[QUICKIE INSIDENTAL] Childfree: Stepping Up Women’s Freedom of Choice Against a Falling Economy

Childfree: Stepping Up Women’s Freedom of Choice Against a Falling Economy

Oleh Ester Dwi S. & Saffanah Calista

“To allow the market mechanism to be the sole director of the fate of human beings and their natural environment….would result in the demolition of society.” – Karl Polanyi

Sociological Views of Childfree

Kekuatan perempuan untuk memutuskan identitas dan perannya sebagai individu yang merupakan bagian dari masyarakat semakin meluas. Terutama peran sosial perempuan dalam suatu keluarga yang menuntut perempuan untuk berkembang biak dan membesarkan anak. Sistem kasta tradisional melihat peran perempuan dalam keluarga sebagai seseorang yang mengandung, melahirkan, dan membesarkan anak, dan kemudian hal tersebut dipandang sebagai keharusan mutlak yang seharusnya terjadi. Market theory mendukung pandangan tersebut dengan tidak melihat pekerjaan domestik perempuan dalam keluarga sebagai keputusan yang bernilai dan memiliki biaya peluang yang berarti. Tanggung jawab tradisional perempuan dalam keluarga dianggap sebagai suatu aksioma dan kemudian tidak memperhitungkan aktivitas membesarkan anak dalam mekanisme pasar. ‘Women’s hand is excluded from the invisible hand.’ Generasi sebelumnya meletakkan peran-peran pasti terhadap perempuan dan laki-laki dalam keluarga. Perempuan harus memiliki, mengandung, membesarkan, dan memenuhi kebutuhan hidup seluruh anggota keluarga dari sisi psikologis dan materil. Sementara itu, pria dianggap sebagai jalur utama pendanaan keluarga. Lebih lanjut, kebanyakan model ekonomi neoklasik yang cenderung memiliki fokus yang luas dan secara general mengabaikan dimensi historis, institusional, dan sosial dalam keputusan individual, mengabaikan keputusan perempuan dalam peran di keluarga telah dibatasi oleh kebiasaan, diskriminasi, dan kebutuhan ekonomi (Burggraf, 1993). 

 

Perkembangan teknologi, otomatisasi, dan akses informasi dan pengetahuan telah menggeser stigmatisasi terhadap masing-masing pihak dalam keluarga. Aktivitas yang dinilai hanya dapat dikerjakan oleh pria–membajak, mengolah lahan, dan aktivitas subsistem lainnya–telah digantikan oleh teknologi. Lebih lanjut, Burggraf (1993) menilai bahwa evolusi pasca industrialisasi yang berdasar pada pengetahuan, informasi, dan keterampilan jasa memperkecil sistem kasta pada perempuan sebagai implikasi dari kesetaraan menguasai kemampuan-kemampuan tersebut. Kemunculan teknologi-teknologi unisex juga menjadi salah satu faktor penekan kesenjangan gender antara pria dan wanita, bahkan dalam kehidupan keluarga.

 

Akan tetapi, layaknya proses perjuangan kesetaraan gender di masyarakat penuh pertentangan dan dukungan, keputusan perempuan untuk tidak memiliki anak, baik secara sukarela maupun tidak, menjadi suatu fenomena yang sulit untuk diterima oleh konstruksi sosial masyarakat. Salah satu peran sosial suami dan istri dalam suatu pernikahan adalah memiliki anak. Ketika suatu pernikahan tidak memenuhi peran tersebut–dalam artian, memilih secara sukarela untuk tidak membesarkan dan melahirkan anak–masyarakat memandang hal tersebut sebagai suatu moral outrage, di mana pasangan tersebut tidak memenuhi peran sosialnya. Pasangan yang menikah dianggap lebih ramah dan lebih baik dibandingkan dengan pasangan yang memilih untuk tidak membesarkan anak (Balen & Bos, 2009). Lebih lagi, perempuan yang tidak melahirkan dan membesarkan anak sepanjang masa pernikahan dipandang lebih egois, kekanak-kanakan, dan terlalu cinta dengan pekerjaan yang dijalani (Caron and Wynn 1992; Koropeckyj-Cox and Pendell 2007; Koropeckyj-Cox et al. 2007).

 

Pergeseran peran perempuan dalam keluarga telah dimulai pada sekitar abad ke-15. Pada era 1500-an perempuan di wilayah barat utara Eropa mulai memutuskan untuk menunda pernikahannya sampai usia 20-an awal, dari yang sebelumnya sekitar 15 tahun. Sebelum mencapai usia tersebut, mereka memenuhi kebutuhan untuk menunjang keluarga dan pernikahan seperti tabungan untuk linen, baju, panci, dan lain-lain. Proses ini terus berkembang sampai ke pada peran perempuan dalam institusi pernikahan yang mulai berkurang di sisi prokreasi, tetapi lebih terfokus pada peluang ekonomi dan kepuasan pribadi. 

