Alegori Sri Lanka: Cerita Hancurnya Negeri Ceylon

Author: Kefas Prajna Christiawan dan Nikolas Andika Haryo

Sri Lanka adalah sebuah negara pulau di benua Asia Selatan terletak di sebelah Tenggara India. Sri Lanka sendiri terkenal dengan hasil produksi komoditas yang diperdagangkan, seperti kopi, teh, kelapa, kayu manis, batu mineral, produk tekstil, dan beberapa komoditas rempah lainnya. Di sisi lain, Sri Lanka juga terkenal dalam menawarkan pesona alamnya sebagai destinasi wisata bagi turis  domestik maupun mancanegara, beserta dengan jasa-jasa penunjang lainnya. Oleh karena itu, acapkali Sri Lanka dijuluki sebagai ‘Mutiara Samudra Hindia’ atau Ceylon.

Gambar 1. Keindahan Negara Sri Lanka

Sumber: iStockPhoto

Namun, keindahan yang disebutkan tidak bisa sepenuhnya berkilau akhir-akhir ini. Di awal 2022 ini, bersamaan dengan meletusnya Perang antara Rusia dan Ukraina, Sri Lanka dilaporkan mengalami konflik dan masalah kemanusiaan yang diberitakan media secara massal terkait demo-demo. Krisis yang terjadi di Sri Lanka bisa diasosiasikan bahwa ini adalah krisis multidimensi, seperti krisis kemanusiaan, kepercayaan, politik, hukum, dan ekonomi. Menurut jurnal dari Statistical, Economic, and Social Research for Islamic Countries (SESRIC) (2017), krisis kemanusiaan adalah keadaan yang mengancam secara luas kehidupan manusia, keamanan, kesehatan, dan kesejahteraan. Kemudian, menurut mereka, ciri-ciri yang menandai krisis kemanusiaan adalah ketidakamanan pangan untuk masyarakat, kemiskinan yang semakin berakar, kerusakan lingkungan, ketidakstabilan politik, dan bakan wabah. Beberapa faktor tersebut jugalah yang mendorong terjadinya konflik sosial, baik horizontal maupun vertikal (SESRIC, 2017). 

Terdapat beberapa masalah manajemen terhadap perekonomian, termasuk kesalahan kebijakan yang membuat kenaikan utang luar negeri, penurunan cadangan mata uang asing atau foreign currency, dan inflasi. Permasalahan ini didorong dari adanya kekeliuran kebijakan fiskal expansionary, yaitu penurunan penerimaan pajak serta overspending. Selain itu juga tedapat kebijakan moneter dengan mencetak lebih banyak uang. Sri Lanka juga mengalami disrupsi di kancah perdagangan internasional yang menyebabkan kesalahan kebijakan pemerintah lainya, seperti salah satunya larangan impor pupuk kimia sehingga muncul masalah pada biological farming. Perekonomian Sri Lanka yang ditopang sektor pariwisata mengalami kontraksi selama pandemi diperparah dengan adanya easter bomb attacks, tragedi pengeboman di Sri Lanka pada hari Paskah yang diledakan di sekitar gereja dan hotel pada tahun 2019 (Britannica), yang membuat wisatawan takut untuk mengunjungi Sri Lanka, dan diikuti oleh pecahnya pandemi Covid-19.

 

Sosial dan Politik Sri Lanka

Sri Lanka merdeka pada 1948 dari jajahan Kolonial Inggris, tetapi masih disebut negara Dominion Inggris hingga 1972. Demografi Sri Lanka, di mana kaum Sinhala adalah 75% dari total populasi memegang kunci politik pada kekuasaan Sri Lanka. Sedangkan, kaum Tamil adalah kelompok minoritas dengan jumlah sekitar 15% dari populasi yang dipinggirkan oleh kaum Sinhala. Kaum terakhir adalah Moor, sekitar 9-10% yang juga dikesampingkan oleh kaum Sinhala. Pembagian kelompok tersebut masih terbagi menjadi beberapa sub kelompok berdasarkan agama, kaum Sinhala didominasi agama budha, Tamil didominasi agama hindu, dan Moor didominasi agama muslim. Kondisi sosial dan politik Sri Lanka semakin parah setelah kemerdekaan sejak kaum Sinhala memonopoli politik, ekonomi, dan kekuasaan pada negara, hingga terjadi perpecahan dan perang antara Sri Lanka army dan LTTE (pasukan Tamil) yang berlangsung sekitar 25 tahun. Konflik terjadi di daerah Utara dan Timur, di mana kaum Tamil mendominasi wilayah tersebut. Dampak dari konflik tersebut adalah adanya korban jiwa sekitar 10 ribu dari kedua belah pihak (Subramanian, 2015). Kaum Tamil yang tertangkap oleh tentara lawan dipindahkan dan banyak dari mereka menjadi pengungsi di wilayah India (Chattoraj, 2021). 

