[QUICKIE!] Jalur Ketiga Pemulihan Ekonomi Nasional

 

 

Jalur Ketiga Pemulihan Ekonomi Nasional

Author: Naufal Mohamad Firdausyan

 

“The pandemic tests a new policymaking benchmark that includes civil society and social norms.”

– Samuel Bowles dan Wendy Carlin (2021)

 

Tahun ini, Indonesia memperingati hari kemerdekaan ke-76 sejak proklamasi dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Berbagai peristiwa ekonomi pernah membersamai kemerdekaan ini, termasuk di dalamnya rentetan krisis perekonomian. Krisis diakui telah menimbulkan beragam efek bagi sebuah negara; dari turunnya nilai ekspor suatu negara (Brunschwig dkk., 2011), perlambatan pertumbuhan sektor industri (European Parliament, 2021), hingga rendahnya pertumbuhan produk domestik bruto (Malizewska, Mattoo, dan Mensbrugghe, 2020). Tak terkecuali, krisis kesehatan akibat pandemi Covid-19 telah mengubah wajah perekonomian Indonesia selama hampir dua tahun belakangan. Ekonomi yang didasarkan pada mobilitas masyarakat dan tatap muka fisik telah bergeser menjadi ekonomi yang “berdiam diri” di rumah dan tatap muka daring—terima kasih pada teknologi informasi yang berkembang dengan pesat satu dekade belakangan. Disrupsi yang begitu cepat dalam perekonomian direspon melalui intervensi pemerintah dalam pasar; bantuan sosial bagi masyarakat berpenghasilan rendah, hibah dana UMKM, injeksi likuiditas bagi perbankan, dan sebagainya. Walaupun demikian, intervensi ekonomi hanya bersifat komplementer dengan kebijakan vaksinasi massal karena pemulihan ekonomi akan sangat bergantung dengan penanganan pandemi itu sendiri. Namun demikian, cukupkah vaksinasi dan intervensi fiskal & moneter tersebut menjadi terapi yang optimal terhadap pemulihan ekonomi nasional?

Di saat vaksinasi masih berjalan dan insentif fiskal & moneter masih menemui time lag dengan dampaknya, segelintir orang bergerak atas inisiatif pribadi untuk membantu sesama yang didasarkan atas rasa kemanusiaan. Kemunculannya telah mematahkan asumsi klasik yang dicap oleh ekonomi sebagai manusia yang rasional—dan faktanya ternyata berkebalikan. Mengapa demikian? Manusia yang seharusnya dapat memaksimalkan utilitas waktu yang dimilikinya untuk kepuasan pribadi, telah mengorbankan kendala anggaran waktunya untuk diberikan kepada orang lain. Dengan kata lain, mereka mengorbankan kepuasan yang seharusnya bisa didapatkan secara penuh. Perilaku segelintir orang tadi dianggap sebagai modal sosial yang penting dalam meningkatkan ketahanan (resilience) masyarakat saat pandemi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Helliwel, Huang, dan Wang (2014) tentang modal sosial sebagai bentuk ketahanan komunitas saat krisis terjadi. Tulisan ini akan menarasikan kebangkitan modal sosial Indonesia saat pandemi sebagai alternatif jalur ketiga pemulihan ekonomi nasional selain vaksinasi dan insentif fiskal & moneter.

 