Kesetaraan gender dalam keputusan childfree juga menghasilkan suatu standar ganda yang cukup unik. Rijken dan Merz (2014) melakukan penelitian terhadap standar ganda dalam norma terhadap perempuan dan laki-laki yang memilih untuk tidak memiliki anak secara sukarela. Peran membesarkan anak dalam suatu keluarga dinilai sebagai bagian dari identitas perempuan dibandingkan dengan laki-laki, maka dari itu perempuan kurang dapat diterima jika memilih untuk childfree. Akan tetapi, biaya membesarkan anak lebih besar dikeluarkan dari perempuan daripada laki-laki, maka dari itu akan lebih tidak diterima jika laki-laki yang memilih untuk tidak memiliki anak. Norma masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki yang memilih untuk childfree menciptakan standar ganda. Lebih lanjut, perempuan cenderung meletakkan standar ganda ini di dalam kehidupan sosialnya dibandingkan laki-laki. Rijken dan Merz (2014) memaparkan bahwa kesetaraan gender memang sering diasosiasikan dengan standar ganda.

Factors Affecting Childfree Decision Making

Ketiadaan anak tidak sepenuhnya disebabkan oleh proses keterpaksaan atau involuntarily. Dalam kasus tertentu fenomena childfree dapat dilihat sebagai hasil keputusan yang dibuat oleh seorang individu secara sukarela (Miettinen et al., 2015). Proses lahirnya keputusan tidak memiliki anak juga dilatarbelakangi oleh banyak pertimbangan (Langdridge, Sheeran, & Connolly, 2005) sehingga sulit untuk menentukan faktor apa yang memainkan peran dominan. Tak jarang pula alasan yang melatarbelakangi ialah keputusan yang berdasarkan emosional bukan rasional (Carroll, 2000). Walaupun proses dibalik diambilnya keputusan childfree ialah kompleks, melihat berbagai sudut pandang yang mencoba menjelaskan childfree akan membantu memahami bagaimana fenomena tersebut hadir.

 

Brini (2020) berpendapat bahwa rendahnya tingkat kesuburan (akibat tren childfree) di masyarakat ialah hasil dari perubahan nilai yang semakin menekankan sekularisasi, otonomi individu, dan realisasi diri. Dalam berbagai analisis yang dilakukan, salah satunya oleh Tanturri dan Mencarini (2008) diketahui bahwa hasrat akan kemandirian dan kebebasan kerap menjadi landasan dari keputusan childfree bagi perempuan. Selain itu, fenomena childfree diketahui lebih lumrah di kalangan perempuan dengan tingkat pendidikan tinggi sebab mereka diketahui cenderung less traditional. Selain itu, bagi sebagian orang yang memilih pilihan tidak memiliki anak secara sukarela, menjadi childfree, ialah bentuk pencegahan atas kerugian yang ditimbulkan dari kos langsung atau direct cost dan tidak langsung atau opportunity cost dari membesarkan anak, baik berupa kos secara moneter maupun kos berupa waktu, yang mengurangi peluang karir dan pendapatan terutama bagi perempuan (Joshi, 1990).

 

Menurut Mienttinen dkk (2015) terdapat beberapa faktor lain yang turut berpartisipasi pada keputusan seseorang untuk menjadi childfree. Pertama, keberadaan partner. Pada mulanya keputusan childfree lebih mungkin dibuat oleh perempuan yang tidak menikah, sedangkan perempuan yang menikah berpeluang lebih kecil untuk tidak memiliki anak. Namun, hubungan antara keberadaan pasangan (pernikahan) dengan kepemilikan anak semakin melemah seiring keberadaan “kumpul kebo” atau kohabitasi semakin umum di masyarakat. Kedua, penundaan dalam menjadi orang tua. Penundaan kepemilikan anak pertama dalam sebuah hubungan dapat menyebabkan tidak hanya tingkat kesuburan yang lebih rendah secara general, tetapi juga pada keputusan untuk tidak memiliki anak secara sukarela. Ketiga, risiko perpisahan. Walaupun belum ada studi yang secara langsung menunjukan relasi antara risiko perpisahan dengan keputusan tidak memiliki anak, kecenderungan keputusan childfree dibuat oleh pasangan kohabitasi yang lebih rentan mengalami perpisahan. Hal ini secara tidak langsung menyatakan semakin rentan suatu hubungan maka semakin mungkin keputusan childfree dibuat. Keempat, status sosial dan kekayaan material. Sifat hubungan antara kekayaan dengan keputusan childfree berbeda di lingkungan dengan keterbatasan sumber daya dan lingkungan dengan sumber daya melimpah menunjukan bahwa masyarakat menilai anak secara berbeda. Bagi masyarakat miskin, ketersediaan kekayaan dan sumber daya akan berkorelasi positif dengan jumlah anak, sedangkan korelasi negatif muncul di masyarakat dengan sumber daya melimpah. Selain itu, seiring majunya pembangunan ekonomi suatu negara, masyarakat perlahan-lahan tidak melihat anak sebagai keuntungan ekonomi, seperti yang terjadi di negara berkembang, tetapi sebagai manfaat psikologis yang timbul dari kepemilikan anak. Kelima, posisi sosial perempuan. Peran perempuan yang lebih banyak berkaitan dengan proses pengurusan anak menyebabkan posisi perempuan sangat krusial dalam pembuatan keputusan mengenai kepemilikan anak. Peningkatan independensi perempuan secara ekonomi dan tingkat pendidikan turut meningkatkan peran gender dan ekspektasi bagi perempuan, alhasil perubahan ekspektasi di kalangan perempuan akan mempengaruhi keputusannya mengenai kesuburan. Keenam, individualisasi dan nilai liberalisme. Di masyarakat yang toleran dan liberal, perempuan dan laki-laki dapat memutuskan keputusan mengenai parenthood berdasarkan preferensi mereka. Keputusan untuk membesarkan anak akan lebih dipengaruhi oleh keputusan pribadi daripada institusi sosial dan pernikahan (van de Kaa, 2007). Studi yang dilakukan juga menemukan bukti terdapat peran dari perubahan nilai dalam peningkatan rate of childfree. Nilai kekeluargaan dianggap lebih penting bagi orang yang memiliki anak daripada bagi mereka yang childfree. Namun, perbedaan nilai menghilang saat membandingkan antara orang yang memiliki anak dengan mereka yang secara temporer menjadi childfree (Keizer 2010).