Perang saudara selesai pada 2009 dengan kaum Sinhala atau Sri Lanka army memenangkan perang. Sejak saat itu, kaum Tamil dianggap masyarakat berbeda kelas sosial dan diperlakukan tidak layak oleh pemerintah. Satu dekade setelah perang selesai, kondisi negara cenderung stabil. Namun, perang membuat ekonomi Sri Lanka terkendala, struktur ekonomi masih sama seperti zaman kolonialisme. Permasalah tersebut adalah pemerintah tidak melakukan pengukuran serius dan presisi dalam mengelola ekonomi dan diversifikasi antara aktivitas ekonomi atau industiralisasi (Perumal, 2021).

Gambar 2. Konflik Civil War Sri Lanka

Sumber: iPleaders

Konflik civil war yang mereda membuka langkah baru bagi ekonomi Sri Lanka dengan adanya bantuan dari International Monetery Fund (IMF). Pada masa kepemimpinan Mahinda Rajapaksa 2005-2015 terinisaisi reformasi neoliberal ekonomi, Sri Lanka melakukan pinjaman 2,6 miliar USD dari IMF (Ramakumar, 2022). Adanya tekanan dari pemberi dana membuat Sri Lanka melakukan reformasi ekonomi dengan mengurangi budget defisit dan fiskal defisit, memotong ekspenditur publik, dan mendorong sektor privat dan kompetensi. Namun, reformasi ini tidak berjalan efektif karena kondisi perekonomian miskin. Saat ini Sri Lanka memiliki utang 51 miliar USD dengan pemberi pinnjamanya adalah IMF, World Bank (WB), Asia Development Bank (ADB), Tiongkok, India, Jepang, dan Bangladesh, serta masih akan menambah utang dari negara-neegara tetangga untuk menyelesaikan krisis (Sebastian, 2022).

Perjalanan Sri Lanka Menuju Krisis: Kekeliruan Kebijakan

Gambar 3. Mahinda Rajapaksa (Presiden Sri Lanka)  dengan Xi Jinping (Presiden Tiongkok)

Sumber: Sri Lankan Ministry of Foreign Affair

Reformasi ekonomi yang dilakukan di rezim Mahinda Rajapaksa tidak berjalan mulus. Adanya kekeliruan manajemen kebijakan fiskal dan kebijakan lainnya menjadi latar belakang perjalanan buruk Sri Lanka itu sendiri. Beberapa porsi dana belanja negara pada masa pemerintahannya digunakan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur nan megah, tetapi berakhir tidak efektif atau tidak berguna. Selain itu, dalam lima tahun terakhir kepemimpinan Mahindra Rajapaksa, performa kebijakan fiskal Sri Lanka selalu berada di ambang defisit. Sebagai contoh, dilansir dari Fiscal Management Report oleh Kementerian Keuangan Sri Lanka, pendapatan pemerintah Sri Lanka berjumlah 257 miliar LKR (LKR adalah Langkan Rupe, yaitu mata uang Sri Lanka), tetapi belanja pemerintahnya melebihi sebesar 416.15 miliar LKR. Sebanyak 33.21% pengeluran pemerintah digunakan untuk membayar bunga dari utang-utang pendahulunya. Selain itu juga, sebanyak 23.8% digunakan untuk gaji pegawai. Itu semua diasosiasikan sebagai pengeluaran konsumtif dan tidak produktif karena tidak atau sedikit menghasilkan pendapatan. Sedangkan, proporsi belanja investasi atau produktif tidak sebanyak pengeluaran konsumtif, seperti program penghapusan kemiskinan (Samurdhi) sebesar 0.82%. Belanja infrastruktur di tahun tersebut hanya sebesar 21.41%. Sebagai tambahan, di tahun terakhir masa kepimipinan Mahinda Rajapaksa, pemerintah Sri Lanka memiliki pendapatan sebesar 888,24 miliar LKR. Namun, mereka juga menjalankan defisit anggaran, yakni belanja pemerintahnya yang melebihi sebesar 1.532 miliar LKR. Terlebih, untuk membiayai defisit, bertahun-tahun juga Sri Lanka mencetak uang lebih dari biasanya dan tidak sesuai dengan nasihat IMF untuk tidak mencetak uang, menaikan suku bunga dan pajak, serta mengurangi ekspenditur. Namun, menutup kekurangan dana ekspenditur, Sri Lanka melakukan pencetakan uang sebanyak 119.08 miliar LKR pada April 2022 dan menjadi pencetakan uang terbanyak selama 2022. Total jumlah uang dicetak pada 2022 adalah 4237.76 miliar LKR (George et al., 2022).

