Susu Segar Terbuang Percuma: Ironi Pahit Disrupsi Pasar

Author: Nabillah Azzyati

Indonesia memiliki potensi besar dalam sektor peternakan, khususnya di subsektor sapi perah. Dengan didukung kekayaan sumber daya alam, lahan yang luas, dan masyarakat agraris yang berperan besar dalam perekonomian, subsektor ini memiliki prospek yang menjanjikan. Susu sapi segar merupakan salah satu produk peternakan yang sangat penting karena kandungan nutrisinya yang tinggi. Salah satu hasil penelitian menyebutkan dalam 100 gram susu sapi murni memiliki kandungan, air 87,3%, kasein 2,6%, laktosa 4,6% protein whey 0,6%, abu 0,7% dan energi 66 Kkal (Putranto, dkk., 2019). Namun, meskipun permintaan susu terus meningkat seiring dengan kesadaran akan pentingnya pola hidup sehat, pengembangan industri sapi perah di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan yang membuat potensi besar ini belum tergarap secara optimal. 

Sumber: Badan Pusat Statistik 2022 

Menurut data dari Badan Pusat Statistik, hingga 2022 populasi sapi perah di Indonesia mencapai 507.075 ekor, dengan wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat menjadi sentra utama produksi susu sapi segar. Jawa Timur, sebagai daerah dengan kontribusi terbesar, menyumbang separuh dari total populasi sapi perah nasional. Meski demikian, produksi susu segar dalam negeri (SSDN) masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional. 

Rendahnya produktivitas susu perah di Indonesia menjadi salah satu faktor utama yang menghambat perkembangan sektor ini. Rata-rata produksi susu per ekor sapi per hari di Indonesia hanya sekitar 8-10 liter (Karuniawati, 2024). Produksi tersebut jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara maju seperti Selandia Baru dan Australia yang mampu mencapai 30-40 liter per hari per ekor. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas genetik sapi perah lokal. Selain itu, pengelolaan peternakan masih menghadapi berbagai kendala, termasuk akses terbatas pada teknologi modern, kurangnya pemahaman tentang manajemen pakan dan kesehatan sapi, serta skala usaha peternakan yang umumnya kecil. Mayoritas peternak sapi perah di Indonesia merupakan peternak rakyat yang hanya memiliki 2-3  ekor sapi, sehingga efisiensi produksi menjadi sulit dicapai (Disnak Jatim, 2011) 

Masalah lainnya adalah keterbatasan infrastruktur dan rantai pasok. Minimnya fasilitas penyimpanan seperti cold storage dan transportasi yang memadai membuat kualitas susu cepat menurun sebelum sampai ke konsumen. Industri pengolahan susu juga menetapkan standar kualitas tertentu yang seringkali sulit dipenuhi oleh peternak kecil, sehingga susu yang dihasilkan tidak dapat diserap sepenuhnya oleh pasar. Di beberapa daerah, hal ini bahkan memicu fenomena pembuangan susu segar secara massal. Salah satunya terjadi di sentra produksi susu seperti Boyolali, ribuan liter susu segar terpaksa dibuang oleh peternak karena tidak terserap oleh industri atau pasar lokal. Fenomena ini terjadi karena ketidakseimbangan antara produksi dan daya serap pasar. Pembuangan susu segar tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga menciptakan masalah lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. 

Kendala lain yang dihadapi industri susu perah adalah fluktuasi harga yang seringkali tidak menguntungkan bagi peternak. Biaya produksi yang tinggi, terutama untuk pakan dan perawatan kesehatan sapi, sering kali tidak sebanding dengan harga jual susu. Hal ini membuat banyak peternak kesulitan untuk mempertahankan usaha mereka dalam jangka panjang. Selain itu, kurangnya dukungan kebijakan yang berpihak pada peternak kecil turut memperparah kondisi ini. Jika masalah-masalah ini tidak segera diatasi, pengembangan industri susu perah yang berkelanjutan akan sulit dicapai.  