Economic Well-being Between Childfree Couples and Parents

Beban biaya membesarkan anak dimulai sejak kehadiran anak itu sendiri, baik secara adopsi maupun biologis. U.S. Department of Agriculture merincikan daftar biaya anak dalam laporan keluarga, Expenditure on Children tahun 2015. Di Amerika Serikat, biaya melahirkan anak dengan asuransi tenaga kerja adalah rata-rata sebesar $4.500. Biaya tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan keluarga tanpa asuransi, yaitu berkisar antara $30.000 – $50.000. Perbedaan biaya sekitar 10 kali lipat tersebut mendorong pasangan untuk memiliki perencanaan keuangan dan asuransi, yang berimplikasi pada penambahan beban biaya rutin. Biaya mengadopsi anak setara dengan pengeluaran tanpa asuransi, yaitu sekitar $43.000. Akan tetapi, proses administrasi dan seleksi yang panjang belum dihitung ke dalam angka tersebut. 

 

Sejak bayi sampai anak keluar dari rumah orang tua, maka orang tua harus menanggung seluruh biaya kehidupannya. Salah satu beban terbesar adalah biaya rumah, yang mengambil proporsi 29% dari keseluruhan total biaya tahunan $12.980 untuk membesarkan anak. Biaya lainnya yang memperbesar beban membesarkan anak adalah biaya makanan, dengan rata-rata tahunan sebesar $2.794. Biaya-biaya lainnya adalah transportasi, pendidikan, dan lain-lain. Di samping biaya langsung terhadap anak itu sendiri, terdapat perbedaan pola pendapatan dan kekayaan yang dialami oleh pasangan childless dan bukan. 

 

Household Economics and Decisionmaking Survey yang dilakukan oleh the Federal Reserve pada tahun 2014 menemukan keluarga dengan anak akan mengalami kesulitan pembiayaan keluarga relatif lebih berat dibandingkan dengan keluarga yang tidak memiliki anak. 

Sebanyak 38% keluarga yang memiliki anak mendapati kesulitan dalam bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan sehari-hari, sedikit lebih tinggi dibandingkan 33% keluarga tanpa anak. Perbedaan tidak signifikan juga terdapat pada dua aspek lainnya, yaitu; 1) kesulitan dalam mencari pekerjaan, penurunan pendapatan, darurat kesehatan, perceraian, atau kehilangan rumah selama setahun terakhir, dan 2) total pengeluaran rumah tangga melebihi pendapatan dalam satu tahun terakhir.

Tidak hanya biaya yang tinggi dan kesulitan pembiayaan keluarga, pasangan yang memiliki anak memiliki kecenderungan untuk berpenghasilan lebih rendah daripada pasangan tanpa anak. Terdapat kontribusi kesenjangan upah disebabkan oleh kesenjangan gender, akan tetapi ukuran kesenjangan semakin melebar ketika pria dan wanita menikah serta memiliki anak, dan berada pada usia mengurus anak pada masa awal pertumbuhan. Berdasarkan data dari Bureau of Labor Statistics pada pendapatan wanita pada tahun 2012, secara umum, kelompok wanita yang memiliki memiliki anak memiliki proporsi pendapatan paling rendah terhadap pendapatan pria di antara karakteristik berikut.

Women’s Median Weekly Earnings as a Percentage of Men’s by Selected Characteristics, 2012

Usia 24 sampai 34 tahun adalah siklus kehidupan wanita mendapat keuntungan paling besar dari tingkat pendidikan dan pengalaman kerja (90%) setelah wanita yang tidak pernah menikah (94%). Hal tersebut menyebabkan kesenjangan upah pada pria dan wanita yang belum menikah atau tidak pernah menikah, dalam artian bekerja secara penuh, semakin menyempit. Pada tahun 1979 pendapatan perempuan adalah sebesar $0.63 dari setiap $1 penerimaan pria, jauh lebih tinggi dengan peningkatan sekitar 29% pada tahun 2003 (Bureau of Labor Statistics, 2012). Diferensiasi gender dalam pembagian tanggung jawab keluarga memiliki korelasi dengan kesenjangan upah gender. Meskipun terdapat peningkatan dalam partisipasi pria pada pengasuhan anak, perempuan yang bekerja secara penuh ataupun tidak memiliki dominasi dalam tanggung jawab yang berkaitan dengan anak (Bianchi et. al, 2006). Lebih lanjut, lingkungan pekerjaan profesional kurang mengakomodasi kebutuhan work-family balance (Budig, 2014).

