panic buying tidak dapat didefinisikan secara pasti apakah tindakan tersebut merupakan tindakan yang rasional atau irasional. Hal ini tergantung pada pendekatan faktor yang kita lihat sebagai penyebab terjadinyanya panic buying. 

Daftar Pustaka

Agung Minto Wahyu, et al. 2021. Perilaku Panic Buying Mengiringi Kemunculan COVID-19? Sebuah Studi pada Awal Pandemi di Indonesia. Humanitas. 5. 78. https://journal.maranatha.edu/index.php/humanitas/article/view/3347/1861

Al-Mahish, M., AlDossari, N., & Almarri, A. (2021). Consumer’s demand for disinfectants and protective gear from COVID-19 infection in al-hofuf, saudi. Journal of Infection in Developing Countries, 15(11), 1618-1624. doi:10.3855/JIDC.13332

Baker et al. 2020. “How Does Household Spending Respond to An Epidemic? Consumption During The 2020 COVID-19 Pandemic”. NBER Working paper Series. Diakses pada 22 April 2022, dari https://www.nber.org/system/files/working_papers/w26949/w26949.pdf

Chen, Hao and Lim, Alvin, 2022.  Were Consumers Less Price Sensitive to Life Necessities during the COVID-19 Pandemic? An Empirical Study on Dutch Consumers. Intelligent Systems Conference (IntelliSys) 2022, Available at SSRN: https://ssrn.com/abstract=4054131 or http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.4054131

Cornell University. 2021. Panic Buying : A Simple Analysis Using Game Theory. Diakses pada 25 April 2022, dari https://blogs.cornell.edu/info2040/2021/09/18/panic-buying-a-simple-analysis-using-game-theory/

IRI. 2020. COVID-19 Impact: Consumer Spending Tracker for Measured Channels. Information Resources Inc., from https://www.iriworldwide.  com/IRI/media/Library/2020-04-30-IRI-BCG-COVID-Global-Consumer-Spend-Tracker.pdf.

Katadata. 2020. Perubahan Pola Konsumsi Masyarakat Selama Pandemi Covid-19. Diakses dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/06/29/perubahan-pola-konsumsi-masyarakat-selama-pandemi-covid-19

Kostev, K., & Lauterbach, S. (2020). Panic buying or good adherence? Increased pharmacy purchases of drugs from wholesalers in the last week prior to Covid-19 lockdown. Journal of Psychiatric Research, 130, 19–21. https://doi.org/10.1016/j.jpsychires.2020.07.005

Keane M, Neal T. Consumer panic in the COVID-19 pandemic. J Econom. 2021 Jan;220(1):86-105. doi: 10.1016/j.jeconom.2020.07.045. Epub 2020 Aug 25. PMID: 32863535; PMCID: PMC7447232.

Kemenkeu. 2021. Masker, Oksigen, Panic Buying, dan Krisis Empati. Diakses pada 30 April 2022, dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-kisaran/baca-artikel/14053/Masker-Oksigen-Panic-Buying-dan-Krisis-Empati.html

Liu, S., Luo, P., Tang, M., Hu, Q., Polidoro, J. P., Sun, S., et al. (2020). Providing pharmacy services during the coronavirus pandemic. International Journal of Clinical Pharmacy, 42, 299–304. https://doi.org/10.1007/s11096-020-01017-0

Loxton, M., Truskett, R., Scarf, B., Sindone, L., Baldry, G., & Zhao, Y. (2020). Consumer Behaviour during Crises: Preliminary Research on How Coronavirus Has Manifested Consumer Panic Buying, Herd Mentality, Changing Discretionary Spending and the Role of the Media in Influencing Behaviour. Journal of Risk and Financial Management13(8), 166. MDPI AG. Retrieved from http://dx.doi.org/10.3390/jrfm13080166

  1. Indartoyo, D. W. Kim, B. M. Purwanto, A. Gunawan, R. E. Riantini and D. Gea. 2020. “Netnography Analysis of Consumer Sentiment Towards Panic Buying In The Early Period of the COVID-19 Virus Spread,” 2020 International Conference on Information Management and Technology (ICIMTech), 2020, pp. 626-631, doi: 10.1109/ICIMTech50083.2020.9211182.

Ntontis E, Vestergren S, Saavedra P, Neville F, Jurstakova K, Cocking C, et al. (2022) Is it really “panic buying”? Public perceptions and experiences of extra buying at the onset of the COVID-19 pandemic. PLoS ONE 17(2): e0264618. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0264618

O’Connell et al. 2020. Spending dynamics and panic buying during the COVID-19 first wave. Diakses pada 26 April 2022, dari https://voxeu.org/article/spending-dynamics-and-panic-buying-during-covid-19-first-wave

Puja Mehra. (2020). Fear Is The Key and Panic Buying Is The Therapy. Diakses pada 25 April 2022, dari https://www.livemint.com/news/india/fear-is-the-key-and-panic-buying-is-the-therapy11583946988380.html

  1. Maria del Rio-Chanona et al. 2020. Supply and Demand Shocks in The COVID-19 Pandemic : An Industry and Occupation Perspective. Diakses pada 22 April 2022, dari https://www.researchgate.net/publication/346404420_Supply_and_demand_shocks_in_the_COVID-19_pandemic_An_industry_and_occupation_perspective
  2. Taylor. 2021. Understanding and managing pandemic-related panic buying. Journal of Anxiety Disorders. 78. 2-6. https://doi.org/10.1016/j.janxdis.2021.102364.

Statistics Canada. 2020. Canadian Consumers Adapt to COVID-19: A Look at Canadian Grocery Sales up to April 11. Diakses pada 25 April 2022, dari https://www150.statcan.gc.ca/n1/pub/62f0014m/62f0014m2020005-eng.htm

Smith, T. (2020). US supplement sales rise sharply during first six months of 2020, 127 pp. 68–69). HerbalGram. Retrieved April 30, 2022, from http://ezproxy.library.ubc.ca/login?url=https://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=ccm&AN=145501975&login.asp&site=ehost-live&scope=site.

Yuen, K. F., Wang, X., Ma, F., & Li, K. X. (2020). The Psychological Causes of Panic Buying Following a Health Crisis. International Journal of Environmental Research and Public Health17(10), 3513. MDPI AG. Retrieved from http://dx.doi.org/10.3390/ijerph17103513

Leave a Reply

Your email address will not be published.