Kegagalan Pasar Saat Pandemi

Kegagalan pasar merupakan suatu kondisi ketika pasar tidak mampu mengalokasikan sumber daya di dalam perekonomian secara efisien (Rosen dan Gayer, 2010). Kondisi ini sebenarnya lumrah dijumpai, misalnya saat terjadi monopoli barang di pasar, eksternalitas negatif berupa polusi udara, dan sebagainya. Dalam konteks pandemi, pasar kesehatan menjadi episentrum utama kegagalan pasar yang merambat ke berbagai pasar lainnya. Menurut Williams, Yung, dan Grepin (2021), pasar kesehatan dinilai telah mengalami kegagalan sejak dahulu, khususnya di negara berpendapatan rendah dan menengah. Hal ini disebabkan akibat adanya dominasi pasar kesehatan swasta karena peranan pemerintah yang terlalu lemah dalam penyediaan seluruh aspek kesehatan masyarakat. Padahal, pasar kesehatan swasta dinilai tidak dapat memenuhi syarat cukup dalam menciptakan efisiensi dalam pasar kesehatan itu sendiri (Arrow, 1963; Filmer dkk., 2002 dalam Williams, Yung, dan Grepin, 2021). Kondisi pandemi menyebabkan perluasan kegagalan pasar ini ke keseimbangan pasar-pasar lainnya, misalnya ditemukan fakta adanya kelangkaan tabung oksigen, peti mati, hingga plasma konvalesen sebagai salah satu logistik penting di pasar kesehatan. Kenaikan permintaan yang tidak diimbangi oleh suplai barang di pasar menimbulkan tidak terbentuknya pasar di dalam perekonomian dan menjadi salah satu penyebab kegagalan pasar itu sendiri. Apabila permintaan terhadap barang logistik kesehatan tersebut dapat direpresentasikan melalui tren pencariannya di mesin pencarian Google, grafik berikut menunjukkan adanya kenaikan signifikan permintaan barang logistik kesehatan selama Bulan Juni – Juli 2021.

Gambar 1. Tren rata-rata satu minggu kenaikan permintaan logistik kesehatan melalui representasi tren dalam mesin pencarian Google periode Juni – Juli 2021.

Sumber: Google

 

Adanya kegagalan pasar menjadi justifikasi yang cukup bahwa perlunya intervensi pemerintah di dalam pasar. Namun demikian, ruang gerak pemerintah masih terbatas akibat informasi asimetris yang timbul di lapangan. Hal ini terlihat dari respon lambatnya pemerintah dalam memenuhi beberapa barang logistik kesehatan yang mengalami kelangkaan beberapa waktu yang lalu, terutama berkaitan dengan hambatan birokrasi, anggaran, dan informasi asimetris. Walaupun diakui bahwa saat ini mobilisasi logistik telah berjalan dengan baik, masyarakat tidak akan lupa dengan usaha mandiri yang mereka lakukan sembari menunggu kebijakan pemerintah saat itu. Apa yang dilakukan oleh masyarakat? Secara swadaya, mereka mencoba meminimalisasi informasi asimetris dengan membangun sebuah sistem yang mempertemukan permintaan dan penawaran barang-barang di pasar kesehatan, misalnya tabung oksigen, peti mati, dan plasma konvalesen, misalnya upaya yang dilakukan oleh Sambatan Jogja (gerakan kemanusiaan di Yogyakarta) dalam memobilisasi berbagai barang kesehatan kepada fasilitas pelayanan kesehatan dan relawan yang membutuhkan. Di luar pasar kesehatan, masyarakat juga dapat turut menunjukkan inisiatifnya dalam pemenuhan barang dalam pasar pangan. Di samping insentif fiskal berupa bantuan sosial sembako atau tunai, masyarakat berinisiatif untuk membantu sesama masyarakat dalam program “Jogo Tonggo” di Jawa Tengah maupun “Canthelan” di Kota Yogyakarta. Seluruhnya merupakan bentuk mobilisasi bantuan inisiatif masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari—dari dan untuk masyarakat.