Status pengasuhan memberikan keuntungan bagi pria dibanding wanita. Menggunakan data dari National Longitudinal Survey of Youth 1979 pada tahun 1979 – 2006 untuk menemukan dampak dari transisi childless man terhadap upah pria yang memiliki anak, Budig (2014) menemukan status pengasuhan meningkatkan upah sebanyak lebih dari 6%.

Effect of Becoming a Father on Ln Annual Earnings: NLSY 1979-2006

‘Fatherhood bonus’ dirasakan paling tinggi pada kelompok ayah yang memiliki privileges di pasar tenaga kerja dalam hal ras, pendidikan, pengalaman kerja, dan kompleksitas kognitif.

Fatherhood Bonus in Dollars, by Professional Status, Occupational Cognitive Demands Education (OCD), and Race/Ethnicity, Adjusted for Human Capital

Kontras dengan laki-laki, seorang wanita dengan anak memiliki korelasi negatif dengan tingkat upah. Di Amerika Serikat, keputusan menjadi seorang ibu sering diasosiasikan dengan wage penalty (Anderson et. al, 2013). Terdapat wage penalty sebesar 4% per anak yang ditanggung oleh seorang ibu dan tidak dapat dijelaskan oleh human capital, struktur keluarga, karakteristik pekerjaan ramah keluarga, dan perbedaan stabil di antara perempuan (Budig, 2014). Uniknya, di antara kelompok ibu, wanita yang bekerja dalam pekerjaan upah rendah akan merasakan penalty paling besar.

Fenomena wage penalty terhadap seorang ibu disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, adanya interupsi pengalaman kerja sebagai implikasi dari penambahan alokasi waktu di rumah untuk mengerjakan tugas pengasuhan anak. Rating kompetensi perempuan yang memilih untuk tidak memiliki anak, baik secara sukarela atau tidak, lebih tinggi sebesar 10% dibanding perempuan yang memiliki anak. Kedua, produktivitas yang menurun akibat kebutuhan anak yang harus dipenuhi oleh ibu dan kemudian menyebabkan kelelahan atau distraksi dalam bekerja. Ketiga, adanya diskriminasi dalam tempat kerja terhadap ibu yang dianggap memiliki komitmen dan performa kerja yang lebih rendah. Seorang ibu diperhitungkan 12.1 persen kurang berkomitmen terhadap pekerjaan dibandingkan dengan perempuan yang tidak memiliki anak. Hal tersebut kontras dengan ayah yang dianggap 5% lebih berkomitmen terhadap pekerjaan dibandingkan pria yang tidak memiliki anak. Perbandingan terhadap pria yang tidak memiliki anak juga menunjukkan pola serupa. Lebih lanjut, peluang karir ibu kemudian berkembang relatif lebih lambat dibandingkan childless woman. Seorang childless woman enam kali lebih berpeluang untuk direkrut dalam pekerjaan. Sementara itu, perbandingan dengan childless man menunjukkan perbedaan peluang yang lebih kecil, yaitu sebesar 3.35 kali untuk dipekerjakan. Perbedaan kemungkinan antara 3 tersebut juga ditemukan dalam proses promosi jabatan dalam pekerjaan penuh waktu. Terakhir, argument seleksi memaparkan bahwa wanita yang memiliki kecenderungan lebih rendah terhadap upah yang tinggi  cenderung menjadi ibu di kemudian hari.  Ibu memiliki tawaran upah 7,9% lebih rendah dibandingkan perempuan yang tidak memiliki anak. Hal tersebut justru berbeda dengan ayah yang memiliki tawaran upah lebih tinggi, yaitu sebesar $152,000 dibandingkan childless man yang sebesar $148,000. Seorang ayah yang mendapatkan ‘fatherhood bonus’ dapat disebabkan oleh perubahan tingkah laku yang berkaitan dengan pekerjaan, seperti peningkatan jam dan usaha kerja terutama ketika pasangan mengurangi jam kerja untuk melakukan pekerjaan pengasuhan anak (Bianchi et. Al, 2006).  Maka dari itu, keluarga yang memiliki anak akan menghasilkan penghasilan yang relatif lebih sedikit dengan keluarga yang tidak memiliki anak, yang kemudian diasosiasikan terhadap perbedaan kesenjangan upah (Corell, 2007).

Plotnick (2012) meneliti korelasi antara childlessness dengan dua indikator economic well-being (pendapatan dan kekayaan) dari kelompok lansia Amerika Serikat. Hasilnya, dibandingkan dengan orang tua, pasangan yang tidak memiliki anak cenderung berpendapatan sedikit lebih tinggi dan kekayaan lebih tinggi sebesar 5%. Sementara itu, childless man yang tidak menikah memang tidak merasakan ‘fatherhood benefit’, akan tetapi memiliki kekayaan 24% – 33% daripada seorang ayah. Lebih lanjut, perempuan childless memiliki pendapatan 12% – 13% dan kekayaan 33% lebih tinggi daripada perempuan yang memiliki anak.

