“Indonesia Poverty Condition : The Responsibility of Education”
Author : Kefas Prajna Christiawan
Kondisi kemiskinan di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) menjelaskan konsep kemiskinan di Indonesia diukur melalui kemampuan p individu dalam memenuhi kebutuhan dasar atau basic needs approach. Maka dari itu, kemiskinan adalah penduduk yang memiliki pendapatan per kapita di bawah garis kemiskinan. Konsep garis kemiskinan (GK) dijelaskan juga oleh BPS sebagai berikut, penjumlahan antara garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan non-makanan (GKNM). Dimana, garis kemiskinan makanan (GKM) adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan sebesar 2100 kilokalori per kapita per hari. Sedangkan, garis kemiskinan non-makanan (GKNM) adalah nilai kebutuhan umum sektor sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Kedua indikator inilah yang digunakan BPS dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) untuk mengukur kondisi kemiskinan di Indonesia.
Pada tahun 2020, tingkat kemiskinan di Indonesia mengalami kenaikan. Pada bulan September 2020 persentase penduduk miskin di Indonesia sebesar 10,19 persen dan jumlah penduduk miskin sebesar 27,7 juta jiwa. Angka ini meningkat sebesar 0,97 persen dari tahun sebelumnya. Sebenrnya, jika kita menilik data 10 tahun terakhir kondisi kemiskinan di Indonesia, grafik menunjukan adanya penurunan kemiskinan secara perlahan-perlahan hingga September 2019 (9,22 persen). Namun, dampak dari pandemi covid-19 membuat kondisi kemiskinan di Indonesia naik pada Maret 2020 dan kembali naik pada September 2020. Sedangkan, garis kemiskinan di Indonesia pada Maret 2020 sebesar Rp454.652,-/ kapita/bulan (Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp335.793 dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp 118.859) dan garis kemiskinan rata-rata rumah tangganya sebesar Rp2.118.678,-/rumah tangga miskin/bulan (Badan Pusat Statistik 2020). Namun, dampak dari pandemik Covid-19 membuat kondisi kemiskinan di Indonesia naik pada Maret 2020 dan kembali naik pada September 2020. Semakin memburuknya kasus Covid-19 di Indonesia di 2021, dikhawatirkan peningkatan penduduk miskin di Indonesia semakin tidak terkontrol.
Grafik 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia, periode 2010-September 2020.
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) 2021.
Indonesia memiliki kondisi ekonomi yang tidak terlalu buruk, sebagai anggota G-20, populasi terbesar keempat di dunia, dan urutan ke-10 ekonomi terbesar di dunia. Penurunan kondisi kemiskinan yang cukup signifikan sejak krisis 1999 hingga saat ini, menjadi salah satu indikator yang membuat Indonesia dapat bergabung ke dalam negara status pendapatan menengah ke atas (World Bank 2021).
Tabel 1. Negara-Negara yang Berganti Statusnya Menjadi Negara Berpenghasilan Menengah ke Atas.
Sumber : World Bank 2020
Pertumbuhan dan perkembangan positif perekonomian Indonesia masih menemui beberapa kendala. Saat ini pandemi menjadi salah satu yang utama dalam memukul kondisi perekonomian dan kemiskinan di Indonesia. Hal ini dikarenakan banyak hal, seperti banyaknya pengangguran, menurunnya kemampuan konsumsi masyarakat, krisis kesehatan, ketidakmampuan memenuhi obligasi, dan hal lainnya. Namun, ada hal lain yang tak bisa dilewatkan yaitu mengenai sumber daya manusia (SDM) dan human capital. Pada tahun 2018 Indeks modal manusia Indonesia berada di peringkat ke-6 dengan nilai sebesar 0,53. Hal ini menjelaskan apabila setiap anak yang baru lahir di Indonesia hanya dapat mencapai 53 persen dari kemampuan maksimum produktivitas mereka, ketika mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang lengkap. Di tahun 2020 indeks modal manusia naik ke angka 0,54. Sehingga, produktivitas dipengaruhi oleh banyak faktor dan sangat penting untuk meningkatkan perekonomian dan menekan kemiskinan di Indonesia (World Bank 2019).
