Patriarki di Indonesia : Budaya yang Tak Kunjung Lekang

Author : Koes Afifah Qurratuaini Putri & Adnalia Farha

Pendahuluan

Secara harfiah, istilah ‘patriarki’ dimaknai sebagai “rule of the father” dan pada mulanya digunakan sebagai sebutan untuk keluarga yang segala peraturannya ditentukan dan didominasi oleh laki-laki (Sultana, 2010). Dalam makna kontemporer, patriarki kini dapat diartikan sebagai dominasi laki-laki dalam berbagai aspek yang kemudian menempatkan perempuan dalam posisi subordinat atau lebih rendah (Sakina, 2017).

Di Indonesia, patriarki kini sudah menjelma sebagai sebuah budaya yang diwariskan turun temurun antargenerasi. Berdasarkan beberapa studi sebelumnya yang dilakukan oleh Wayan dan Nyoman (2020) dan Sakina (2017), dapat disebutkan bahwa adanya keberlanjutan dari tradisi budaya lokal atau adat (customs) yang mengandung nilai-nilai dominasi laki-laki turut menjadi salah satu faktor mengapa patriarki sulit untuk dihilangkan dari kehidupan masyarakat. Patriarki dan segala stigma yang mengikuti di belakangnya menyebabkan adanya ketidaksetaraan gender dan banyak permasalahan terkait gender di Indonesia, seperti kekerasan terhadap perempuan, rendahnya partisipasi perempuan di beberapa industri pekerjaan, dan lain-lain. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk menyadari bagaimana patriarki mengambil banyak peran di kehidupan sehari-hari, khususnya dalam lingkup masyarakat Indonesia.

The Root of Patriarchy — Dari Mana Patriarki Bermula?

Sebagai suatu entitas yang sudah melekat pada masyarakat, patriarki sebenarnya sudah ada di antara masyarakat sejak sangat lama. Ditilik dari sejarahnya, patriarki sebenarnya berawal dari sebuah sejarah panjang tentang kontrol, kekuatan, dan kekuasaan yang pada akhirnya merujuk pada kekerasan (Bahlieda, 2015). Christ (2016) juga berpendapat bahwa budaya dominasi laki-laki ini sebenarnya berawal dari peperangan zaman dahulu yang ‘mengizinkan’ kekerasan, dianggap suci dengan simbol-simbol religius, dan laki-laki dianggap sebagai pahlawan sementara perempuan diminta untuk tetap tinggal di rumah.

Seiring berjalannya waktu, patriarki kini berkembang lebih lanjut menjadi sebuah sistem dan ideologi. Dominasi laki-laki di kalangan masyarakat kini bukan lagi dipandang sebagai sebuah fenomena, tetapi sebagai normalitas yang memberikan pemikiran bahwa memang sudah seharusnya laki-laki memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada perempuan (Israpil, 2017). Dalam hal ini juga termasuk penindasan terhadap perempuan (Johnson, 2005). Patriarki sebagai sistem kini bukan lagi hanya membahas tentang perseteruan dua gender, tetapi juga tentang bagaimana ketidaksetaraan di antara keduanya merambah ke segala aspek, seperti hukum, politik, bahkan ekonomi (Higgins, 2018).

Johnson (2005) membahas bahwa patriarki sebagai sebuah sistem meliputi adanya ide-ide kultural tentang siapa perempuan dan siapa laki-laki, apa yang seharusnya mereka lakukan menurut gender mereka, serta adanya distribusi penghargaan dan sumber daya yang tidak merata antara laki-laki dan perempuan yang menjadi akar dari adanya penindasan atau oppression terhadap perempuan.

Mengapa Patriarki Harus Diperhatikan?

Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan

Menurut Asian Pacific Institute on Gender-Based Violence (API-GBV), sudut pandang patriarkis yang menilai laki-laki, dominasi heteroseksual, dan devaluasi perempuan merupakan akar dari kekerasan berbasis gender, khususnya terhadap perempuan.