Child as Normal Good or Inferior Good

Dalam masyarakat yang heterogen keputusan fertilitas, keputusan kepemilikan anak, selain dipengaruhi oleh faktor sosial, dipengaruhi juga oleh perubahan pendapatan. Namun, bagaimana perubahan pendapatan mempengaruhi keputusan individu berbeda satu sama lain. Menurut Thomas (1999) dampak perubahan pendapatan pada tingkat kesuburan merefleksikan dua mekanisme yang berbeda. Pertama, semakin tinggi pendapatan berimplikasi pada lebih banyak sumber daya yang dialokasikan pada pengkonsumsian barang dan merawat anak sehingga keberadaan anak diasumsikan serupa dengan barang normal. Kedua, ditemukannya kecenderungan individu dengan pendidikan tinggi yang memperoleh pendapatan tinggi menyiratkan tingginya nilai pasar waktu yang dimiliki, sedangkan kegiatan membesarkan anak diasumsikan sebagai kegiatan yang menghabiskan banyak waktu. Oleh karenanya, ia akan mengurangi kepemilikan anak. Namun, interaksi antara peningkatan pendapat dengan penurunan jumlah anak tidak serta merta menjadikan anak sebagai barang inferior sebab kenaikan pendapatan mengakibatkan orang tua berinvestasi pada kualitas daripada kuantitas. Akibatnya, terjadi peningkatan kos yang dikeluarkan per anak dan perubahan kualitas anak. Hal ini memberikan impresi yang melenceng terkait posisi anak sebagai barang inferior. Nagarajan(1980) berpendapat hubungan antara pendapatan dan kesuburan ialah hubungan yang nonlinear. Peningkatan pendapatan akan turut meningkatkan kepemilikan anak hingga mencapai level tertentu, setelahnya keputusan kepemilikan anak  akan menjadi divergen.

Social Contract Between Parents and Childfree Couples

Dalam ekonomi, seorang anak dapat didefinisikan sebagai: barang konsumsi tahan lama yang menyediakan arus utilitas kepada orang tua; barang investasi dengan return tertentu; dan barang publik dengan eksternalitas positif dan negatif. Pertumbuhan populasi, dapat, misalnya, memfasilitasi skala ekonomis yang menguntungkan semua orang (Casal & Williams, 2004). Menurut Olsaretti (2013) anak merupakan aset ekonomi yang akan menjadi tenaga kerja di masa depan. Akan tetapi, di samping manfaat yang diberikan dari anak, terdapat biaya-biaya yang tidak murah baik secara eksplisit maupun implisit. Dan, meskipun biaya dari seorang anak semakin meningkat, motif untuk memiliki dan membesarkan anak didasari pada nilai-nilai, norma, dan preferensi yang cenderung sulit untuk berubah (Folbre, 1994). Olsaretti (2013) memaparkan bahwa motivasi dari bantuan terhadap keluarga juga didasari oleh persamaan gender, sebagai bentuk untuk memastikan bahwa perempuan tidak mengalami ketidakadilan karena melakukan sebagian besar tindakan pengasuhan.

 

Keputusan memiliki anak sepenuhnya adalah milik orang tua. Maka, secara eksplisit, biaya hidup dan perawatan anak ditanggung oleh orang tua yang sepenuhnya sadar akan konsekuensi biaya dan beban-beban dari memiliki anak. Ketika orang tua tidak mampu memenuhi secara maksimal kebutuhan dasar anak, masyarakat harus menanggung beban tersebut dalam bentuk pungutan pajak. Masyarakat masih mengharapkan keluarga (sebagai institusi) untuk menjalankan fungsi sosialnya yang vital, dan menanggung adanya peningkatan biaya yang muncul dari fungsi-fungsi tersebut, sementara sebagian besar manfaatnya telah menjadi usang atau disosialisasikan untuk kesejahteraan umum (Burggraf, 1993). Tindakan tersebut kemudian ditentang oleh Rakowski (1991) dengan argumen, “Babies are not brought by storks whose whims are beyond our control. Specific individuals are responsible for their existence.” Maka dari itu, dari segi egalitarianisme sumber daya, subsidi orang tua gagal memenuhi kesetaraan.

Akan tetapi, mensosialisasikan biaya dapat menghasilkan manfaat yang maksimal apabila orang tua memproduksi eksternalitas positif secara maksimal dan benar. Anak-anak, dalam pandangan ini, adalah barang publik yang bermanfaat bagi orang tua dan non-orang tua, dan manfaatnya disosialisasikan lebih efektif daripada biayanya (Folbre,

2008).