Tabel 2. Indeks Modal Manusia Indonesia berada di urutan 6 di ASEAN (2018)
Sumber : World Bank 2018
Several Factors that Influence Poverty in Indonesia
Laju pertumbuhan populasi di suatu wilayah juga menjadi faktor yang krusial. ketika populasi suatu negara mengalami uncontrolled growth atau pertumbuhan yang tidak terkontrol, hal ini dapat menyebabkan masalah timbul di berbagai sektor kehidupan. Populasi yang tidak terkontrol juga menyebabkan meningkatnya pengangguran, jumlah pasar, gangguan lingkungan, dan kualitas human capital yang membuat jumlah penduduk miskin di Indonesia bertambah. Alasan tingginya population growth rate di Indonesia seringkali dikarenakan kurangnya kualitas pendidikan (edukasi seks dan keluarga berencana) dan kesehatan.
Dilansir dari Todaro dan Smith (2006), salah satu faktor penting dalam kesejahteraan adalah kesehatan. Untuk menentukan living standards suatu negara, produktivitas menjadi kunci utama. Sehingga, ketika masyarakat memiliki kondisi kesehatan yang baik dan fasilitas yang memadai, hal ini akan membuat sumber daya manusia (SDM) lebih produktif. Kesehatan menjadi tolak ukur keberhasilan dan evaluasi suatu negara, selain itu tentu saja memiliki peran terhadap kemiskinan sesuai dengan konsep garis kemiskinan non-makanan (GKNM). Seringkali life expectancy menjadi parameter kesuksesan negara dalam menggagas sektor kesehatan. Di ASEAN data 2018 menempatkan Indonesia di urutan ke-6 dengan life expectancy sebesar 71,51 tahun. Singapura sebagai satu-satunya negara maju di ASEAN memiliki nilai tertinggi di ASEAN sebesar 83,15 tahun. VeryWellHealth mengatakan apabila life expectancy rata-rata di ASEAN adalah 73.3, sedangkan Indonesia masih berada di bawah rata-rata.
Grafik 3. Life Expectancy Negara-Negara di ASEAN (2018)
Sumber : Statista 2020
Hubungan antara kesehatan dan penduduk miskin suatu negara sering digambarkan dengan vicious cycle of poverty. Penduduk yang tidak dapat memenuhi kebutuhan kesehatan nya dengan baik akan kehilangan produktivitasnya, tidak dapat saving, rendahnya penghasilan, dan kesulitan mendapatkan pendidikan yang baik. Sehingga, mereka akan terjebak dalam sebuah lingkaran kemiskinan, seringkali keturunannya juga mengalami hal yang sama. Robert Fogel, seorang ekonom peraih nobel, menjelaskan sebuah siklus antara nutrisi yang baik dan produktivitas. Ketika seseorang dapat memenuhi nutrisinya dengan baik, dia akan produktif dan mampu memenuhi nutrisinya kembali (Fogel, Robert 1994).
Gambar 1. Siklus Hubungan antara Kesehatan, Pendidikan, Income, dan savings terhadap Kemiskinan.
Gambar 2. Siklus Hubungan Antara Kecukupan Nutrisi dan Produktivitas.
Investasi juga memiliki peran dalam membantu pertumbuhan ekonomi. Ketika kita mengurangi konsumsi dan cenderung berinvestasi, maka akan terjadi trade-off antara kedua hal tersebut. Kita dapat berinvestasi untuk meningkatkan physical capital (memperbaiki bangunan, infrastruktur, jumlah mesin, dan lainya), modal manusia (pendidikan dan kesehatan), dan meningkatkan melek teknologi dengan penelitian (membuat terobosan). Secara short-term mungkin biaya yang dikeluarkan cukup besar dan PDB saat ini akan turun (dikarenakan berkurangnya konsumsi), tetapi secara long term trade-off ini akan memberikan dampak baik (produktivitas meningkat).