Grafik 1. Statistik Debt-to-GDP Sri Lanka 2015-2021.

Sumber: CEIC (2022)

Selain mencetak uang, Sri Lanka juga aktif meningkatkan rasio utang terhadap PDB. Sejak 2012, rasio utang pemerintah terhadap PDB sudah tergolong tinggi, yakni di angka 68,7%. Angka ini terus meningkat hingga ke tahun 2021, rasionya mencapai angka 104.6%. Menurut literatur World Bank, terdapat hasil bahwa nilai debt to GDP dengan proporsi lebih dari 77% dianggap akan menghambat perekonomian (Carner et al., 2010). Apabila sudah melebihi ambang batas, setiap kenaikan 1% poin dari utang akan menurunkan 0.017% pertumbuhan riil tahunan. Pada negara berkembang, ambang batas ini adalah 64%. Pertambahan setiap kenaikan 1% poin dari utang akan menurunkan 0.02% pertumbuhan riil tahunan (Grennes et al., 2010). Pada tahun 2020. Sri Lanka mengalami kelebihan utang apabila ditinjau dengan studi World Bank di atas sejak tahun 2012, sudah pasti terdapat penurunan pertumbuhan riil pada Sri Lanka. Tidak hanya itu, debt to GDP juga menandakan kemampuan suatu negara dalam melunasi utang meraka. Pada tahun 2020 dan 2021 debt to GDP Sri Lanka mencapai lebih dari 100%, sehingga adanya ketimpangan antara utang negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Sri Lanka. Negara dengan debt to GDP yang tinggi  cenderung sulit lebih sulit untuk melunasi utang-utang luar negeri mereka, maka besar kemungkinan terjadinya default atau gagal bayar  Pada masa krisis dan kerusuhan pemerintah akan kesulitan menurunkan debt to GDP dan cenderung menaikan permintaan agregat dengan melakukan pinjaman untuk mendorong perekonomian (Kenton, 2022). Pada akhirnya karena besarnya belanja negara ke aset kurang produktif, di jangka panjang, alhasil Sri Lanka tidak memiliki return on investment yang memadai untuk membayar utang-utang tersebut.

Pada kontestasi politik di pemilihan umum 2019 dan 2020, salah satu janji kampanye Gotabaya Rajapaksa adalah melakukan kebijakan fiskal pemotongan pajak, dan terealisasi saat terpilih menjadi presiden Sri Lanka. Alasan yang melatarbelakangi kebijakan tersebut menurut mereka adalah untuk memberikan insentif kepada individu, rumah tangga, dan bisnis supaya memiliki pendapatan yang lebih besar, membangun perekonomian, dan menciptakan lapangan pekerjaan. Padahal, banyak ekonom dan pengamat bahwa kebijakan tersebut merupakan gerakan populis dan tidak disertai adanya riset dan nasihat yang komprehensif. Selain itu, Gotabaya Rajapaksa juga menunjuk Mahinda Rajapaksa, saudara kandungnya, menjabat sebagai perdana menteri (Reuters, 2019). Latar belakang Gotabaya yang berbasis militer membuat kondisi politik tidak baik dan gagal menangani krisis. Gotabaya memotong pajak VAT 15% menjadi 8% dan pajak indirect taxes dari 28% menjadi 24%. Hal ini menyebabkan penurunan PDB sebesar 2

(A)

(B)