PEMBAHASAN 

Sumber: Badan Pusat Statistik 2022 

Dapat dilihat pada diagram, produksi susu sapi tergantung dengan jumlah populasi sapi yang tersebar di seluruh daerah. Produksi susu sapi segar Indonesia masih terkonsentrasi di provinsi-provinsi dengan jumlah populasi sapi yang tinggi, seperti di Pulau Jawa, dengan Jawa Timur menguasai 56% produksi susu segar nasional, lalu disusul oleh Jawa barat sebanyak 31% dan kemudian Jawa Tengah 11%. Serta sisanya yang hanya 2% dihasilkan oleh Provinsi lain. Dapat dilihat juga bahwa produksi susu masih jauh dari kata merata secara nasional. Provinsi di luar Jawa, seperti Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan, memiliki populasi sapi perah yang jauh lebih kecil dari pada pulau jawa, yaitu hanya berkisar 9% dari seluruh rata-rata populasi sapi di Indonesia selama kurun waktu 2010-2022. Kondisi ini menimbulkan ketergantungan yang tinggi pada produksi dari Pulau Jawa. Ketergantungan penyedia susu pada wilayah tertentu menyebabkan distribusi susu segar tidak merata. Pulau Jawa mengalami kelebihan produksi, sedangkan beberapa daerah lain, khususnya di Indonesia bagian timur, mengalami kekurangan pasokan susu, sehingga mengakibatkan distribusi ke provinsi lain sering terkendala masalah logistik. 

Kebutuhan nasional akan susu di Indonesia terus meningkat seiring dengan pertumbuhan populasi dan kesadaran akan pentingnya konsumsi susu untuk kesehatan. Namun, saat ini produksi lokal hanya mampu mencukupi sekitar 40% dari total konsumsi nasional. Data dari Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa pada tahun 2021, total konsumsi susu di Indonesia mencapai 4,3 juta ton, dan susu dalam negeri baru berkontibusi terhadap kebutuhan susu nasional sekitar 22,7%, sisanya masih impor (Kementerian Pertanian, 2021). 

Selisih yang signifikan antara produksi dan konsumsi ini menuntut adanya pasokan tambahan dari impor. Program pemerintah seperti “Susu Gratis” yang bertujuan untuk meningkatkan konsumsi susu di kalangan anak-anak dan masyarakat umum, membutuhkan tambahan pasokan yang besar. Hal ini semakin memperburuk situasi peternak lokal, yang harus bersaing dengan susu impor yang sering kali lebih murah dan berkualitas lebih tinggi. 

Dalam konteks ini, penting untuk dicatat bahwa ketergantungan pada susu impor tidak hanya mengancam keberlanjutan peternakan lokal, tetapi juga menciptakan ketidakstabilan dalam pasar susu domestik. Ketika susu peternak lokal tidak mampu bersaing dengan harga dan standar kualitas permintaan pasar, mereka terpaksa membuang susu segar yang dihasilkan, meskipun di tengah krisis ekonomi. Ini merupakan sebuah ironi, di mana di satu sisi ada kebutuhan yang tinggi, sementara di sisi lain, peternak justru mengalami kerugian yang signifikan. 

Kecamatan di Boyolali  Nilai 
Mojosongo  12.017.280,43 
Tamansari  7.939.428,23 
Musuk  6.664.445,36 
Ampel  3.929.598,37 
Gladagsari  3.472.627,77 
Selo  1.766.836,73 
Boyolali  1.541.839,75 
Cepogo  366.274,15 
Teras  106.393,92 
Total  37.804.724,71. 

Sumber : Databoks 2024 

Dapat dilihat dari data terbaru yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik pada 2023, Kabupaten Boyolali memiliki 9 kecamatan yang masing-masing menghasilkan produksi susu yang cukup signifikan. Pada bulan November 2024, Dewan Persusuan Nasional (DPN) mencatat ada sekitar 200 ton susu segar yang di buang hampir setiap harinya. Salah satu penyebab utama pemborosan susu segar adalah ketidakmampuan pasar untuk menyerap produk yang dihasilkan oleh peternak. Di Boyolali, misalnya, produksi susu dari peternak mencapai sekitar 140.000 liter per hari. Namun, industri pengolahan susu hanya mampu menyerap sekitar 110.000 liter per hari, meninggalkan sisa 30.000 liter yang tidak terpakai. Padahal susu tersebut hanya bisa bertahan selama 48 jam. 

Salah satu pengurus Koperasi Unit Desa (KUD) Mojosongo, Boyolali, mengatakan susu yang dihasilkan oleh peternak dan di tampung di KUD bisa mencapai 23.000 liter perharinya. Namun beberapa hari terakhir Industri Pengolahan Susu (IPS) membatasi kuota susu yang dapat diterima dari Koperasi menjadi hanya 18.000 liter per harinya. Dengan itu ada sekitar 5.000 liter yang tidak terserap. 

Akibat dari hal tersebut, pada Sabtu, 11 November 2024 lalu para peternak dan pengepul susu di Boyolali yang tergabung dalam Paguyuban Tanpo Sambat melakukan aksi untuk menyuarakan masalah tersebut. Aksi dilakukan dengan membagi-bagikan susu secara gratis kepada warga sekitar dalam jumlah yang cukup banyak. Para peternak dan pengepul susu mengangkut sekitar 50 ton, atau setara dengan 50 ribu liter susu, menggunakan puluhan drum dan tangki yang diangkut dengan beberapa mobil bak terbuka.  