Environmental Effect of Children

Tantangan terbesar bagi ekologi dan biodiversitas saat ini adalah disrupsi iklim global sebagai implikasi dari peningkatan gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia. Dampak langsung dari perubahan iklim global yang dirasakan langsung oleh manusia membuat perhatian pada isu-isu lingkungan semakin meningkat. Pola konsumsi dan produksi yang terjadi di masyarakat mulai berorientasi pada lingkungan, seperti penggunaan high-mileage car dan sepeda sebagai alat transportasi, daur ulang sampah rumah tangga, penggunaan peralatan hemat energi, dan lain-lain. Akan tetapi, usaha-usaha tersebut tidak sebanding dengan pengontrolan pertumbuhan populasi dalam pengurangan emisi CO2.

Pada tahun 2015, populasi dunia mencapai lebih dari 7,3 miliar orang. Dua puluh sembilan tahun kemudian, yaitu pada tahun 2050, populasi dunia diprediksi mencapai 9,2 miliar orang (UN, n.d.). Manusia tidak hanya mengambil peran sebagai pengguna sumber daya tetapi juga penghasil produk limbah. Dovers dan Butler (2015) memaparkan Implikasi dari overpopulation terhadap lingkungan mengambil dua bentuk utama berupa: 1) konsumsi sumber daya seperti tanah, makanan, air, udara, tenaga fossil, dan mineral; dan 2) produk limbah sebagai akibat dari konsumsi seperti polusi udara dan air, bahan beracun dan gas rumah kaca. Manusia dan aktivitas manusia secara bersamaan memiliki kontribusi besar terhadap perubahan proses geologi dan perubahan iklim. The Anthropocene epoch, merupakan era saat ini ketika manusia dan aktivitas manusia menjadi kekuatan geofisika global baru (Dovers et. al, 2015).  The Anthropocene epoch berbeda dengan zaman geologis sebelumnya yang mendefinisikan perubahan iklim dan proses geologis sebagai akibat dari waktu.

Ukuran kapasitas bumi menjadi perdebatan yang panjang dan masih berlangsung sampai saat ini. UNEP Global Environmental Alert Service (2012) mengumpulkan studi-studi yang mengestimasi kapasitas bumi. Sebanyak 65 studi berbeda yang membahas estimasi kapasitas bumi, ditemukan sebanyak 20 studi yang mengestimasi sebesar kurang dari 16 miliar jiwa. Akan tetapi, pertimbangan yang berdasar pada kuantitas saja menjadi tidak sempurna untuk mengukur kapasitas bumi. Konsumsi sumber daya juga perlu untuk diperhatikan. Di seluruh dunia, konsumsi sumber daya terjadi secara berbeda dan tidak merata. Rata-rata kelas menengah Amerika mengkonsumsi 3,3 kali tingkat subsisten makanan dan hampir 250 kali tingkat subsisten air bersih sehingga kapasitas bumi hanya mencapai 2 miliar orang (Dovers et. al, 2015). Perbedaan konsumsi terjadi di berbagai belahan dunia, mengakibatkan jejak karbon mengalami perbedaan pula. Dalam kondisi saat ini, seorang anak yang lahir di Amerika Serikat akan bertanggung jawab terhadap hampir tujuh kali emisi karbon dari anak yang lahir di China dan 168 kali dari anak yang lahir di Bangladesh (Murtaugh & Schlax, 2009).

Consequences of Declining Population on Economies

Dalam beberapa dekade terakhir tren demografis di negara berkembang mengalami transisi, ditemukan tren peningkatan ekspektasi hidup saat lahir, tetapi terjadi kemerosotan tingkat kesuburan. Banyak negara berkembang mulai menunjukan tren tingkat kesuburan seperti negara maju, yaitu penyusutan tingkat kesuburan yang diukur berdasarkan tingkat kelahiran per perempuan. Berdasarkan Empty Planet: The Shock of Global Population Decline, kekuatan terbesar penyebab menurunnya jumlah populasi dunia ialah urbanisasi. Perpindahan besar-besaran menuju kota memaksa keluarga-keluarga melakukan rasionalisasi dalam jumlah anak yang dimiliki. Pada tahun 2021-2030 diprediksikan hanya tersisa 1 persen populasi dunia tinggal di negara dengan tingkat kesuburan diatas 5 kelahiran per perempuan (IMF, 2018). Kemerosotan tingkat kelahiran tidak hanya terjadi di negara maju, tetapi juga di negara berkembang. Hasil temuan World Bank (2021) menyatakan bahwa secara global terjadi fenomena penyusutan tingkat kesuburan serta kemerosotan rasio angka ketergantungan atau dependency ratio. Pada tahun 2019 tingkat kelahiran secara global mengalami penurunan sebesar 0.3 kelahiran per perempuan daripada tahun 1999. Juga, rasio angka ketergantungan terhadap penduduk usia kerja mengalami penurunan, pada 1999 rasio angka ketergantungan sebesar 61.0 sedangkan pada 2019 rasio tersebut menurun menjadi 54.5.