Grafik 2. Statistik (A) Impor dan (B) Ekspor Sri lanka

Sumber: Central Bank of Sri Lanka

Bertahun-tahun, Sri Lanka mengalami defisit pada neraca berjalan (current account) secara rata-rata proporsionalnya, ditandai dengan nilai atau jumlah barang yang diimpor lebih besar daripada barang yang diekspor. Kebijakan lainya yang dianggap blunder adalah organic farming yang membuat impor pupuk berkurang, sehingga terjadi kegagalan produksi sektor pertanian. Terjadi penurunan sekitar 30% yang menyebabkan inflasi dan kelangkaan pada sektor pangan. Terdapat juga restriksi impor agar balance of payment cenderung positif, tetapi terjadi dampak dari restriksi ini terhadap sektor pangan dan energi. Sri Lanka bergantung sepenhnya ada impor petroleum. Maka kebijakan ini menjadikan Sri Lanka mengalami kelangkaan pangan dan pemadaman listrik selama 13 jam sehari. Transportasi publik juga kolaps karena krisis energi (Sebastian, 2022). 

Klimaks: Krisis Ekonomi pun Terjadi

Bertahun-tahun, bahkan setelah turunnya kekuasaan Mahinda Rajapaksa, Sri Lanka terus berjalan di ambang defisit anggaran. Selain itu, berdasarkan trennya, pendapatan pemerintah Sri Lanka menurun selama 20 tahun–yang paling signifikan adalah ketika kebijakan pemotongan pajak dilaksanakan dan pandemi Covid-19. Apalagi, tepat pada saat pandemi Covid-19 muncul, Sri Lanka harus kehilangan banyak pendapatannya karena tidak di saat-saat itu tidak ada banyak perdagangan internasioal yang aktif, serta melemahnya sektor pariwisata di sana.

Grafik 3 . Jumlah kedatangan Wisatawan ke Sri Lanka 

Sumber: CBSL

Berdasarkan data dari Knoema (2009) kontribusi sektor pariwisata Sri Lanka mencapai sekitar 12.6%. Meskipun begitu, banyak kajian mengacu bahwa kontribusi sektor pariwisata signifikan terhadap ekonomi (PDB) karena efek penggganda (multiplier effect) yang bisa diberikan kepada sektor-sektor berkaitan lainnya. Mulai pertengahan tahun 2021, aktivitas pariwisata Sri Lanka mulai pulih, diindikasikan melalui meningkatnya kedatangan turis mancanegara. Awalnya, di tahun 2021, turis mancanegara yang datang hanya mencapai 2 ribu orang, tetapi tercatat meningkat drastis di penghujung tahun 2021, yakni mencapai 90 ribu orang. Peningkatan tren ini terus berlanjut sampai ke tahun berikutnya. Per Maret 2022, angka kedatangan turis mancanegara mencapai 107 ribu jiwa. Akan tetapi, ketika Sri Lanka dinyatakan bangkrut dan default, jumlah turis mancanegara turun secara dramatis kembali. Per Juni 2022, turis mancanegara yang datang hanya tercatat sebanyak 33 ribu jiwa.

Grafik 4 . Indeks Harga Konsumen dalam Skala Kolombo (CCPI) dan Nasional (NCPI)

Sumber: Central Bank of Sri Lanka

Akibat dari mencetak uang secara berlebihan untuk membiayai defisit anggaran, Sri Lanka dilanda inflasi yang cukup tinggi. Berdasarkan data dari Bank Sentral Sri Lanka (CBSL) (2022), indeks harga konsumen Kolombo (ibukota Sri Lanka) telah mencapai sekitar 65% dan lebih dari 70% untuk indeks harga konsumen nasional.