Susu tersebut dibawa dari lokasi pengepul menuju Kantor Dinas Peternakan Kabupaten Boyolali. Dari sana, susu-susu itu kemudian diantar ke pusat kota, tepatnya di area Tugu Susu Tumpah yang terletak di Kecamatan Boyolali Kota. Selanjutnya mereka juga melakukan aksi demonstrasi dengan melakukan aksi mandi susu. Mandi tersebut menggunakan air susu rusak atau sudah basi yang tidak terserap oleh industri pengolahan susu. Koordinator aksi, Sriyono Bonggol, menjelaskan bahwa sebagian susu digunakan untuk mandi susu sebagai bentuk aksi solidaritas bagi para peternak. Sementara itu, sebagian lainnya yang masih layak konsumsi dibagikan secara gratis kepada warga yang melintas. “Total susu yang dibuang dalam aksi solidaritas ini mencapai 50 ribu liter. Jika dinilai dalam bentuk uang, jumlah tersebut setara dengan Rp 400 juta,” ungkap Sriyono kepada wartawan. (Ryanthie, 2024) 

Situasi serupa juga terjadi di Pasuruan, di mana peternak mengalami pengurangan kuota penyerapan susu oleh industri pengolahan. Akibatnya, sekitar 80 ton susu dari Koperasi Peternakan Sapi Perah (KPSP) Setia Kawan tidak terserap, dan beberapa peternak terpaksa membuang susu yang tidak dapat disetor (Dahlia, 2024). 

Sumber : Laporan Outlook susu 2022 

Jika dilihat dari segi fluktuasi harga secara nasional harga susu sapi dari tahun 2016 hingga 2022 mengalami fluktuasi dengan kecenderungan meningkat, dengan rata-rata pertumbuhan tahunan sebesar 4,48%  Pada tahun 2016, harga susu sapi tercatat sebesar Rp 8.000 per liter, kemudian naik menjadi Rp 11.695 per liter pada tahun 2021. Meskipun mengalami peningkatan namun, harga tetap berfluktuatif sehingga memberikan dampak signifikan bagi peternak lokal, baik secara ekonomi, dan sosial. Saat harga naik, peternak dapat menikmati peningkatan pendapatan, memperluas skala usaha, serta berinvestasi pada peralatan atau pakan berkualitas. Namun, jika harga turun, mereka menghadapi tantangan berat, seperti penurunan pendapatan, beban utang, hingga pengurangan skala produksi yang dapat menyebabkan beberapa peternak meninggalkan profesinya. Penurunan harga juga mempersulit daya saing peternak lokal terhadap susu impor yang sering kali lebih murah akibat subsidi negara asalnya. 

Sumber : Laporan Outlook susu 2022 

Jika dilihat dari segi kestabilan harga, harga susu impor global lebih stabil, dengan perubahan yang lebih gradual dalam kisaran 2,1-2,6 USD/ton, sedangkan harga susu di Indonesia lebih fluktuatif dengan lonjakan tajam di tahun 2021 dan penurunan signifikan pada tahun berikutnya. Perbedaan ini dapat mengindikasikan pengaruh faktor domestik seperti biaya produksi, distribusi, permintaan lokal, dan kebijakan ekonomi yang mempengaruhi harga susu di Indonesia.  

Dari segi kualitas, susu yang diproduksi secara lokal masih tergolong rendah. Berdasarkan pengujian mutu susu, susu lokal menunjukkan karakteristik fisik, kimia, dan biologis yang tidak memenuhi standar CODEX, yang merupakan pedoman internasional untuk kelayakan makanan dan minuman. Masalah seperti susu yang pecah, berbau, berwarna tidak normal, dan kotor sering ditemukan setelah proses panen dari peternak lokal. Selain itu, susu lokal cenderung lebih cair, memiliki kadar lemak yang tinggi, serta jumlah mikroorganisme yang jauh melebihi standar CODEX (Susatyo, 2011). 