Di Indonesia sendiri, berita tentang perilaku kejahatan atau kekerasan berbasis gender terhadap perempuan bukanlah hal baru. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Indonesia mencatat angka-angka kekerasan gender terhadap perempuan yang cukup besar dari tahun ke tahun meski dinamikanya fluktuatif. 

Catatan paling mutakhir dari Komnas Perempuan adalah Catatan Tahunan 2022 (CATAHU 2022) yang mencatat angka kasus kekerasan gender terhadap perempuan sebesar 338.496 kasus pada tahun 2021. Jumlah ini merupakan peningkatan sebesar 49.7% dari angka 226.062 kasus pada tahun 2020. Dilansir dari Voice of Indonesia (VOI) 2021, Komnas Perempuan juga mencatat sebanyak 36.356 kasus domestic violence terhadap perempuan selama lima tahun terakhir.

Grafik 1. (Olahan oleh penulis berdasarkan data Komnas Perempuan Indonesia, 2015-2021.)

Komnas Perempuan melaporkan bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi terhadap perempuan meliputi penelanjangan, pemerkosaan, serta berbagai bentuk kekerasan baik secara verbal maupun fisik. Sebagian besar kasus kekerasan ini juga terlapor dilakukan oleh anggota-anggota TNI, Polri, dan otoritas-otoritas lain yang beranggotakan laki-laki. Ada realita yang ironis di sini, mengingat bahwa pihak-pihak tersebut seharusnya mengayomi dan melindungi masyarakat, tetapi justru melakukan tindakan yang berlawanan. 

Pelecehan Seksual di Indonesia

Pelecehan seksual merupakan salah satu bentuk kekerasan berdasarkan gender. Pada kaitannya dengan patriarki, pelecehan seksual di Indonesia terlihat lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Sebanyak 66,7% korban pelecehan dilaporkan merupakan perempuan (IJRS, 2021).  UU Nomor 12 tahun 2022 Tindak Pidana Kekerasan Seksual merincikan tindak pidana kekerasan seksual terdiri atas, pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik. 

Komnas Perempuan pada tanggal 7 Maret 2022 merilis video yang memuat data terbaru terkait kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia pada tahun 2021. Pada grafik 2, ditunjukkan bahwa bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan di ranah personal paling banyak adalah perkosaan (597).

Grafik 2. Jenis Kekerasan Seksual terhadap Perempuan. (Katadata, 2021)

Adapun jenis kekerasan seksual yang meningkat pesat pada beberapa tahun ini adalah kekerasan seksual berbasis siber atau online. Mengikuti laporan dari Komnas Perempuan yang dikutip oleh Katadata (2021), KSBG (Kekerasan Siber Berbasis Gender) tahun 2021 meningkat 83% dan sebagian besar kekerasan tersebut berkaitan dengan masalah seksual. Kondisi ini relevan dengan peningkatan penggunaan internet, seperti media sosial yang memberikan kemudahan untuk mengirim pesan ataupun berinteraksi satu sama lain. Seringkali tanpa atau dengan disadari, pesan-pesan itulah yang menjadi bentuk pelecehan seksual.

Domestikasi Gender

Isu lain yang dibawahi oleh konstruksi patriarki adalah adanya domestikasi pada satu gender, yaitu perempuan. Berangkat dari pembagian peran yang ditentukan oleh konstruksi ini, perempuan dan laki-laki di Indonesia tumbuh dengan peran yang berbeda (Kemenpppa, 2020). Pada laki-laki, status kepala rumah tangga disematkan sesaat setelah ia menikah. Status ini menuntut mereka untuk fokus pada perannya sebagai pekerja dan bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Lain halnya dengan perempuan, Kemenpppa menyebutkan bahwa peran perempuan dimata konstruksi ini terbatas pada lingkup domestik, meliputi pengasuhan, pelayanan, dan perawatan rumah tangga. Di jawa, perempuan identik dengan sebutan kanca wingking atau ‘teman di belakang’ dan tiga tugas pokoknya yaitu, macak, manak, masak (Wijanarko, 2017).