Grafik 5 . Cadangan Devisa Sri Lanka dalam Dolar dan Exchange Rate LKR terhadap USD

Sumber: Central Bank of Sri Lanka (diolah oleh Etsuyo, 2022)

Dikarenakan Sri Lanka harus membayar utang-utanngnya jatuh tempo dalam bentuk dolar, sejak 2018, tren cadangan devisa Sri Lanka terhadap dolar pun menurun. Selain itu, penurunan nilai mata dolar disebabkan oleh inflasi  yang menyebabkan apresiasi dolar itu sendiri. Salah satu kebijakan lanjutan yang disebabkan oleh menurunya cadangan devisa dolar adalah pelarangan impor dan larangan penggunaan pupuk kimiawi seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Hal ini disebabkan karena pemerintah Sri Lanka tidak mampu untuk mengkompensasi barang-barang impor yang dibeli menggunakan dolar, khususnya pupuk kimiawi itu sendiri. Sri Lanka di perdagangan internasional tindak unggul secara komparatif untuk produk pupuk kimiawi, sedankan Sri Lanka cukup aktif dan komparatif di bidang pertanian. Akan tetapi, kebijakan organic farming ini dibungkus dengan alasan politis dan manipulatif yang menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk membawa dampak kesehatan yang baik kepada masyarakat Sri Lanka. Alhasil, dampak negatif yang terjadi di sektor pertanian sangat signifikan. Sri Lanka, negara yang biasanya terkenal akan produksi padi dan beras, harus mengimpor beras yang mereka sebelumnya belum pernah dilakukan akibat produksi beras menurun sebesar 20% pada enam bulan pertama setalah kebijakan dikeluarkan (George et al., 2022). Selain itu juga, Sri Lanka melarang impor barang-barang mewah. Tepat pada Maret 2022, Bank Sentral Sri Lanka memutuskan untuk berhenti menjual aset dolar. Akibatnya, exchange rate LKR terhadap dolar terdepresiasi dengan sangat dramatis, yang awalnya sekitar 200 LKR per USD menjadi lebih dari 350 LKR per USD (Etsuyo, 2022).

Kejatuhan Politik dan Kepercayaan Publik

Kegagalan pemerintah dalam mengelola perekonomian dan negara membuat adanya kerusuhan publik dan politik, hingga pengunduran diri dari kabinet kementerian sebelumnya. Terdapat permasalahan yang dianggap di luar kendali Sri Lanka dan sudah menjadi takdir. Masalah ekonomi dan politik membuat negara lain mengalami injeksi ekspor, terutama pada sektor industri tekstil, seperti Zara, Mango, dan H&M yang berpindah dari Sri Lanka ke India, Bangladesh, Cambodia, dan Vietnam. Pandemi Covid-19 dan invasi Rusia Ukraina menjadi pemicu krisis finansial Sri Lanka yang juga menjadi pemicu adanya kerusuhan politik (George et al., 2022).

Gambar 4. Demosntrasi Terhadap Krisis Sri Lanka

Sumber: ICIJ

Terdapat 42 anggota partai politik pendukung pemerintah yang menarik bantuan dan banyak koalisi pendukung pemerintah yang mundur. Melemahnya pemerintahan Rajapaksa membuat para menteri Sri Lanka mengundurkan diri agar tercipta pemerintahan yang baru. Kerusuhan dan protes publik masih berlansgung. Gotabaya mundur dari jabatan presiden dan ingin mengoper pemerintahan kepada Mahinda Rajapaksa, tetapi publik menolaknya. Publik melakukan protes atas pemerintahan Rajapaksa yang mengancam demokrasi dan menuntut Sri Lanka kembali ke sistem parlemen dan mengurangi kekuasaan presiden (Sebastian, 2022). 

Kepercayaan publik juga hancur seiring banyakanya kasus korupsi, nepotisme, dan dinasti kekuasaan Rajapaksa, pemerintah melakukan amandemen terhadap konstitusi demi kepentingan Basil Rajapaksa, kakak dari Presiden Gotabaya, untuk dapat menjadi Menteri Keuangan (Surinimala, 2021). Hal ini membuat publik semakin geram hingga terdapat anggota parlemen yang tewas ditangan pada demonstran. Namun, pengunduran diri dari keluarga Rajapaksa dari pemerintahan membuat kerusuhan mulai surut (Kugelman, 2022). 