Parameter  Syarat Standard CODEX  Rata-rata di Indonesia 
Berat Jenis  min 1,028  1,025 
Protein  2,7%  3,5% 
Lemak  3%  4,25% 
Bakteri  1000000/ml  3000000/ml 

Sumber: Standar Nasional Indonesia 1998 

Tabel tersebut menunjukkan perbandingan antara standar kualitas susu yang ditetapkan oleh CODEX dan rata-rata produk susu di Indonesia. Dalam hal berat jenis, susu lokal di Indonesia memiliki nilai rata-rata 1,025, sedikit lebih rendah dari standar CODEX yang menetapkan minimal 1,028. Hal ini menunjukkan bahwa susu lokal Indonesia cenderung lebih encer. Sedangkan untuk kandungan protein, susu lokal Indonesia memiliki kadar rata-rata 3,5%, lebih tinggi dibandingkan dengan standar CODEX yang hanya menetapkan 2,7%. Dalam hal kandungan lemak, susu lokal Indonesia juga menunjukkan kadar yang lebih tinggi, yaitu 4,25%, sementara standar CODEX adalah 3%. Namun, untuk kandungan bakteri, susu lokal Indonesia memiliki jumlah bakteri yang lebih tinggi, yaitu 3.000.000 bakteri per mililiter, jauh melebihi standar CODEX yang membatasi jumlah bakteri maksimal 1.000.000 per mililiter. Secara keseluruhan, meskipun susu lokal Indonesia mengandung lebih banyak protein dan lemak, kualitas fisik dan sanitasi susu tersebut masih belum memenuhi standar internasional yang ditetapkan oleh CODEX. 

Dampak dari pemborosan susu segar tidak hanya dirasakan oleh peternak, tetapi juga oleh masyarakat secara umum. Ketika peternak membuang susu, mereka kehilangan sumber pendapatan yang vital. Banyak peternak yang mengandalkan susu sebagai sumber utama pendapatan mereka. Pemborosan ini menyebabkan mereka terjebak dalam siklus kemiskinan, di mana mereka tidak hanya kehilangan produk, tetapi juga modal yang telah mereka investasikan dalam produksi susu. Di Boyolali, koperasi Unit Desa (KUD) Mojosongo yang menyerap susu dari peternak mengalami kerugian sekitar Rp 40 juta per hari akibat pembatasan kuota penyerapan oleh industri. Koperasi tetap membayar susu yang disetorkan peternak meskipun tidak semua susu dapat diserap (Anugrahanto, 2024). 

Dari perspektif sosial, fenomena ini juga menciptakan ketidakpuasan di kalangan peternak. Ketika mereka melihat susu yang dihasilkan dengan kerja keras terbuang sia-sia, rasa frustasi dan kekecewaan muncul. Banyak peternak yang merasa diabaikan oleh pemerintah dan pasar, sehingga mereka terpaksa melakukan demonstrasi untuk menyuarakan ketidakadilan yang mereka alami. Demonstrasi ini sering kali menjadi sorotan media, tetapi sayangnya, solusi yang diharapkan belum sepenuhnya terwujud. 

Ketidakadilan dalam pasar susu juga menjadi faktor yang berkontribusi terhadap pemborosan susu segar. Banyak peternak lokal yang tidak memiliki akses ke pasar yang lebih luas dan lebih menguntungkan. Mereka sering kali terpaksa menjual susu mereka di pasar lokal dengan harga yang rendah, sementara susu impor yang lebih murah dan berkualitas tinggi masuk ke pasar. Hal ini menciptakan persaingan yang tidak adil, di mana peternak lokal tidak mampu bersaing dengan harga dan kualitas susu impor. 

Kondisi ini diperburuk oleh kebijakan pemerintah yang kurang mendukung. Meskipun ada beberapa program yang dirancang untuk mendukung peternak lokal, seperti subsidi dan pelatihan, implementasinya sering kali tidak merata. Banyak peternak yang tidak mendapatkan akses ke program-program ini, sehingga mereka tetap terjebak dalam kondisi yang sulit.   

KESIMPULAN 

Industri sapi perah di Indonesia menghadapi tantangan besar meskipun memiliki potensi luar biasa. Dengan populasi sapi perah mencapai lebih dari 500 ribu ekor pada 2022, mayoritas produksi masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur. Namun, faktanya distribusi susu yang tidak merata dan keterbatasan infrastruktur membuat produksi nasional hanya mampu mencukupi sekitar 40% kebutuhan susu nasional, sisanya masih bergantung pada impor. Selain itu, rendahnya produktivitas sapi perah lokal, keterbatasan akses teknologi modern, dan kurangnya pemahaman peternak tentang manajemen pakan serta kesehatan sapi juga menjadi faktor penghambat utama.  