Baik laki-laki maupun perempuan sebenarnya dirugikan oleh konstruksi ini (Kemenpppa, 2020). Tuntutan pada laki-laki untuk menjadi tangguh dan penopang ekonomi keluarga kemudian menimbulkan pandangan negatif bagi laki-laki yang tidak memenuhi tuntutan tersebut. Begitu juga perempuan, pembatasan ruang gerak menghilangkan kesempatan yang dimiliki perempuan untuk berpartisipasi dalam berbagai kehidupan. Konsekuensi ini merupakan akar bagi adanya subordinasi perempuan.

Male Gaze

Male gaze pertama kali diteorikan oleh seorang ahli sinema dan feminis Laura Mulvey pada 1975. Dalam studi penelitiannya yang berjudul Visual Pleasure and Narrative Cinema, ia menyebutkan bahwa ada kecenderungan orang memandang lakon dalam media visual, seperti aktor/aktris dan para pemeran lain, sebagai sebuah objek (Glapka, 2017; Mulvey, 1975).

Mulvey juga menekankan kalimat “woman as image, man as bearer of the look” dalam penelitiannya, dengan penjelasan lebih lanjut bahwa ada kecenderungan objektifikasi perempuan oleh laki-laki di sini. Male gaze kemudian diartikan sebagai “tatapan” dari laki-laki yang memproyeksikan fantasi seksual pada figur-figur perempuan dalam media visual dan menjadikan perempuan sebagai objek pemuas atas fantasi-fantasi tersebut. Ia menyebutkan bahwa adanya ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan serta kuatnya nilai patriarki pada masa itu merupakan akar dari masalah ini (Mulvey, 1975).

Perlu diketahui bahwa male gaze adalah suatu permasalahan yang masih banyak ditemui di masa kini, terutama di dalam media-media populer yang menjadi konsumsi sehari-hari masyarakat. Di Indonesia, pembicaraan tentang male gaze mulai ramai di kalangan masyarakat setelah rilisnya film Selesai (2021) yang disutradarai oleh Tompi.

Reviu oleh Tirto.id (2021) dan berbagai media lokal membahas bahwa film Selesai (2021) dianggap menampilkan unsur male gaze yang kentara dengan meninjau bagaimana figur perempuan ditampilkan di dalam film — yakni dengan camera work yang banyak menyorot bagian-bagian tubuh tertentu dan seakan-seakan mengobjektifikasi perempuan. Selain itu, adanya unsur perselingkuhan oleh pihak suami, implikasi bahwa perempuan selalu menjadi pihak yang disalahkan dalam suatu hubungan yang gagal, serta rentannya perempuan dijadikan objek seksual (Magdalene, 2021) di dalam film ini adalah suatu perpaduan yang sangat kompleks antara praktik nilai patriarkis dan male gaze.

Objektifikasi perempuan adalah tindakan yang sangat mencerminkan kuatnya nilai patriarki. Memandang perempuan sebagai sebuah objek dan bukan sebagai manusia—human being—berarti menempatkan perempuan di posisi inferior atau lebih rendah, terlebih hal ini lebih sering dilakukan oleh laki-laki.

Apa yang Dilakukan Perempuan dan Laki-laki dalam Menghadapi Patriarki?

Perempuan dan Gerakan Feminisme di Indonesia

Di Indonesia, salah satu bentuk gerakan perwujudan kesetaraan gender adalah feminisme. Sejarah perjuangan tokoh perempuan, seperti Kartini, Dewi Sartika, dan Cut Nyak Dien dalam memperjuangkan hak perempuan menjadi titik awal bagi masa depan para perempuan di Indonesia (Suhada, 2021). Perjuangan ini mereka fokuskan pada perluasan ruang publik untuk melibatkan perempuan pada berbagai bidang, meliputi politik dan ekonomi (Mursidah, 2012). Pendirian Poetri Mardika sebagai organisasi perempuan pertama di Indonesia merupakan aksi yang kemudian mendorong feminisme untuk tumbuh lebih besar. (Saskia  E.  Wieringa,  1998:  3). Tidak hanya itu, GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia) juga disebut sebagai organisasi perempuan yang paling berpengaruh pada masa itu.