Krisis Kemanusiaan 

Menurut laporan dari World Bank khusus terhadap Sri Lanka (2022),  akibat dari pandemi Covid-19 ekonomi Sri Lanka terkontraksi sebanyak 3,6 , dan meningkatkan harga dasar untuk standar hidup per hari sebesar 11,7 USD  menjadi 3,20 USD. Laporan dari World Food Program (WFP) pada Juli 2022 menyatakan tiga dari 10 rumah tangga atau sekitar 6,3 juta orang tidak mampu mengamankan pangan (termasuk obat-obatan), dengan 65,600 orang di antaranya dinyatakan sangat parah. Angka ini telah meningkat kurang dari 30 hari yang sebelumnya merupakan 4,9 juta orang. Selain itu, masyarakat miskin Sri Lanka tidak/kurang memiliki coping strategy untuk bertahan hidup di masa sekarang dibandingkan masyarakat/rumah tangga urban yang mampu bertahan hidup dari tabungan darurat. Pecahnya perang antara Rusia dan Ukraina juga menyebabkan harga pangan global meningkat sebesar 24,7  (World Bank, 2022). Kemudian, WFP, di bulan Juni, melaporkan bahwa pada Juni 2022, inflasi pangan telah meningkat 57,4%.

Gambar 5. Protes pada Rezim Pemerintah oleh Rakyat

Sumber: Al Jazeera

Matthias dan Jayasinghe (2022) menjelaskan bahwa kenaikkan harga-harga ini pada akhirnya dapat menyebabkan malnutrisi yang semakin parah terhadap anak-anak Sri Lanka. Inflasi yang parah disertai dengan pelemahan mata uang Sri Lanka juga menyebabkan masyarakat Sri Lanka rentan terkena paparan penyakit (dari sebuah wabah), serta kesulitan dalam mendapatkan akses kenyamanan dan keamanan dari melemahnya tindak pencegahan dan pengendalian dari institusi-institusi kesehatan (Matthias dan Jayasinghe, 2022). Terlebih, situasi krisis merupakan situasi muram yang dapat membuat orang-orang mengalami stres-depresi yang tentunya membuat kerentanan kesehatan di tingkat individu juga meningkat. Sri Lanka pada kondisi normal mengimpor suplai kesehatan lebih dari 80%. Akan tetapi, melemahnya nilai mata uang lokal terhadap valuta asing disertai menipisya cadangan USD, Sri Lanka kehabisan pasokan dalam negeri dan tidak mampu mengimpor dengan volume yang sama kembali (Kataria, 2022). Akibat krisis ini, kemiskinan diperkirakan akan meningkat 2 kali lipat menjadi 25,6% atau pertambahan orang miskin sebanyak 2,7 juta jiwa pada tahun 2021 dan 2022 (Zervos, 2022).

PENANGGULANGAN

Banyak pihak merespon krisis Sri Lanka dan berusaha membantu untuk mencegah krisis dari keparahan terutama untuk melindungi masyarakat yang miskin dan rentan akibat dari krisis ini. Pada kondisi krisis, sangat penting untuk melindungi yang rentan, miskin, dan paling membutuhkan dalam perekonomian, maka diperlukan koordinasi dalam memberi bantuan kepada kalangan tersebut (Zervos, 2022).  Tanggapan krisis World Bank adalah dengan menggunakan kembali dana dari hasil proyek-proyek yang dibiayai World Bank untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang paling mendesak, termasuk bantuan tunai, bahan bakar gas cair, dan pupuk. World Bank mengucurkan dana 241,3 juta dolar untuk itu semua. Selain itu, World Bank bekerja sama dengan Asian Development Bank (ADB), Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), dan PBB untuk menyupervisi dalam memaksimalkan program terhadap masyarakat Sri Lanka pasca krisis. 

Bantuan Jaminan dan Proteksi Sosial

Tercatat ada tiga juta orang miskin dan rentan menerima bantuan langsung tunai darurat sepanjang Mei ke Juli 2022. Bantuan ini, terlebih, diprioritaskan kepada masyarakat yang menderita penyakit ginjal akut, disabilitas, dan partisipan program Samurdhi. Mereka menerimakan bantuan tunai di kisaran 5000 LKR sampai 7500 LKR . 

Bantuan Liquid Petroleum Gas (LPG)

World Bank mengucurkan dana sebesar 145 juta USD. Dengan dana sebesar 65 juta dolar, World Bank mendistribusikan 5 juta tabung gas elpiji kepada rumah tangga dan bisnis di area urban dan semi urban. Sebanyak 40% penduduk Sri Lanka dan 77% penduduk urban terdampak secara signifikan akibat kelangkaan elpiji karena bagi mereka tidak ada substitusi selain elpiji itu sendiri. Dana bantuan elpiji ini setara dengan 70.000 metric ton gas dan diistemasikan untuk  bertahan selama 3,5 bulan (Juli-Oktober).