Faktor terakhir adalah bahasan utama kami yaitu pendidikan. Sebagai salah satu faktor terpenting dalam meningkatkan kualitas SDM dan peranan human capital. Apabila seseorang mampu mendapatkan pendidikan yang sesuai, maka di masa depan ia akan menjadi aset dan memiliki kemampuan (spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan keterampilan) yang dibutuhkan negara. Mengacu pada jurnal Ajay Bhardwaj (2016), alasan pentingnya pendidikan adalah menjadikan kita sebagai penduduk yang baik, menimbulkan rasa percaya diri, menawarkan kepastian masa depan, membentuk karakter yang baik, mengatur waktu, dan nilai-nilai pendidikan (dalam proses pendidikan kita mendapatkan nilai-nilai mengenai banyak sektor dari kehidupan dari orang yang lebih kompeten, berpengalaman, tua, atau ahli). Maka, aspek pendidikan sangat menjadi salah satu faktor determinan kemiskinan di Indonesia.
Presiden Joko Widodo pernah mengatakan apabila negara maju mengutamakan pendidikan ketimbang pembangunan infrastruktur (2014). Hal ini mungkin sangat tepat dan dapat dilihat dari perbandingan education index (komponen indeks pembangunan manusia yang membantu mengukur pencapaian pendidikan, PDB per kapita, dan harapan hidup negara-negara) Indonesia dan beberapa negara maju di Asia. 2019 Indonesia memiliki education index sebesar 0,65, sedangkan Jepang, Singapura, dan Australia berturut-turut sebesar 0,851; 0,84; dan 0,924. Terdapat jarak yang cukup signifikan antara Indonesia dan negara maju lainya. Mengacu pada Mankiw (2016), di Amerika Serikat setiap satu tahun sekolah dapat menaikan upah rata-rata seseorang sekitar 10 persen dan biasanya akan lebih besar ketika bekerja di negara miskin. Salah satu masalah pendidikan di negara miskin adalah migrasi dari pekerja yang teredukasi ke negara kaya. Hal ini mengakibatkan negara miskin kehilangan investasinya dan negara kaya mendapatkan pekerja yang kompeten dari pengeluaran negara lain. Lalu, bagaimana dengan kondisi pendidikan di Indonesia?
Reality of Education in Indonesia
Meninjau kondisi pendidikan di Indonesia, masyarakat yang tidak buta huruf mencapai 98,07 persen. Persentase kelompok usia buta huruf adalah sebagai berikut, usia 15+ (4,00 persen), 15-44 (0,8 persen), dan 45+ (9,46 persen). Selain buta huruf, perbandingan melek teknologi informasi dan komunikasi (TIK) mengalami tren positif hingga 2019. Pada 2019 terdapat beberapa persentase kondisi melek TIK, penggunaan telepon seluler (65,35 persen), kepemilikan komputer (18,78 persen), akses internet dalam rumah tangga (73,75 persen), penduduk yang mengakses internet (47,69 persen), dan penduduk memiliki/menggunakan telepon kabel (2,09 persen) (Badan Pusat Statistik 2020). Walaupun selalu mengalami peningkatan, tetapi diperlukan ketanggapan digital yang lebih cepat dan masif. Dikarenakan kondisi geografis Indonesia yang sangat luas membuat hal ini membutuhkan pemerataan yang baik agar tidak terjadi ketimpangan antar wilayah.Berdasarkan survei Program for International Student Assessment (PISA) dirilis oleh Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, budaya literasi Indonesia berada di peringkat 62 dari 70 negara. Mengamati data-data di atas, Indonesia masih perlu bekerja keras untuk membenahi hal-hal fundamental agar menunjang pendidikan yang baik.