 

Membangun Inisiatif Melalui Modal Sosial

Berbagai upaya mandiri yang dilakukan oleh masyarakat dinilai sebagai sebuah modal sosial untuk merespon otoritas yang bergerak terbatas selama pandemi.  Kegagalan pasar yang berkepanjangan tidak ditoleransi oleh masyarakat saat kondisi pandemi akibat desakan waktu yang erat kaitannya dengan keselamatan banyak nyawa. Vaksinasi dan insentif fiskal & moneter nyatanya tidak mampu menyelesaikan seluruh kegagalan pasar dalam perekonomian saat pandemi dan diakui bahwa modal sosial adalah jalur lain untuk menyelamatkan pasar saat ini. Diakui bahwa lingkupnya memang kecil. Namun, apabila dilakukan di banyak wilayah secara konsisten, dampaknya cukup untuk menjadi pemicu bagi pemulihan ekonomi nasional dari tingkat mikro. Diidentifikasi terdapat tiga unsur utama dalam membentuk inisiatif masyarakat agar berjalan secara optimal, yaitu media komunikasi, sistem informasi, dan relawan penggerak. Seluruhnya menjadi satu kesatuan yang berjalan secara kontinyu dalam jangka waktu krisis terjadi.

Gambar 2. Unsur utama penggerak inisiatif masyarakat di tingkat bawah

Sumber: Dokumentasi Pribadi

 

Pertanyaan baru muncul seiring dengan berkembangnya diskursus modal sosial. Bagaimana lantas peran pemerintah seharusnya? Jawabannya secara apik dikemas oleh Woolcock (1998) yang mencoba menggambarkan sebuah skema pembentukan modal sosial dari ranah mikro hingga makro. Di dalam dua konsep modal sosial menurutnya, ada konsep yang disebut embeddedness, yaitu adanya pengaruh faktor nonekonomi terhadap perilaku ekonomi seseorang. Di tingkat mikro, embeddedness menggambarkan keterlekatan intrakomunitas. Keterlekatan ini direpresentasikan melalui modal sosial sebagai budaya masyarakat Indonesia selama ini muncul sebagai faktor nonekonomi untuk “mempengaruhi” aktivitas ekonomi masyarakat. Pemerintah di tingkat makro lalu mempraktikkan konsep embeddedness pembentukan modal sosial melalui hubungan negara dan masyarakat. Posisi pemerintah seharusnya muncul untuk merekognisi upaya yang dilakukan masyarakat di tingkat mikro atau mengakui beragam upaya yang dilakukan oleh masyarakat. Seluruh tingkatan, baik di tingkat mikro dan makro, membutuhkan adanya hubungan sosial. Hal yang menarik adalah Granovetter (1992) menyebut secara gamblang bahwa hubungan sosial akan menentukan derajat kepercayaan dalam kehidupan ekonomi. Dalam kasus krisis pandemi Covid-19 saat ini, diakui bahwa kekuatan modal sosial dapat menjadi salah satu jalur pemicu agar kehidupan ekonomi berjalan sebagaimana mestinya menuju pemulihan ekonomi.

Gambar 3. Konsep pembentukan modal sosial di tingkat mikro dan makro dalam masyarakat sipil

Sumber: Woolcock (1998)

 

Apa Yang Bisa Dilakukan Sekarang?

Selama ini, pemerintah berpegangan pada dua kebijakan utama dalam pemulihan ekonomi, yaitu vaksinasi dan stimulus fiskal & moneter. Seluruhnya diakui telah memberikan dampak bagi perekonomian. Herd immunity yang terbentuk dari vaksinasi akan mengembalikan aktivitas fisik ekonomi yang selama ini telah dilakukan oleh masyarakat sebelum pandemi. Stimulus fiskal & moneter muncul untuk memberikan bantuan bagi agen-agen ekonomi dalam pasar yang terdampak akibat pandemi. Namun demikian, satu hal yang belum ditangkap oleh pemerintah adalah modal sosial. Tidak dapat dibayangkan bagaimana pasar, khususnya logistik kesehatan dan pangan, dapat terbentuk tanpa adanya inisiatif masyarakat yang muncul ketika pandemi ini terjadi. Aspek institusional sebagai sebuah aturan atau cara dalam transaksi tampaknya menjadi salah satu hambatan yang belum terselesaikan oleh pemerintah sehingga kedua kebijakan belum dapat maksimal mengembalikan ekuilibrium pasar.

