Introduction to Behavioral Economics

Author: Avissa Helga Andromeda

 

Sebagian dari pembaca mungkin belum pernah mendengar apa itu behavioral economics. Maka dari itu apa sebenarnya behavioral economics itu?

Ketika para ekonom membuat sebuah model ekonomi, mereka umumnya berasumsi bahwa manusia bersikap rasional dan penuh perhitungan. Akan tetapi, faktanya ketika kita melihat di dunia nyata manusia seringkali bersikap irasional (bounded rationality), impulsif, sulit ditebak, dan ceroboh dalam mengambil keputusan. Dengan demikian, kita saat ini telah berbicara tentang behavioral economics atau ekonomi perilaku yang mengidentifikasi bagaimana seseorang sebenarnya membuat keputusan. Ekonomi perilaku adalah bidang ekonomi yang fokus pada faktor psikologis, sosiologi, dan emosional yang mempengaruhi pengambilan keputusan seorang homo economicus.

Pembahasan terkait ekonomi perilaku ini sebenarnya bukanlah hal baru, ekonomi perilaku bahkan muncul lebih dahulu daripada ilmu ekonomi modern itu sendiri, yaitu ketika Adam Smith membahasnya dalam buku The Theory Of Moral Sentiments pada tahun 1759. Tetapi beberapa generasi ekonom setelah Adam Smith memilih untuk mengabaikan banyak elemen pengambilan keputusan manusia yang bersifat irasional karena mempersulit prediksi perilaku manusia dalam pembuatan model ekonomi. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, ekonomi perilaku kembali populer. Pada tahun 2002 Daniel Kahneman menerima penghargaan nobel ekonomi terkait penelitiannya tentang human judgment and decision-making under uncertainty. Kemudian pada tahun 2017, Richard H. Thaler menerima penghargaan nobel atas penelitiannya dalam behavioral economics terkait nudge theory. Behavioral economics kini juga telah diterapkan pada lebih banyak bidang seperti keuangan, pemasaran, ilmu politik, dan kebijakan publik.

Nobel Laureates in Economics 2017, Richard H. Thaler

Benarkah manusia bersikap rasional?

Menurut aliran ekonomi klasik setiap individu akan mengambil tindakan yang bersifat rasional untuk memaksimalkan profit dan kepuasan marginal, misalkan ketika harga suatu barang tertentu turun, orang memiliki kecenderungan untuk membeli lebih banyak barang tersebut, sehingga hukum permintaan berlaku. Akan tetapi, kita juga harus sadar bahwa ada batasan rasionalitas mengenai waktu dan sumber informasi yang mungkin menghalangi seseorang untuk memilih pilihan yang rasional. Misalnya, jika harga donat sangat rendah, konsumen mungkin tidak akan membeli lebih banyak, bahkan mereka mungkin akan membeli lebih sedikit karena bisa saja mereka berpikir bahwa harga yang rendah berarti mencerminkan produk donat yang rasanya tidak enak atau bahkan sudah mendekati kadaluarsa. Dengan demikian, hukum permintaan tidak lagi berlaku pada semua kondisi melainkan hanya pada kondisi tertentu, yaitu ketika manusia bertindak secara rasional. Inilah yang kemudian disebut sebagai anchoring bias. Anchoring bias adalah kecenderungan kita untuk menilai sesuatu berdasarkan asumsi yang kita miliki sebelumnya. Hukum pada ranah sosial memang sangat dinamis, berbeda dengan hukum-hukum alam seperti Hukum Thermodinamika dan Hukum Archimedes yang bersifat pasti.