Fenomena ini tidak hanya merugikan peternak secara ekonomi tetapi juga menciptakan dampak sosial yang signifikan. Ketidakseimbangan antara produksi dan daya serap pasar, seperti yang terjadi di Boyolali dan Pasuruan, menyebabkan ribuan liter susu terbuang setiap harinya, menggambarkan ketidakadilan pasar yang dihadapi peternak kecil. Demonstrasi dan aksi solidaritas peternak untuk menyuarakan ketidakpuasan menunjukkan urgensi reformasi dalam kebijakan pemerintah dan peran industri. Dukungan berupa infrastruktur yang memadai, peningkatan kualitas genetik sapi, dan pembenahan sistem rantai pasok diperlukan untuk menciptakan pasar susu yang adil dan berkelanjutan. Tanpa langkah-langkah ini, potensi besar industri susu perah di Indonesia akan terus terhambat, dan peternak kecil akan semakin sulit bertahan dalam menghadapi tantangan pasar domestik maupun global. 

 

DAFTAR PUSTAKA 

Badan Pusat Statistik. (2022). Produksi susu segar menurut provinsi (ton). Dari https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/NDkzIzI=/produksi-susu-segar-menurut-provinsi.html. Diakses pada 22 November 2024. 

 

Badan Pusat Statistik. (2022). Populasi sapi potong menurut provinsi. Dari https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/NDY5IzI=/populasi-sapi-potong-menurut-provinsi.html. Diakses pada 22 November 2024. 

 

 Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. (2022). Kementan berkomitmen kembangkan produksi susu segar dalam negeri. Dari https://ditjenpkh.pertanian.go.id/berita/1340-kementan-berkomitmen-kembangkan-produksi-susu-segar-dalam-negeri. Diakses pada 22 November 2024. 

 

Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur. (n.d.). Peternak sapi perah idealnya memelihara 4-5 ekor. Dari https://www.disnak.jatimprov.go.id/web/posts/read/472-peternak-sapi-perah-idealnya-memelihara-4-5-ekor. Diakses pada 22 November 2024. 

 

Katadata. (2023). Ini sentra produksi susu di Kabupaten Boyolali 2023. Dari https://databoks.katadata.co.id/agroindustri/statistik/6732f87213f22/ini-sentra-produksi-susu-di-kabupaten-boyolali-2023. Diakses pada 23 November 2024. 

 

Katadata. (2023.). Laporan produksi susu Indonesia. Dari https://www.bing.com/ck/a?!&&p=6c3058725a0be0bc566f5584cefcf3ec07e22850e7b1810eb64ca9bcc75fef5aJmltdHM9MTczNTI1NzYwMA&ptn=3&ver=2&hsh=4&fclid=296551f7-8bc8-6d89-3eb3-424f8a7f6c19&psq=laporan+produksi+susu+indonesia&u=a1aHR0cHM6Ly9zYXR1ZGF0YS5wZXJ0YW5pYW4uZ28uaWQvYXNzZXRzL2RvY3MvcHVibGlrYXNpL0ZJTkFMX09VVExPT0tfU1VTVV8yMDIyLnBkZg&ntb=. Diakses pada 25 November 2024. 

 

Dahlia. (2024, November 10). Kuota dikurangi oleh pabrik susu, peternak di Pasuruan banyak terbuang. Dari https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2024/11/10/kuota-dikurangi-oleh-pabrik-susu-peternak-di-pasuruan-banyak-terbuang. Diakses pada 27 November 2024. 

 

Anugrahanto. (2024, November 10). Penyerapan susu dibatasi industri pengolahan susu, pengepul di Boyolali tombok. Dari https://www.kompas.id/baca/nusantara/2024/11/10/penyerapan-susu-dibatasi-industri-pengolahan-susu-pengepul-di-boyolali-tombok. Diakses pada 27 November 2024. 

 

 Susatyo Nugroho W.P, Darminto Pudjotomo, Terzi Khoirina Tifani. (2024). Analisa penyebab penurunan daya saing produk susu sapi dalam negeri terhadap susu sapi impor pada industri pengolahan susu (IPS) dengan metode fault tree analysis (FTA) dan barrier analysis. Dari https://media.neliti.com/media/publications/90838-ID-none.pdf. 

 

 Scribd. (1998). SNI 01-3141-1998: Susu segar. Dari https://www.scribd.com/document/358130184/SNI-01-3141-1998-Susu-segar-pdf. Diakses pada 30 November 2024. 

 

 Ryanthie. (2024). Derita peternak sapi perah Boyolali: susu dibuang karena tak terserap pabrik, pemerintah belum bertindak. Dari https://www.tempo.co/ekonomi/derita-peternak-sapi-perah-boyolali-susu-dibuang-karena-tak-terserap-pabrik-pemerintah-belum-bertindak-1166236. Diakses pada 30 November 2024. 

Leave a Reply

Your email address will not be published.