Melihat realita pendidikan saat ini, BPS merilis beberapa data yang menggambarkan situasi pendidikan di Indonesia. Kondisi bangunan sekolah (SD, SMP, SMA/SMK), lebih dari 70 persen mengalami kerusakan (ringan/sedang/berat). Rata-rata lama sekolah (RLS) secara umum adalah 8,90 tahun, sedangkan rata-rata lama sekolah di Singapura adalah 11,5 tahun. Tingkat tamat sekolah pada usia 19-21 (lulus SM/sederajat) hanya sebesar 63,95 persen (Badan Pusat Statistik 2020). Salah satu masalah pendidikan di Indonesia adalah kesenjangan antara perkotaan dan pedesaan, aspek ekonomi, infrastruktur, dan sosial sangat berpengaruh pada kondisi pendidikan suatu wilayah. Kesenjangan antar provinsi juga menjadi alasan pendidikan yang kurang merata dan siap. Hal ini sangat penting karena kualitas pendidikan akan menentukan SDM di masa mendatang.
Indonesia versus Other Countries
Setelah membahas mengenai kondisi pendidikan tanah air, melihat pendidikan negara lain sangat penting untuk menjadi tolak ukur seberapa jauh atau kualitas pendidikan di Indonesia. Negara tetangga Indonesia yaitu Malaysia, memiliki indeks pembangunan manusia (IPM) sebesar 0,804 (peringkat 3 di ASEAN dan 61 global). Sedangkan Indonesia memperoleh nilai sebesar 0,707 (peringkat 6 di ASEAN dan 111 global) (UNDP 2019). IPM menjelaskan kemampuan penduduk dalam mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh kesehatan, pendidikan, pendapatan dan sebagainya. Hal ini perlu menjadi sebuah concern tersendiri bagi Indonesia dalam mengevaluasi kondisi SDM yang ada. Jumlah kemiskinan di malaysia sangat kecil di tahun 2015 (0,4 persen rumah tangga berada di bawah GK) dan terus mengalami penurunan setiap tahunnya (World Bank 2019). Ketika SDM sebagai aset negara tidak dibenahi, maka negara tersebut tidak akan bertumbuh dengan baik. Pendidikan menjadi salah satu faktor untuk meningkatkan kualitas SDM dan mengikis kemiskinan.
Membandingkan tingkat PISA Indonesia dengan Malaysia, Thailand, dan Singapura, kondisi pendidikan di Indonesia masih di bawah ketiga negara tersebut. Pengukuran ini dibedakan menjadi 3 indikator, antara lain average performance (mengukur tiga bidang studi yaitu sains, matematika, dan membaca siswa umur 15 tahun), share tops performers (kinerja terbaik siswa dalam performa sains, matematika, dan membaca), dan share of low performers (performa rendah atau siswa berjuang dalam melakukan beberapa spesifikasi khusus pada sains, matematika, dan membaca). Hasilnya data PISA 2018 menyatakan apabila average performance dan share tops performers Indonesia dibawah ketiga negara tersebut. Sedangkan share of low performers Indonesia paling tinggi diantara lainya (PISA 2018 dan OECD).
Untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia sebagai salah satu faktor utama yang bertanggung jawab atas kemiskinan, negara harus meningkatkan investasi human capital di Indonesia. Salah satu caranya dengan memperbanyak subsidi pendidikan atau beasiswa bagi masyarakat Indonesia, serta memberikan ikatan kerja agar tidak terjadi migrasi ke negara lain. Dengan pendidikan produktivitas dapat meningkat. Dilansir dari Mankiw (2015) pendidikan akan membuat seseorang dapat membantu lingkungan sekitar di masa mendatang. Pemerintah juga dituntut untuk dapat menyediakan dan mempekerjakan SDM lokal agar bangsa kita tidak bergantung kepada negara lain.
Seringnya perubahan kurikulum menjadi permasalah, sehingga pemerintah perlu membentuk sebuah kurikulum yang tidak memberatkan murid (terutama saat jenjang SD-SMA) dan memfasilitasi murid untuk mencari kemampuanya yang sesuai. Serta meningkatkan daya baca, literasi digital, dan kemampuan berbahasa asing agar kedepan pelajar tidak kalah bersaing pada taraf global.