Penyebab Irasionalitas

Teori ekonomi klasik menjelaskan fenomena ini dengan mengasumsikan bahwa setiap individu konsumen memperoleh informasi yang sempurna. Namun, pada 1955 Herbert Simon mengkritik anggapan teori ekonomi klasik karena individu memiliki kemampuan pemrosesan informasi yang tidak terbatas. Simon kemudian menyarankan istilah “rasionalitas terbatas” atau sulitnya dengan cepat mengakses informasi mengenai harga dan kualitas saat ingin mengambil suatu keputusan (lack of information). Dalam situasi ini konsumen bertindak berdasarkan informasi yang terbatas. Mereka menganggap harga yang sangat rendah mencerminkan produk mencurigakan yang tidak berkualitas. Padahal konsumen hanya tidak tahu bahwa harga rendah mungkin disebabkan oleh hal lain (lack of information). Sebuah penelitian di California menganalisis otak sekelompok orang yang merasakan berbagai jenis anggur merah. Para peneliti memberikan harga palsu kepada setiap jenis anggur, dan hasilnya cukup mengejutkan. Sebagian besar orang lebih menyukai anggur dengan harga yang lebih mahal padahal jenis anggur yang digunakan adalah jenis yang persis sama. Penelitian di atas jelas mencerminkan bahwa manusia tidak selalu bersikap rasional namun terkadang hanya menggunakan insting dan logika sederhana yang tidak berdasar.

Nudge Theory

Dalam behavioral economics dibicarakan pula sebuah teori yang disebut sebagai teori dorongan halus atau nudge theory. Nudge theory adalah konsep yang menjelaskan bagaimana kita mempengaruhi orang lain dengan sugesti tidak langsung agar orang tersebut berperilaku tertentu tanpa mengubah pilihan yang tersedia bagi mereka. Sebagai contoh, melawan diabetes pada anak-anak adalah prioritas di banyak negara. Oleh karena itu, alih-alih melarang minuman bersoda dan fast food di sekolah serta mempromosikan pola makan sehat, behavioral economics menawarkan solusi masalah ini dengan cara yang sedikit berbeda. Behavioral economics mendesain agar anak-anak di sekolah mau memakan makanan yang lebih sehat dengan menata ulang posisi makanan di kantin sekolah tanpa mengurangi pilihan makanan yang ada (makanan sehat dan tidak sehat). Kantin dapat meletakkan makanan paling sehat seperti buah-buahan dan sayuran di rak setinggi mata yang mudah dijangkau dan makanan yang kurang sehat seperti permen, es krim, dan minuman manis di tempat-tempat yang sulit dijangkau.

Teori ekonomi klasik membantah dan mengemukakan gagasan ini pasti tidak akan berhasil karena anak-anak yang bersikap rasional tetap akan memilih makanan yang enak meskipun makanan tersebut kurang sehat. Namun, ternyata para siswa lebih memilih makanan sehat yang ditempatkan di tempat yang mudah dijangkau. Sehingga teori dorongan sebenarnya menjadi berhasil dan mengubah paradigma dalam menerapkan kebijakan publik.

Nomor 1 menunjukkan situasi yang terjadi sebelum diterapkannya nudge theory dan nomor 2,3,4 menunjukkan situasi setelah diimplementasikannya nudge theory. Semua sektor menunjukkan tren positif.
Sumber: Small changes in choice architecture in self-service cafeterias (Gertrud Winkler et al, 2018)

Psychological Pricing

Dunia bisnis telah mengetahui tentang cara berpikir manusia dalam pengambilan keputusan sejak lama, sehingga mereka tau cara membuat konsumen “terbius” dengan harga yang ditawarkan. Misalnya sebuah club yoga mengiklankan bahwa biaya keanggotaan hanya Rp10.000 per hari yang sepertinya terdengar jauh lebih terjangkau daripada Rp3.650.000 per tahun, padahal ya sama saja. Misalkan juga tas dengan harga Rp499.999 sepertinya terasa lebih murah daripada tas dengan harga Rp500.000. Inilah yang disebut dengan cognitive bias di dalam psychological pricing. Cognitive bias adalah pola sistematis yang menjelaskan terjadinya penyimpangan rasionalitas kita dalam menilai sesuatu. Hal ini dapat membuat seseorang merasa mendapatkan penawaran yang lebih menguntungkan.