Melanjutkan perjuangan sebelumnya, kini, gerakan feminis dilakukan dalam berbagai bentuk yang lebih modern.  Memanfaatkan teknologi digital yang semakin canggih, para aktivis kesetaraan gender mulai menggunakan media-media digital untuk menyuarakan kampanye dan isu kesetaraan gender. Berdasarkan analisis yang dilakukan Monica, et al. (2022), berbagai kampanye feminis dilakukan melalui media Youtube. Sebut saja Najwa Shihab—seorang yang dikenal sebagai jurnalis dan presenter terkenal di Indonesia, mendiskusikan suatu isu berkaitan dengan pelecehan seksual pada salah satu videonya. Selain Youtube, gerakan feminis digital melalui akun-akun di sosial media seperti instagram dan twitter juga mulai meningkat setelah masa Soeharto (Parahita, 2019). Biasanya, akun-akun ini berfungsi sebagai media yang menyebarkan informasi tentang isu-isu urgen yang berkaitan dengan patriarki. Peluncuran UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dianggap sebagai salah satu hasil dari perjuangan yang dilakukan oleh aktivis-aktivis ini.

Eksistensi Perempuan dalam Dunia Seni dan Ketenagakerjaan

Perempuan memperjuangkan hak-hak dan menyetarakan kedudukannya dengan laki-laki melalui berbagai industri, termasuk dunia seni dan ketenagakerjaan. Meskipun budaya patriarki masih terbilang kuat di golongan masyarakat, perlu diketahui juga bahwa ada banyak perempuan yang mulai berani mendobrak stigma dengan cara-cara mereka.

Dalam perkembangannya di masa sekarang, banyak seniman—khususnya perempuan—yang mulai mengangkat tema women empowerment dan melawan stigma-stigma patriarki melalui karya-karya mereka. Gagasan yang tertuang di dalam karya-karya tersebut secara umum menggambarkan bahwa perempuan juga berhak untuk bersuara, memperjuangkan hak-hak mereka dan menempatkan diri setara dengan laki-laki. Karya-karya ini dapat berwujud dalam berbagai macam bentuk media, seperti film, buku, atau lagu. Dalam media Indonesia, gagasan ini dapat diamati di film Yuni (2021) yang disutradarai oleh Kamila Andini dan buku Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam (2021) oleh penulis Dian Purnomo.

Film Yuni (2021) menceritakan seorang anak perempuan tingkat SMA yang memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan dan mencoba banyak hal dalam masanya bertumbuh dewasa, tapi ia harus merasakan dikelilingi oleh anggapan-anggapan patriarkis yang mengatakan bahwa perempuan harus segera menikah—perempuan tidak perlu mengejar pendidikan tinggi dan hanya perlu berurusan dengan “kasur, sumur, dapur.” Anggapan-anggapan yang memiliki keterikatan kuat dengan budaya masyarakat setempat di latar film ini merupakan gambaran atas nyatanya peran budaya lokal dalam mentalitas patriarki yang masih bertahan. Film ini memberikan sebuah akhir yang mengimplikasikan bahwa Yuni, si tokoh utama, dan perempuan-perempuan lain dalam film tersebut berhasil mempertahankan suaranya, memilih keputusannya sendiri, dan tidak menyerah begitu saja pada stigma yang harus mereka tanggung sebagai perempuan.