Terakhir pembangunan infrastruktur, akses, fasilitas, dan pemerataan pendidikan. Kesenjangan membuat pertumbuhan terhambat dan kemiskinan dimana-mana, terutama antar provinsi atau antara perkotaan dan pedesaan. Seperti di zaman orde baru, kebijakan SD inpres (instruksi presiden) dan sekolah pamong dengan biaya pendidikan yang sangat terjangkau menggunakan dana APBN untuk memberikan kerataan pendidikan di Indonesia. Selain hal itu, pemberantasan terhadap korupsi sangat diperlukan Menaikan expenditure terhadap pendidikan sangat penting sebagai salah satu investasi jangka panjang.
Conclusion
Pendidikan sangat bertanggung jawab atas perkembangan sebuah negara dan kemiskinan. Pengorbanan biaya di awal untuk menunjang pendidikan yang berkualitas adalah sebuah investasi long-term untuk memperbaiki kondisi saat ini. Dengan pendidikan masyarakat dapat keluar dari kemiskinan, serta masyarakat tidak boleh terjebak dalam vicious cycle of poverty. Dalam hal ini pemerintah perlu berkontribusi langsung dalam menentukan kebijakan yang menguntungkan rakyat. Berdasarkan Mankiw (2015), orang miskin terjadi karena mereka memilih keputusan yang salah. Mereka memilih keputusan yang salah karena pemerintah memberikan pilihan dan insentif yang salah. Maka, memperbaiki pemerintah penting untuk memberantas kemiskinan. Sebuah quote dari Nelson Mandela (1998) “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world” (Oxford Reference 2017).
Daftar Pustaka
Ahmad, Abdul. 2010. “Malaysian Secondary School History Curriculum and Its Contribution towards Racial Integration”. Procedia-Social and Behaviour Sciences, Vol.7. Diakses pada tanggal 22 Juni 2021.
Asrol, Asrol dan Ahmad, Hafsah. 2018. “Analysis of factors that affect poverty in Indonesia”. Journal of Poverty Vol. 39, No. 45. Diakses pada tanggal 15 Juni 2021.
Bil. 2014. “Jokowi: Negara Maju Utamakan Pendidikan, Bukan Pembangunan Infrastruktur”. Detik News, 23 Mei. Diakses pada tanggal 19 Juni 2021. https://news.detik.com/berita/d-2590342/jokowi-negara-maju-utamakan-pendidikan-bukan-pemb angunan-infrastruktur
BPS. 2019. “STATISTIK TELEKOMUNIKASI INDONESIA 2019”. BPS, 20 Oktober. Diakses pada tanggal 17 Juni 2021. https://www.bps.go.id/publication/2020/12/02/be999725b7aeee62d84c6660/statistik-telekomuni kasi-indonesia-2019.html
BPS. “Kemiskinan dan Ketimpangan”. BPS. Diakses pada tanggal 15 Juni 2021.https://www.bps.go.id/subject/23/kemiskinan-dan-ketimpangan.html
BPS. 2020. “Statistik Pendidikan 2020”. BPS, November. Diakses pada tanggal 20 Juni 2021. https://www.bps.go.id/publication/2020/11/27/347c85541c34e7dae54395a3/statistik-pendidikan- 2020.html
BPS. 2020. “Persentase Penduduk Miskin Maret 2020 naik menjadi 9,78 persen”. BPS, 15 Juli. Diakses pada tanggal 19 Juni 2021. https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/07/15/1744/persentase-penduduk-miskin-maret-2020- naik-menjadi-9-78-persen.html
Citradi, Tirta. 2020. “IPM RI Naik, Tapi Masih Kalah Sama Tetangga”. CNBC Indonesia, 17 Februari. Diakses pada tanggal 17 Juni 2021. https://www.cnbcindonesia.com/news/20200217142358-4-138395/ipm-ri-naik-tapi-masih-kalah- sama-tetangga
Fogel, Robert. 1994. “The Relevance of Malthus For The Study Mortality Today: Long Run Influences on Health, Mortality, Labor Force Participation, and Population Growth”. National Bureau on Economics Research. Diakses Pada tanggal 2 Juli 2021.