Risk management and loss aversion

Dalam behavioral economics kita juga mempertimbangkan aspek resiko. Misalkan seseorang menawari Anda dua amplop tertutup, yang satu berisi Rp100.000 dan yang lainnya tidak berisi apapun. Anda dapat memilih amplop atau Anda dapat mengambil Rp50.000 saat ini juga tanpa harus memilih. Jadi, apakah anda akan mengambil Rp50.000 atau tetap memilih untuk mendapatkan kemungkinan hadiah Rp100.000 atau tidak mendapatkan uang sama sekali? Dalam situasi ini peluang untuk mendapatkan Rp100.000 atau tidak mendapatkan uang sama sekali adalah sama, yaitu 50:50 dan pengembalian yang diharapkan atau rata-rata dari dua kemungkinan hasil adalah Rp50.000. Maka jika anda bersedia menerima uang tunai Rp50.000 dan tidak memilih kedua amplop, maka anda tergolong risk neutral.

Behavioral economics telah melakukan banyak studi tentang pengambilan risiko, terutama keengganan terhadap kerugian (loss aversion). Ini adalah gagasan bahwa orang sangat ingin menghindari kerugian dan suatu hal yang tidak pasti (Amos Tversky dan Daniel Kahneman 1979). Prospect theory menunjukkan bahwa rasa sakit ketika mengalami kehilangan lebih besar dari kenikmatan ketika mendapatkan sebuah hadiah atau penerimaan. Sehingga secara umum, masyarakat akan memilih pendekatan yang lebih aman meskipun ini bukan pilihan yang paling logis. Sebagai contoh, Anda sedang berada di pasar malam dan diminta untuk melempar sebuah koin, jika bagian angka yang muncul maka Anda akan mendapatkan Rp100.000 sedangkan ketika gambar yang muncul Anda harus membayar Rp50.000. Dari sudut pandang matematis Anda seharusnya menerima tawaran tersebut, namun banyak orang tidak mau menerimanya karena mereka ingin menghindari kekalahan dan kerugian.

Loss aversion curve menunjukkan penurunan value yang lebih signifikan ketika kehilangan 50 sen daripada mendapatkan 50 sen. 

Manajemen risiko ini dapat diterapkan dalam sebuah kebijakan publik. Misalnya, beberapa toko swalayan di Jogja mencoba mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, dengan menawarkan bonus Rp1.000 jika pelanggan membawa tas yang dapat digunakan kembali, dan ternyata kebijakan tersebut tidak terlalu efektif. Kemudian mereka mencoba mengenakan pajak sebesar Rp1.000 untuk setiap kantong plastik yang dibutuhkan dan kali ini orang-orang lebih memilih untuk membawa tas belanja dari rumah. Ini adalah penerapan keengganan terhadap kerugian yang efektif. Karena sungguh lebih menyakitkan ketika harus membayar Rp1.000 untuk sebuah kantong plastik daripada mendapatkan Rp1.000 per tas belanja yang kita bawa sendiri. 

Selain itu, studi lain juga menganalisis konsep loss aversion untuk memotivasi karyawan. Dalam penelitian ini, peneliti membagi karyawan menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah karyawan yang tidak akan diberi bonus. Kelompok kedua adalah karyawan yang akan mendapatkan bonus di akhir tahun jika mencapai tujuan tertentu. Selanjutnya kelompok yang ketiga adalah karyawan yang diberikan bonus di awal tahun, dan mereka harus mengembalikan bonus jika tidak mencapai target yang ditentukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa performa kelompok satu dan dua hampir sama, sedangkan kelompok ketiga meraih prestasi dengan performa yang jauh lebih baik. Ini jelas menunjukkan bahwa manusia sangat benci terhadap kegagalan dan akan berusaha semaksimal mungkin untuk menghindarinya (loss aversion).