Akibat penyusutan tingkat kelahiran, muncul pengaruhnya bagi perekonomian dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh … (2009) dikatakan bahwa dalam jangka pendek tingkat kesuburan akan meningkatkan pendapatan perkapita suatu negara seiring menurunnya angka ketergantungan penduduk usia muda dan kenaikan proporsi penduduk usia bekerja. Namun, dalam jangka panjang hubungan antara pendapatan per kapita dengan tingkat kesuburan lebih kompleks. Di negara dengan tingkat kesuburan tinggi penurunan kesuburan jelas akan menurunkan pendapatan perkapita. Namun, bagi negara dengan tingkat kesuburan yang sudah rendah atau negara dengan tingkat angka kelahiran rendah seperti Korea Selatan, Jepang, dan China, penurunan secara terus menerus angka kelahiran akan menurunkan pendapatan perkapita dalam jangka panjang. Hal tersebut disebabkan penurunan tingkat kelahiran mengarah pada berkurangnya penduduk usia produktif sehingga produktivitas negara tersebut perlahan menurun

Penyusutan tingkat kelahiran yang berdampak pada berkurangnya penduduk usia muda dibersamai peningkatan usia harapan hidup di berbagai negara dapat menimbulkan terjadinya fenomena  penuaan populasi atau population aging. Salah satu negara yang mengalami fenomena tersebut ialah Jepang. Sebesar 28.39 persen penduduk Jepang pada tahun 2020 ialah penduduk usia 65 tahun ke atas. Bahkan, The Japan Times memproyeksikan pada 2045 rasio penduduk usia tua Jepang melebihi sepertiga total penduduk Jepang itu sendiri. Peningkatan proporsi penduduk usia tua di negara tersebut selain diakibatkan peningkatan usia harapan hidup imbas meningkatnya kualitas kesehatan, juga diakibatkan penurunan tingkat kelahiran. Selama beberapa dekade ke belakang Jepang memang tengah mengalami kemerosotan tingkat kesuburan yang diukur dengan penurunan tingkat kelahiran per perempuan. Berdasarkan data tahun 2019 tingkat kelahiran di negara Jepang ialah 1.4 kelahiran per perempuan. Dalam jangka panjang penurunan tingkat kelahiran akan berakibat pada kekurangan penduduk usia produktif dan tenaga kerja.

Ancaman kekurangan tenaga kerja tentunya akan berdampak buruk pada perekonomian Jepang kedepannya sebab akan menekan pertumbuhan dan produktivitas negara Jepang. Menurut Baker dkk (2005) pertumbuhan ekonomi di negara berpendapatan tinggi cenderung akan melambat pada tahun-tahun yang akan datang akibat perlambatan pertumbuhan penduduk di negara tersebut.

Selain ancaman kekurangan tenaga kerja, Jepang juga dihadapkan dengan perubahan harga relatif akibat pergeseran pola konsumsi masyarakat, perubahan pola tabungan, dan perubahan pengeluaran dan penerimaan negara (Anderson, 2014). Ditemukan perubahan pola konsumsi penduduk usia tua dari penduduk usia muda, lebih sedikit pengeluaran pada perumahan, transportasi, komunikasi, dan pendidikan. Namun, ditemukan lebih banyak pengeluaran pada kesehatan. Lalu, pergeseran kepemilikan aset menjadi safe assets akan berdampak imbal hasil obligasi pemerintah. Selain itu, penyusutan jumlah penduduk usia produktif akan menurunkan penerimaan pajak pemerintah Jepang mengingat pembayaran pajak didominasi oleh penduduk usia produktif. Namun, di satu sisi permintaan akan jaminan sosial dan kesehatan semakin meningkat seiring meningkatnya proporsi penduduk usia tua Jepang.

Selain Jepang, negara yang mengalami kondisi serupa ialah China. Kebijakan pembatasan yang diterapkan china pada tahun 1970-an berhasil dalam menurunkan tingkat kelahiran di negara tersebut. Namun, secara tidak langsung penerapan kebijakan “satu anak” juga mengakibatkan perubahan nilai, norma, dan preferensi masyarakat China atas kepemilikan anak. Alhasil, walaupun pemerintah sudah melonggarkan kebijakan “satu anak” menjadi kebijakan “dua anak”, bahkan menjadi kebijakan “tiga anak”, tren terus menunjukan penurunan tingkat kelahiran di China. McDonald (2008) mengatakan bahwa saat tingkat kesuburan sudah di bawah 1.5 akan lebih susah bagi negara tersebut untuk meningkatkan kembali tingkat kesuburan sebab sudah terjadi perubahan nilai, norma, dan preferensi suatu masyarakat atas kepemilikan anak.

References

A Breakdown of the Cost of Raising a Child. (2021, February 2). The Plutus Foundation. https://plutusfoundation.org/2021/a-breakdown-of-the-cost-of-raising-a-child/

Blackstone, A., & Stewart, M. D. (2012). Choosing to be Childfree: Research on the Decision Not to Parent: Choosing to be Childfree. Sociology Compass, 6(9), 718–727. https://doi.org/10.1111/j.1751-9020.2012.00496.x

Blackstone and Stewart—2012—Choosing to be Childfree Research on the Decision.pdf. (n.d.). Retrieved October 22, 2021, from https://digitalcommons.library.umaine.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1007&context=soc_facpub

Carrington, D., & editor, D. C. E. (2017, July 12). Want to fight climate change? Have fewer children. The Guardian. https://www.theguardian.com/environment/2017/jul/12/want-to-fight-climate-change-have-fewer-children