Sementara itu, buku Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam (2021) karya Dian Purnomo merupakan karya fiksi yang ditulis berdasarkan tradisi kawin tangkap (Piti Rambang) di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Tradisi ini telah berlangsung sejak lama dan praktiknya masih ada sampai hari ini. Sesuai namanya, praktik tradisi kawin tangkap dilakukan dengan menangkap atau menculik perempuan-perempuan Sumba untuk dinikahi secara paksa dan sepihak (Doko, Suwetra, & Sudibya, 2021). Buku ini menceritakan bagaimana Megi Diela, si tokoh utama sekaligus korban, menentang tradisi ini dan memperjuangkan keadilan di sana sebagai perempuan. Lagi-lagi, nilai patriarkis yang ada di novel ini juga memiliki hubungan erat dengan budaya setempat. Hal ini membuktikan bahwa nilai-nilai budaya lokal yang ‘mendukung’ nilai-nilai patriarki menjadi salah satu faktor utama mengapa patriarki masih sangat kuat di kehidupan masyarakat.

Selain dari industri seni, partisipasi perempuan juga mengalami peningkatan dalam dunia ketenagakerjaan. Hasil riset Danareksa pada tahun 2021 menunjukkan bahwa partisipasi angkatan kerja perempuan di Indonesia terbilang meningkat dari tahun ke tahun, meski angkanya dan upah yang diraih masih terhitung lebih rendah daripada laki-laki.

Grafik 3. (Sumber: BPS dan BUMN – Danareksa Institute)

Grafik di atas menunjukkan bahwa partisipasi angkatan kerja laki-laki dalam sektor formal masih tercatat lebih tinggi daripada perempuan. Akan tetapi, perlu diamati juga bahwa partisipasi angkatan kerja perempuan juga mengalami peningkatan yang cukup baik dari tahun ke tahun, meski masih mengalami fluktuasi. Hal ini merupakan berita yang cukup baik sebagai salah satu bentuk bantahan bagi stigma-stigma patriarkis terkait perempuan yang bekerja.

Selain itu, peningkatan dalam partisipasi perempuan dalam bidang ketenagakerjaan ini juga sejalan dengan target G20 Brisbane Goal 2025 untuk memperkecil kesenjangan dalam tingkat partisipasi angkatan kerja berdasarkan gender (ILO, 2019). Menteri Ketenagakerjaan Indonesia, Ida Fauziyah, juga menyampaikan bahwa kesetaraan gender dalam tempat kerja akan membantu mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan menyeluruh (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2022).

Patriarki dari Sudut Pandang Laki-laki

Pada hal menentang patriarki dan menciptakan kesetaraan gender, Flood (2015) dalam bukunya yang berjudul Men and Gender Equality, menyebutkan bahwa keterlibatan laki-laki dalam gerakan kesetaraan gender ini dibutuhkan. Hal ini karena ketidaksetaraan gender berkaitan erat dengan praktik dan identitas laki-laki, partisipasi laki-laki, serta budaya maskulinitas. Pada buku tersebut, disebutkan posisi laki-laki pada patriarki adalah dua, sebagai bagian dari masalahnya dan sebagai solusinya.

Weiss (2018), dalam artikel yang dipublikasi oleh The Standard, mengungkapkan hasil jajak pendapat beberapa laki-laki terkait feminisme. Kebanyakan dari mereka menyetujui bahwa kesetaraan atau equality dalam gender adalah satu hal yang patut untuk diperjuangkan dengan mempertimbangkan kesamaan dalam hak-hak perempuan maupun laki-laki. Mereka pun berpendapat bahwa kesetaraan dan perlawanan terhadap patriarki adalah ‘tugas’ perempuan dan laki-laki secara selaras dan bersamaan, bukan hanya perempuan saja.

Pada ulasan-ulasan kontemporer di lingkup global, sebagian kelompok laki-laki kini mulai menunjukkan sikap positif terhadap isu feminisme dan mengentaskan patriarki. Meskipun demikian, ada beberapa dari mereka yang juga mengatakan bahwa mereka setuju dengan konsep feminisme pada dasarnya, tetapi tidak menyetujui gerakannya—agrees with feminism, but disagrees with the movement. Salah satu narasumber, Lecaros, menyebutkan bahwa gerakan feminisme modern saat ini memiliki kecenderungan untuk bergerak ke arah “man-hating”, sebuah situasi yang menjadikan gerakan feminisme sebagai alat untuk berbalik merendahkan dan membenci laki-laki, dan justru menyimpang dari objektif feminisme yang sesungguhnya, yakni kesetaraan.