Kata Data. 2019. “Indeks Modal Manusia Indonesia Peringkat 6 di ASEAN”. Kata Data, 22 Mei. Diakses pada tanggal 21 Juni 2021. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/05/22/indeks-modal-manusia-indonesia-pering kat-6-di-asean#
Mankiw, N. Gregory. “Principles of Economics 8th Edition”. USA: Cengage Learning, 2015.
Misdikun, Taufik. 2020. “Mengenang Kembali SD Inpres Dan Sekolah Pamong”. ITJEN KEMENDIKBUD, 22 September 2020. Diakses pada tanggal 25 Juni 2021. https://itjen.kemdikbud.go.id/public/post/detail/mengenang-kembali-sd-inpres-dan-sekolah-pamo ng
OECD. Education and Skill Indikator. OECD. Diakses pada tanggal 2 Juli 2021.
O’neil, Aaron. 2021. “ASEAN countries: Life expectancy at birth from 2008 to 2018”. Statista, 1 April. Diakses pada tanggal 18 Juni 2021. https://www.statista.com/statistics/804453/life-expectancy-at-birth-in-the-asean-countries/
PISA. 2018. Country Overview. PISA. Diakses pada tanggal 2 Juli 2021. https://www2.compareyourcountry.org/pisa/country/idn?lg=en
Pramiarsih, Eka. 2019. “Singapore’s Education Concept: Comparative and Applicative Study to The Quality of Indonesia’s Education”. INTERNATIONAL JOURNAL OF SCIENCE AND APPLIED SCIENCE: CONFERENCE SERIES, Vol. 3, No. 1. Diakses pada tanggal 22 Juni 2021.https://jurnal.uns.ac.id/ijsascs/article/view/32548
Putri, Edina. 2020. “Zona Merah Pendidikan di Indonesia”. OSC Medcom, 9 Oktober. Diakses pada tanggal 17 Juni 2021. https://osc.medcom.id/community/zona-merah-pendidikan-di-indonesia-1297
Quipper. 2020. “Belajar Sejarah Kurikulum Indonesia Sampai Saat Ini dari Masa ke Masa”. Quipper Blog, 20 Agustus. Diakses pada tanggal 19 Juni 2021. https://www.quipper.com/id/blog/tips-trick/school-life/sejarah-kurikulum-indonesia/
Ratcliffe, Susan. 2017. “Oxford Essential Quotation”. Oxford reference. Diakses pada tanggal 27 Juni 2021.https://www.oxfordreference.com/view/10.1093/acref/9780191843730.001.0001/acref-97801918 43730
Serrajudin, Umar dan Hamadeh, Nada. 2020. “New World Bank country classifications by income level: 2020-2021”. The World Bank, 1 Juli. Diakses pada tanggal 21 Juni 2021. https://blogs.worldbank.org/opendata/new-world-bank-country-classifications-income-level-2020 -2021
Utami, Larasati. 2021. “Tingkat Literasi Indonesia di Dunia Rendah, Ranking 62 Dari 70 Negara”. Perpustakaan Kemendagri, 23 Maret. Diakses pada tanggal 18 Juni 2021. https://perpustakaan.kemendagri.go.id/?p=4661
UNFPA. 2014. “Population and poverty”. UNFPA. Diakses pada tanggal 21 Juni 2021. https://www.unfpa.org/resources/population-and-poverty
WHO. 2008. “Breaking the vicious cycle of mental ill-health and poverty”. WHO. Diakses pada tanggal 19 Juni 2021.
World Bank. 2020. “Seri Pengetahuan Modal Manusia Indonesia”. The World Bank, 26 September. Diakses pada tanggal 20 Juni 2021. https://www.worldbank.org/in/country/indonesia/brief/indonesia-human-capital
The World Bank. 2021. “Ikhtisar”. The World Bank, 2 April. Diakses pada tanggal 20 Juni 2021. https://www.worldbank.org/in/country/indonesia/overview
Todaro, Michael dan Smith, Stephen. “Pembangunan Ekonomi”. Harlow: Addison-wesley, 2006.