Bantuan Obat-Obatan dan Peralatan Medis

World Bank mengeluarkan dana 22,3 juta USD untuk memenuhi kebutuhan atas obat-obatan dan peralatan medis. Selama krisis masih berlangsung, obat esensial, persediaan medis, dan suplemen nutrisi sangat dibutuhkan untuk memperkuat sumber daya kesehatan. Obat-obatan tersebut akan didistribusikan ke beberapa rumah sakit umum secara grati berdasarkan kebutuhan, perkiraan, dan pola penyakit untuk memastikan pasokan yang cukup untuk memerangi pandemi COVID-19 dan penyakit yang mengancam jiwa lainnya.

Bantuan Pupuk

Dikarenakan sempat adanya larangan penggunaan pupuk kimia, Sri Lanka mengalami kegagalan panen yang berimplikasi kepada turunnya beberapa komoditas pertanian baik untuk keperluan domestik maupu ekspor. World Bank mengucurkan dana sebesar 9 juta USD. Tercatat bahwa Sri Lanka memerlukan 150.000 metrik ton pupuk untuk penanaman padi di masa panen ‘Maha’. Tanggapan darurat World Bank mendukung pengadaan urea untuk memenuhi kebutuhan pupuk hampir 1 juta petani padi kecil pada musim utama penghasil beras ‘Maha’. Pupuk tersebut akan didistribusikan kepada petani kecil melalui Agrarian Service Center (ASC) ke seluruh pulau dengan harga 10.000 LKR per 50 Kg.berdasarkan persyaratan luas lahan yang disiapkan untuk penanaman padi. Petani kecil yang bertani hingga 2 hektar padi akan memenuhi syarat untuk dapat membeli urea dari ASC. 

Konklusi 

Sri Lanka, yang dulunya terkenal dengan komoditas pertaniannya dan pesona turismenya di kancah internasional, kini dicakup oleh serba-serbi masalah di dalam negeri. Berbagai macam kebijakan populis telah dicanangkan oleh pemerintah, tetapi ada juga yang tidak didasarkan pada penelitian, perencanaan, dan rekomendasi yang mendalam. Kebijakan-kebijakan tersebut menyebabkan defisit anggaran berkelanjutan dari tahun ke tahun dan penggunaan utang luar negeri yang tidak terarah. Pada akhirnya, beberapa kebijakan tersebut tidak berakhir baik, dan bahkan menjadi penyebab krisis itu sendiri. Lebih buruknya, beberapa kebijakan countermeasure atas terhadap kegagalan-kegagalan tersebut tidak dilakukan dengan tepat guna, tetapi terkesan populis. Contoh buruknya adalah ketika Sri Lanka mengalami krisis cadangan dolar, pemerintahya merespon dengan kebijakan larangan impor barang esensial dan non-unggul secara komparatif, yakni pupuk kimiawi. Sehingga, kebijakan tersebut merusak sektor pertanian, dan kini Sri Lanka mengalami krisis pangan akibat sektor riil pertanian yang rusak disertai dengan sektor eksternalnya yang tidak mampu mengompensasi produksi komoditas pertanian di sana. 

Sri Lanka dalam kondisi krisis yang kompleks ini dan dengan berbagai tantangan multidimensi, diharapkan dapat melakukan studi dan analisis empiris terhadap berbagai krisis sebelumnya, seperti krisis Amerika Latin 1980 dan krisis finansial di Asia 1997. Negara-negara Asia Timur dan  Tenggara berhasil bangkit dari krisis karena adanya reformasi yang baik dan tepat, serta diperlukan restrukturisasi utang agar meningkatkan ketahan Sri Lanka. Maka, Sri Lanka dapat meniru proses pemulihan krisis negara-negara tersebut (Timmer, 2022). Terdapat dua pembelajaran dari krisis finansial di Asia yang dapat diterapkan oleh Sri Lanka, (1) perhitungan jangka pendek dibutuhkan untuk mengetahui kelemahan struktural dan memitigasi external shocks dan kokoh dalam menghadapi future shock dan (2) pengambilan kebijakan yang terukur dan kritis untuk mendorong future growth. (World Bank, 2022).

 

Referensi:

Leave a Reply

Your email address will not be published.