Dalam lingkup masyarakat Indonesia, kehadiran male feminist terwujud pada salah satu gerakan pro-feminis bernama Aliansi Laki-laki Baru. Gerakan yang hadir sejak tahun 2009 ini mendasarkan kegiatan mereka pada sudut pandang laki-laki yang sadar akan isu patriarki dan keinginan untuk mengubah perilaku laki-laki (Windy & Bajari, 2019).

Survei feminisme yang dilakukan oleh tim riset Tirto.id (2021) terhadap 1500 responden menghasilkan beberapa poin yang menarik. Mayoritas dari responden tersebut mengaku bahwa mereka setuju dengan isu pro-perempuan, dengan catatan angka sebesar 57% memilih setuju dengan konsep kesetaraan antara laki-laki dan perempuan serta 16,67% memilih sangat setuju. Survei ini juga membuktikan bahwa kebanyakan laki-laki Indonesia mengaku mereka mendukung isu perempuan, tetapi tidak mengidentifikasikan diri sebagai feminis. 6,7% dari total responden laki-laki bahkan mengaku mereka adalah bagian dari anti-feminis.

Gambar 1. Survei Feminisme. (Tirto.id, 2021))

Selain itu, seperempat dari jumlah responden juga mengaku bahwa mereka menganggap feminisme tidak diperlukan di Indonesia, dengan mayoritas dari angka seperempat tersebut adalah laki-laki. Riset ini dapat dijadikan acuan kasar terkait bagaimana laki-laki di Indonesia memandang isu feminisme dan patriarki.

Perkembangan Kesetaraan Gender di Indonesia

Perkembangan kesetaraan gender di Indonesia dapat dilihat dari IKG (Indeks Ketimpangan Gender) yang dilaporkan oleh WEF (World Economic Forum). Grafik 1 menunjukkan tren perkembangan ini sejak tahun 2006—pertama kali WEF melaporkan IKG hingga tahun 2022. Berdasarkan WEF, skor ketimpangan gender yang sempurna ditunjukkan oleh angka 0, sedangkan angka 1 menggambarkan adanya kesetaraan antargender. Jika dilihat dari grafik, perkembangan kesetaraan gender Indonesia cenderung meningkat. Penurunan hanya terjadi pada tahun 2008 dan 2021. Skor tertinggi didapat pada tahun 2020 dengan angka 0,7. Pada tahun 2022, skor tertinggi berasal dari kategori pencapaian pendidikan yakni sebesar 0,972, dan skor terendah sebesar 0,169 adalah kategori pemberdayaan politik.

Grafik 4. Gender Gap Index. (WEF, 2016-201).

Terlepas dari adanya gerakan penyetaraan gender di Indonesia, data dari WEF secara tidak langsung menunjukkan bahwa masih ada gap antargender pada berbagai bidang kehidupan di Indonesia, khususnya pada bidang politik. Hal ini menurut Siscawati, et al. (2020) merupakan hambatan bagi realisasi pengembangan kesetaraan gender dan pemberdayaan wanita.

Kesimpulan

Sebagai konstruksi sosial yang tak kunjung lekang, patriarki ternyata membawahi berbagai isu ironis yang marak terjadi di Indonesia. Mulai dari kekerasan, pelecehan seksual, domestikasi hingga objektifikasi (male gaze) adalah beberapa dari contoh isu yang diyakini berkaitan erat dengan pandangan yang tertanam dalam konstruksi ini. Adanya berbagai isu ini tampaknya cukup menjelaskan alasan pro-feminis menganggap konstruksi ini perlu diperhatikan oleh segenap pihak. Baik laki-laki, maupun perempuan memegang peran yang penting bagi eksistensi konstruksi ini.