Contoh empiris dari loss aversion adalah studi Camerer dkk (1997) tentang supir taksi di Kota New York. Para supir taksi di New York membayar biaya tetap untuk menyewa taksi mereka selama dua belas jam dan kemudian menyimpan seluruh sisa pendapatannya. Mereka harus memutuskan berapa lama merek berkendara setiap hari. Maka strategi pemaksimalannya adalah dengan bekerja lebih lama pada hari-hari ramai (hari-hari dengan penghasilan per jam yang tinggi seperti ketika cuaca hujan atau hari-hari ketika ada acara konferensi besar di kota) dan berhenti lebih awal pada hari-hari yang diperkirakan cukup sepi. Namun, misalkan pengemudi taksi menetapkan tingkat pendapatan target untuk setiap hari, dan menganggap kekurangan yang berhubungan dengan target tersebut sebagai kerugian. Kemudian, mereka justru akan berhenti bekerja lebih awal pada hari-hari ramai karena target harian sudah terpenuhi dan bekerja lebih lama pada hari-hari sepi, yang merupakan kebalikan dari strategi rasional. Hal inilah yang ditemukan Camerer dkk dalam penelitian empiris mereka.

Scarcity Framing

Scarcity atau kelangkaan adalah ketersediaan atas sebuah komoditas secara terbatas. Scarcity effect adalah kecenderungan psikologis yang membuat sebuah pilihan yang lebih langka memiliki value atau nilai yang lebih besar ketimbang pilihan lain yang melimpah. Dalam otak kita kelangkaan terasosiasi dengan sesuatu yang positif, mewah, eksklusif, dan diperebutkan banyak orang, sehingga harus segera kita miliki. Sebaliknya, ketika sebuah opsi selalu tersedia orang akan cenderung menunda dan mengulur waktu dan kemudian melupakannya. Namun jika sebuah opsi tersedia secara langka, terbatas baik jumlah maupun waktunya, maka seseorang akan terpicu untuk membuat keputusan dengan segera. Contoh scarcity effect adalah dime sale. Dime sale adalah sebuah teknik pemasaran yang digunakan untuk meningkatkan penjualan produk dengan menciptakan efek atau kesan kelangkaan. Dime sale dilakukan dengan menjual produk dengan harga yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah pembeli. Selain dime sale, low stock juga merupakan metode penjualan yang menghasilkan scarcity effect. Low stock  dapat kita jumpai pada produk berlabel limited edition.

Berbeda dengan beberapa jenis produk yang sifatnya memang sudah langka seperti emas dan barang-barang antik, produk-produk lain yang memang tidak memiliki sifat langka maka kelangkaannya harus diciptakan. Ada dua dimensi yang dapat dieksplorasi, yaitu kelangkaan jumlah dan kelangkaan waktu. Produk dengan jumlah terbatas akan menghasilkan efek kelangkaan. Produk yang dijual dalam waktu terbatas juga akan menghasilkan efek kelangkaan. Kedua efek ini juga dapat digabungkan sehingga memunculkan sebuah produk dengan jumlah terbatas yang tersedia dalam waktu yang terbatas pula. Efek kelangkaan dalam dunia bisnis dapat kita lihat di berbagai iklan hotel atau tiket yang bertulisan “kamar atau tiket yang tersedia hanya tinggal satu buah” pada aplikasi booking online.

Herd Instinct

John Maynard Keynes menjelaskan bahwa manusia cenderung mengambil keputusan tidak rasional karena meniru tindakan orang lain dengan asumsi bahwa individu lain telah melakukan penelitiannya, alih-alih mengandalkan analisis mereka sendiri dalam mengambil suatu keputusan. Sebagai contoh, ketika sosial media heboh karena produk tertentu terkadang kita langsung beranggapan bahwa produk tersebut memang berkualitas meskipun kita sendiri belum pernah mencobanya. Atau ketika misalnya kita memilih restoran, kita cenderung memilih restoran yang paling ramai karena kita menganggap bahwa restoran yang ramai makanannya lebih enak dan mungkin harganya lebih murah. Inilah yang dalam behavioral economics disebut sebagai herd instinct atau naluri kerumunan yang didefinisikan sebagai dorongan manusia untuk berperilaku mengikuti kelompok mayoritas agar tidak dianggap berbeda.