Children as a Public Good. (n.d.). Dissent Magazine. Retrieved October 20, 2021, from https://www.dissentmagazine.org/article/children-as-a-public-good

Children as a Public Good—Dissent Magazine. (n.d.). Retrieved October 20, 2021, from https://www.dissentmagazine.org/article/children-as-a-public-good

Correll, S. J., Benard, S., & Paik, I. (2007). Getting a Job: Is There a Motherhood Penalty? American Journal of Sociology, 112(5), 1297–1339. https://doi.org/10.1086/511799

Felix-Westeren.pdf. (n.d.). Retrieved October 22, 2021, from https://www.lse.ac.uk/government/Assets/Documents/pdf/masters/2020/Felix-Westeren.pdf

Human Population Growth and Climate Change. (n.d.). Retrieved October 22, 2021, from https://www.biologicaldiversity.org/programs/population_and_sustainability/climate/

Kalish, E. C. (n.d.). Family Finances: How Do Families with and without Children Differ? 5.

mischa. (2015, June 18). Population and environment: A global challenge. Curious. https://www.science.org.au/curious/earth-environment/population-environment

Murtaugh and Schlax—2009—Reproduction and the carbon legacies of individual.pdf. (n.d.). Retrieved October 22, 2021, from https://www.biologicaldiversity.org/programs/population_and_sustainability/pdfs/OSUCarbonStudy.pdf

Murtaugh, P. A., & Schlax, M. G. (2009). Reproduction and the carbon legacies of individuals. Global Environmental Change, 19(1), 14–20. https://doi.org/10.1016/j.gloenvcha.2008.10.007

Pg.pdf. (n.d.). Retrieved October 20, 2021, from http://homes.chass.utoronto.ca/~siow/332/pg.pdf

Plotnick, R. D. (2009). Childlessness and the Economic Well-being of Older Americans. The Journals of Gerontology Series B: Psychological Sciences and Social Sciences, 64B(6), 767–776. https://doi.org/10.1093/geronb/gbp023

Third Way. (n.d.). Retrieved October 20, 2021, from https://www.thirdway.org/report/the-fatherhood-bonus-and-the-motherhood-penalty-parenthood-and-the-gender-gap-in-pay#motherhood-wage-penalty-the-cost-of-each-additional-child-on-a-womans-wage

Anderson, Derek et al. 2014. Is Japan’s Population Aging Deflationary?. International Monetary Fund Working Paper 4 August 2014.

BBC News. 2021. China Allows Three Children in Major Policy Shift. https://www.bbc.com/news/world-asia-china-57303592

Bricker. Darrell. 2021. Bye, bye, baby?Birth Rates are declining globally – here’s why it matters. WEFORUM 15 Jun 2021 https://www.weforum.org/agenda/2021/06/birthrates-declining-global-fertility-decline-empty-planet-covid-19-urbanization-migration-population/

Brini, Elisa. 2020. Childlessness and Low Fertility in Context:Evidence from a Multilevel Analysis on 20 European Countries. Brini Genus (2020) 76:6 https://doi.org/10.1186/s41118-020-00074-7

Edmond, Charlotte. 2019. Elderly people makeup a third of Japan’s population – and it’s reshaping the country. WEFORUM  17 Sept 2019. https://www.weforum.org/agenda/2019/09/elderly-oldest-population-world-japan/

Farkouh, A Raymond. 2007. Are Children Normal or Inferior Goods ? Evidence from Indonesia’s Financial Crisis of 1997.

IMF. 2018. Japan: 2018 Article IV Consultation-Press Release; Staff Report; and Statement by the Executive Director for Japan. Country Report No.18/333

Joshi, H. (1990). The Cash Opportunity Cost of Child bearing: An approach to estimation using british data. Population Studies,1, 41–60.

Kyodo. 2019. Elderly citizens accounted for record 28.4% of Japan’s population in 2018, data show. The Japan Times 15 Sept 2019. https://www.japantimes.co.jp/news/2019/09/15/national/elderly-citizens-accounted-record-28-4-japans-population-2018-data-show/

McDonald, Peter. 2008. Very Low Fertility Consequences, Causes, and Policy Approach.The Japanese Journal of Population, Vol,6. No.1

Miettinen, A., Rotkirch, A., Szalma, I., Donno, A., and Tanturri, M. L. (2015). Increasing childlessness in Europe: Time trends and country differences. Stockholm: Stockholm University (FamiliesAndSocieties Working Paper 33).

Nagarajan K.V. 1980. Testing for a possible non-linear relationship between income and fertility implied in the theory of demographic transition: the U.S. case, 1909-1957. Genus. no. 36(3/4):159-69.

Population Institute East-West Center. 1989. Costs and Benefits of Children: Implications for Population Policy. Asia-Pacific Population & Policy No.8.

Tanturri, M. L., & Mencarini, L. (2008). Childless or childfree? Paths to voluntary childlessness in Italy. Population and Development Review, 34(1), 51–77.

The World Bank. Development Indicators. The World Bank, Databank, World Development Indicators

Leave a Reply

Your email address will not be published.