Daftar Pustaka

Asian Pacific Institute on Gender-Based Violence. (2022). PATRIARCHY & POWER. Retrieved from APIGBV: https://www.api-gbv.org/about-gbv/our-analysis/patriarchy-power/

Bahlieda, R. (2015). Chapter 1: THE LEGACY OF PATRIARCHY. Counterpoints, 488, 15–67.

Christ, C. P. (2016). A New Definition of Patriarchy: Control of Women’s Sexuality, Private Property, and War. Feminist Theology, 24(3), 214–225.

Danareksa. (2022). DRI’s Pulse Check: Peran Perempuan Menuju Kesetaraan. Danareksa Research Institute.

Doko, W. E., Suwetra, M. I., Sudibya G. D. (2021). TRADISI KAWIN TANGKAP (PITI RAMBANG) SUKU SUMBA DI NUSA TENGGARA TIMUR. Jurnal Konstruksi Hukum, 2, 656–660.

Flood, Michael. (2015). Men and Gender Equality.

Glapka, E. (2017). ‘If you look at me like at a piece of meat, then that’s a problem’ – women in the center of the male gaze. Feminist Poststructuralist Discourse Analysis as a tool of critique. Critical Discourse Studies, (), 1–17.

Gramedia. (2022). Review Novel “Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam”. Retrieved from Gramedia Blog: https://www.gramedia.com/best-seller/review-novel-perempuan-yang-menangis-kepada-bulan-hitam/

Higgins, C. (2018). The age of patriarchy: how an unfashionable idea became a rallying cry for feminism today.Retrieved from The Guardian: https://www.theguardian.com/news/2018/jun/22/the-age-of-patriarchy-how-an-unfashionable-idea-became-a-rallying-cry-for-feminism-today

IJRS. 2021. Data dan Fakta Kekerasan Seksual di Indonesia 2021.

Indonesia Sesudah 1950,  Jakarta: Kalyanamitra, 1998

International Labour Organization. (2019). Women at Work in G20 countries: Progress and policy action since 2018. Retrieved from ILO: https://www.ilo.org/global/about-the-ilo/how-the-ilo-works/multilateral-system/g20/reports/WCMS_713373/lang–en/index.htm

Johnson, A. G. (2005). The Gender Knot: Unraveling Our Patriarchal Legacy. Philadelphia : Temple University Press.

Katadata. 2022. Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah Siber Terus Naik sejak 2017. Diakses pada 16 September 2022, dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/06/21/kekerasan-terhadap-perempuan-di-ranah-siber-terus-naik-sejak-2017

Katadata. 2022. Perkosaan Dominasi Kasus Kekerasan Seksual terhadap Perempuan Sepanjang 2021. Diakses pada 16 September 2022, dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/03/09/perkosaan-dominasi-kasus-kekerasan-seksual-terhadap-perempuan-sepanjang-2021#:~:text=Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap,mencapai 2.363 kasus pada 2021.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa) Indonesia. (2022). G20 EMPOWER : PENINGKATAN TENAGA KERJA PEREMPUAN DUKUNG PERTUMBUHAN EKONOMI NEGARA. Retrieved from Kemenppa.go.id: https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/3817/g20-empower-peningkatan-tenaga-kerja-perempuan-dukung-pertumbuhan-ekonomi-negara

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa) Indonesia. 2020. Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2020. Diakses pada 16 September 2022, dari https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/50a46-pembangunan-manusia-berbasis-gender-2020.pdf

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. (2020). Info Grafis Catahu 2020: Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2019. Retrieved from Komnas Perempuan: https://komnasperempuan.go.id/catatan-tahunan-detail/info-grafis-catahu-2020-catatan-tahunan-kekerasan-terhadap-perempuan-tahun-2019

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. (2022). Peringatan Hari Perempuan Internasional 2022 dan Peluncuran Catatan Tahunan tentang Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan. Retrieved from Komnas Perempuan: https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/peringatan-hari-perempuan-internasional-2022-dan-peluncuran-catatan-tahunan-tentang-kekerasan-berbasis-gender-terhadap-perempuan

Magdalene. (2021). Kata Siapa Perempuan Selalu Benar: Kacamata ‘Male Gaze’ dalam Film ‘Selesai’. Retrieved from Magdalene: https://magdalene.co/story/kata-siapa-perempuan-selalu-benar-mirisnya-perempuan-dalam-film-selesai

Mulvey, L. (1975). Visual Pleasure and Narrative Cinema. Screen, 16(3), 6–18.