Herd instinct bahkan juga terjadi di sektor keuangan , di mana investor mengikuti apa yang dilakukan oleh investor lain, dibandingkan mengandalkan analisis investasi mereka sendiri. Dengan kata lain, seorang investor yang menunjukkan naluri kerumunan umumnya tertarik pada investasi yang sama atau serupa dengan investasi dari para investor lainnya. Naluri kelompok dalam skala besar dapat menciptakan penggelembungan aset (assets bubbles) atau kehancuran pasar saham melalui fenomena panic buying dan panic selling atau yang dikenal sebagai irrational exuberance (Robert J. Shiller, 2000).

Ultimatum Game

Salah satu eksperimen paling populer dalam behavioral economics adalah ultimatum game. Dalam eksperimen ini dua pemain memutuskan bagaimana membagi sejumlah uang tertentu, katakanlah Rp1.000.000. Pemain pertama diberikan semua uang yang ada dan kemudian diminta untuk membaginya dengan pemain kedua. Jika pemain kedua menerima kesepakatan, maka semua pemain dapat menyimpan uangnya. Akan tetapi, jika pemain kedua menolak penawaran pemain satu, tidak ada pemain yang dapat menyimpan uang tersebut. Ketika pemain pertama menawarkan untuk membagi uang tersebut 50:50 pemain kedua hampir selalu menerima tawaran tersebut. Akan tetapi, ketika pemain pertama menawarkan pembagian yang tidak adil seperti 80:20, ternyata tawaran yang kurang setara sering kali ditolak.

Representasi bentuk ekstensif dari permainan ultimatum dua penawaran. Pemain 1 dapat menawarkan proposal yang adil (Even Split) atau tidak adil (Uneven Split); pemain 2 dapat menerima (Accept) atau menolak (Reject).

Jika anda menganggap penolakan ini adalah hal yang benar maka sebenarnya sikap penolakan itu merupakan pilihan yang kontradiktif terhadap teori ekonomi klasik. Yang berarti pilihan tersebut bersifat tidak rasional. Pilihan rasionalnya adalah pemain kedua menerima tawaran apapun, meskipun pemain pertama hanya memberikan Rp100.000 untuk pemain kedua. Yang dimaksudkan disini adalah, biar bagaimanapun Rp100.000 lebih baik daripada tidak mendapatkan uang sepeserpun. Tetapi kita juga perlu memahami bahwa perilaku manusia tidak hanya dimotivasi oleh keuntungan, tetapi juga dibentuk oleh nilai atau gagasan lain seperti keadilan, ketidakadilan, dorongan sosial dan bahkan balas dendam (Frank H. Knight 1997). Ultimatum game menunjukkan bahwa orang tidak selalu dapat diprediksi dan bersikap rasional seperti yang dimodelkan oleh banyak ekonom klasik.

Dalam artikel ini, kita telah membahas konsep-konsep dalam studi tentang ekonomi perilaku. Dengan melihat perilaku manusia dari sudut pandang ekonomi, kita dapat memahami bagaimana faktor-faktor psikologis, sosial, dan kognitif memengaruhi keputusan ekonomi individu dan kelompok. Dari teori-teori di atas kita dapat melihat betapa kompleksnya interaksi antara faktor-faktor ini dan dampaknya pada pasar dan sebuah kebijakan secara umum. Pemahaman yang lebih baik tentang ekonomi perilaku tidak hanya memberikan wawasan yang lebih dalam tentang perilaku ekonomi, tetapi juga dapat membantu merumuskan kebijakan yang lebih efektif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Dengan terus memperdalam penelitian dalam bidang ini, kita dapat mengembangkan strategi-strategi yang lebih baik untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan berkelanjutan secara ekonomi dan berbagai hal lain.