Tidak menjadi keraguan untuk menjadikan modal sosial sebagai jalur ketiga pemulihan ekonomi nasional di Indonesia. Yang bisa dilakukan pemerintah saat ini adalah mengakui dan mengakomodasi berbagai upaya yang dilakukan oleh masyarakat dalam konteks modal sosial saat menangani pandemi Covid-19 di lapangan. Hal ini dapat mencakup kolaborasi pemerintah dan komunitas masyarakat, bantuan keuangan khusus pada penyediaan infratsruktur dasar pendukung penanganan pandemi yang dibutuhkan masyarakat, hingga mendorong pemenuhan kebutuhan relawan-relawan di lapangan. Walaupun demikian, pemerintah tidak boleh sepenuhnya bergantung pada inisiatif modal sosial masyarakat selama pandemi karena sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat saat ini relatif terbatas. Kembali lagi, pemerintah sebagai otoritas utama dalam penanganan pandemi menjadi pemimpin dalam menyelamatkan Indonesia dalam kondisi krisis ini.

 

DAFTAR PUSTAKA

Bowles, Samuel dan Wendy Carlin. 2021. “Rethinking Economics.” Finance and Development, Maret. Diakses pada 13 Agustus 2021. https://www.imf.org/external/pubs/ft/fandd/2021/03/pdf/rethinking-economics-by-samuel-bowles-and-wendy-carlin.pdf

Brunschwig, Sonia., Bruno Carrasco, Tadateru Hayashi, dan Hiranya Mukhopadhyay. 2011. The Global Financial Crisis: Impact on Asia and Emerging Consensus. Manila: Asian Development Bank

European Parliament. 2021. Impacts of the COVID-19 pandemic on EU industries. Brussel.

Google. 2021. “Google Trends Plasma Konvalesen.” Google Trends, 13 Agustus. Diakses pada 13 Agustus 2021, https://trends.google.com/trends/explore?date=2021-05-26%202021-07-31&geo=ID&q=plasma%20konvalesen

_____. 2021. “Google Trends Peti Mati.” Google Trends, 13 Agustus. Diakses pada 13 Agustus 2021, https://trends.google.com/trends/explore?date=2021-05-26%202021-07-31&geo=ID&q=peti%20mati

_____. 2021. “Google Trends Tabung Oksigen.” Google Trends, 13 Agustus. Diakses pada 13 Agustus 2021, https://trends.google.com/trends/explore?date=2021-05-26%202021-07-31&geo=ID&q=tabung%20oksigen

Granovetter, Mark. 1992. “Economic Action and Social Structure: the Problem of Embeddedness.” Dalam The Sociology of Economic Life, disunting oleh Mark Granovetter dan Richard Swedberg, 53-84. Boulder dan Oxford:Westview Press

Helliwell, John F., Haifang Huang, dan Shun Wang. 2014. “Social Capital and Well-Being in Times of Crisis.” Journal of Happiness Studies 15, no. (1). DOI:10.1007/s10902-013-9441-z

Malizewska, Maryla, Aaditya Mattoo, dan Dominique van der Mensbrugghe. 2020. The Potential Impact of COVID-19 on GDP and Trade: A Preliminary Assessment. Washington, D.C: World Bank

Rosen, Harvey dan Ted Gayer. 2010. Public Finance 9th Edition. New York: McGraw Hill

Williams, Owain David, Ka Chun Yung, dan Karen A. Grépin. 2021. “The failure of private health services: COVID-19 induced crises in low- and middle-income country (LMIC) health systems.” Global Public Health 16, no. (8-9):1320-1333. DOI: 10.1080/17441692.2021.1874470

Woolcock, Michael. 1998. “Social Capital and Economic Development: Toward a Theoretical Synthesis and Policy Framework.” Theory and Society 27, no. (2):151–208. doi:10.2307/657866

 

One thought on “[QUICKIE!] Jalur Ketiga Pemulihan Ekonomi Nasional

Leave a Reply

Your email address will not be published.