Mursidah. 2012. Gerakan Organisasi Perempuan Indonesia dalam Bingkai Sejarah.| MUWÂZÂH : Jurnal Kajian Gender. 4(1): 89.

Parahita, G. (2019). The Rise of Indonesian Feminist Activism on Social Media. Jurnal Komunikasi Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, 4(2), 104-115. doi:https://doi.org/10.25008/jkiski.v4i2.331

Sakina, A. I. (2017). Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia. 118 SHARE: SOCIAL WORK JURNAL, 7, 71–80.

Shela  Monica.  et  al. (2022). Feminism  Campaign  On  Social  Media:  Analysis  of  Indonesian  Female  Youtuber Movement. Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia, 7(4): 4.984.

Siscawati, Mia; Adelina, Shelly; Eveline, Ruth; and Anggriani, Septiani (2020) “Gender Equality and Women Empowerment in The National Development of Indonesia,” Journal of Strategic and Global Studies: Vol. 2 : No. 2 , Article 3. DOI: 10.7454/jsgs.v2i2.1021

Suhada, D. N. (2021). Feminisme dalam Dinamika Perjuangan Gender di Indonesia. Indonesian Journal of Sociology, Education, and Development, 3(1), 15-27. https://doi.org/10.52483/ijsed.v3i1.42

Sultana, A. (2012). Patriarchy and Women’s Subordination: A Theoretical Analysis. Arts Faculty Journal, 4, 1–18.

Tirto.id (2021). Male Gaze, Masalah SineBro yang Gak Selesai-Selesai. Retrieved from Tirto.id.: https://tirto.id/male-gaze-masalah-sinebro-yang-gak-selesai-selesai-gjgX

Tirto.id (2021). Survei Feminisme: Tolak Label Feminis, tapi Mendukung Isu Perempuan. Retrieved from Tirto.id: https://tirto.id/survei-feminisme-tolak-label-feminis-tapi-mendukung-isu-perempuan-ggLF

Voice of Indonesia. (2021). Understanding Patriarchal Culture And Examples In Indonesia. Retrieved from VOI: https://voi.id/en/lifestyle/103783/understanding-patriarchal-culture-and-examples-in-indonesia

Wayan, I. Y. K. & Nyoman, S. (2020). Women and Cultural Patriarchy in Politics. Budapest International Research and Critics-Institute (BIRCI) Journal, 3, 2158–2164.

WEF. 2006-2022. Global Gender Gap Report.

Weiss, I. (2018.) Feminism through the male perspective. Retrieved from The Standard: https://standard.asl.org/11036/features/feminism-through-the-male-perspective/

Wijanarko, Fajar. 2017. Gender dan Domestikasi Perempuan (Pendekatan Kodikologi Visual Naskah Dewi Mutasiyah). Buana Gender. 2(2): 123.  DOI: https://doi.org/10.22515/bg.v2i2.987

_______,  Saskia  E., Kuntilanak  Wangi: Organisasi-Organisasi  Perempuan

Windy, Elisabeth., Bajari, Atwar. 2019. Representasi Male Feminist oleh Aliansi Laki-laki Baru di Media Sosial (Studi Etnografi Virtual Laki-laki Feminis oleh Aliansi Laki-laki Baru di Twitter @lakilakibaru). Linimasa: Jurnal Ilmu Komunikasi, 2(2): 5. DOI: https://doi.org/10.23969/linimasa.v2i2.1685