Reference

Adam Smith Institute. (2014). Adam Smith Institute. Adam Smith Institute. https://www.adamsmith.org/the-theory-of-moral-sentiments

Ahlstrom, L. (2023, August 30). Ultimatum Game. INOMICS. https://inomics.com/terms/ultimatum-game-1538668

Andersson, O., Holm, H. J., Tyran, J. R., & Wengström, E. (2016). Deciding for others reduces loss aversion. Management Science, 62(1), 29-36.

Hayes, A. (2019). What Is Irrational Exuberance? Investopedia. https://www.investopedia.com/terms/i/irrationalexuberance.asp

Hayes, A. (2022, July 7). Herd Instinct Definition. Investopedia. https://www.investopedia.com/terms/h/herdinstinct.asp

Kahneman, D., & Tversky, A. (2013). Prospect theory: An analysis of decision under risk. In Handbook of the fundamentals of financial decision making: Part I (pp. 99-127).

Lieder, F., Griffiths, T. L., M. Huys, Q. J., & Goodman, N. D. (2018). The anchoring bias reflects rational use of cognitive resources. Psychonomic bulletin & review, 25, 322-349.

Sahabat Pegadaian. (2022, December 24). ARTIKEL INI AKAN SEGERA DIHAPUS: Scarcity Effect Tingkatkan Penjualan. Sahabat Pegadaian | Solusi Gadai Terbaik – Tips Menabung Emas – Inspirasi Investasi Terbaik; PT Pegadaian. https://sahabat.pegadaian.co.id/artikel/inspirasi/artikel-ini-akan-segera-dihapus-scarcity-effect-tingkatkan-penjualan

Selten, R. (1990). Bounded rationality. Journal of Institutional and Theoretical Economics (JITE)/Zeitschrift für die gesamte Staatswissenschaft, 146(4), 649-658.

Shah, A. K., Shafir, E., & Mullainathan, S. (2015). Scarcity frames value. Psychological science, 26(4), 402-412.

Shiller, R. J. (2015). Irrational exuberance. In Irrational exuberance. Princeton university press.

Simon, H. A. (1955). A behavioral model of rational choice. The quarterly journal of economics, 99-118.

Thaler, R. H. (1988). Anomalies: The ultimatum game. Journal of economic perspectives, 2(4), 195-206.

The Decision Lab. (2019). Loss aversion – Biases & Heuristics | The Decision Lab. The Decision Lab. https://thedecisionlab.com/biases/loss-aversion

The Decision Lab. (2022). Anchoring Bias – Biases & Heuristics. The Decision Lab. https://thedecisionlab.com/biases/anchoring-bias

The Royal Swedish Academy of Sciences. (2019). The Sveriges Riksbank Prize in Economic Sciences in Memory of Alfred Nobel 2002. NobelPrize.org. https://www.nobelprize.org/prizes/economic-sciences/2002/press-release/

Trei, L. (2013). Baba Shiv: How a Wine’s Price Tag Affect Its Taste. Stanford Graduate School of Business. https://www.gsb.stanford.edu/insights/baba-shiv-how-wines-price-tag-affect-its-taste

Wedel, M., & Leeflang, P. S. (1998). A model for the effects of psychological pricing in Gabor–Granger price studies. Journal of Economic Psychology, 19(2), 237-260.

Winkler, G., Berger, B., Filipiak-Pittroff, B., Hartmann, A., & Streber, A. (2018). Small changes in choice architecture in self-service cafeterias. Do they nudge consumers towards healthier food choices. Ernahrungs Umschau, 65(10), M546-M554.

Witynski, M. (2022). Behavioral Economics, explained. News.uchicago.edu. https://news.uchicago.edu/explainer/what-is-behavioral-economics

Leave a Reply

Your email address will not be published.