Author: Adena Laksita Paramesti, Jeremy Nathanael Zefanya, Bahira Berliani, Devin Nuranggaputra Ramadhani
Abstrak
Pendidikan dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang erat. Kualitas pendidikan yang baik dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja, mendorong inovasi, dan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Tulisan ini membahas tentang hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kualitas pendidikan di Indonesia, serta mengkaji isu-isu yang menghambat kualitas pendidikan di Indonesia. Singapura dan Vietnam dijadikan sebagai benchmark untuk menunjukkan bahwa dengan fokus pada pengembangan SDM melalui pendidikan berkualitas, negara-negara tersebut dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Meningkatkan kualitas pendidikan adalah kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan belajar dari negara-negara seperti Singapura dan Vietnam, Indonesia dapat merumuskan kebijakan yang tepat untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Kata Kunci: Pertumbuhan ekonomi, Kualitas pendidikan, Indonesia, Singapura, Vietnam, PISA, Kesenjangan, Politik, Infrastruktur, Budaya, Guru, Indeks kualitas pendidikan, Pendidikan vokasi.
Pendahuluan
A. Overview Kualitas Pendidikan Indonesia
Pendidikan merupakan elemen penting yang harus di prioritaskan dalam sebuah negara sesuai dengan amanat Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Hal tersebut berkaitan dengan hak asasi manusia (HAM) dan perkembangan sumber daya manusia untuk masa depan dalam memenuhi permintaan pasar tenaga kerja baik nasional, maupun internasional (Sibuea, 2020). Namun, dengan kualitas tenaga kerja yang rendah, efisiensi dalam memanfaatkan sumber daya alam akan berkurang. Hal ini menjadi dilema utama dalam negara Indonesia. Negara yang kaya akan sumber daya alam, tetapi kualitas sumber daya manusia dalam beberapa dekade terakhir patut dipertanyakan. Pendidikan yang tidak memadai bisa menjadi akar problematika kualitas sumber daya manusia yang berdampak pada perekonomian kita
Dalam mengevaluasi kondisi pendidikan suatu negara, terdapat berbagai parameter yang digunakan oleh lembaga internasional. Salah satu ujian evaluasi yang menjadi acuan penting adalah Programme for International Student Assessment (PISA). PISA merupakan asesmen yang dilaksanakan oleh Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), yang memeriksa keterampilan siswa dalam tiga aspek utama: matematika, membaca, dan sains. Ujian ini diikuti oleh peserta berusia 15 tahun dari berbagai negara di seluruh dunia.
Partisipasi dalam asesmen PISA memberikan gambaran yang sangat berharga tentang kualitas pendidikan suatu negara. Data yang dihasilkan tidak hanya memberikan pemahaman tentang prestasi akademik siswa, tetapi juga mengungkapkan kekuatan dan kelemahan sistem pendidikan, serta faktor-faktor yang mempengaruhi hasil pendidikan. Indonesia telah menjadi salah satu peserta aktif dalam asesmen PISA sejak tahun 2000. Partisipasi ini memungkinkan pemerintah dan pemangku kepentingan pendidikan di Indonesia untuk mengevaluasi perkembangan pendidikan negara tersebut dalam konteks global. Hasil PISA juga dapat menjadi dasar untuk menyusun kebijakan pendidikan yang lebih efektif, serta mengidentifikasi area-area di mana perbaikan diperlukan.
Dengan lebih dari 70 negara yang terlibat dalam asesmen PISA, Indonesia memiliki kesempatan untuk membandingkan kinerja pendidikannya dengan negara-negara lain. Hal ini membantu pemerintah dan pembuat kebijakan untuk mengidentifikasi strategi terbaik dalam meningkatkan mutu pendidikan dan mempersiapkan generasi muda Indonesia untuk bersaing secara global dalam berbagai bidang.
Figur 1. Perbandingan Skor Pisa Indonesia (2006-2022)
Sumber: Goodstats.com (2023), (diolah penulis)
Berdasarkan Figur 1, dapat diamati bahwa rata-rata hasil PISA Indonesia menunjukkan kecenderungan fluktuatif namun stagnan dalam rentang waktu 2 dekade terakhir. Meskipun terdapat variasi dalam hasil-hasil tersebut dari waktu ke waktu, namun secara keseluruhan tidak terjadi perkembangan yang signifikan. Bahkan, analisis data menunjukkan bahwa pada tahun 2022, rata-rata skor PISA Indonesia mengalami penurunan yang mencolok di semua aspek yang diukur, yaitu matematika, membaca, dan sains. Bahkan Indonesia memiliki hasil PISA dibawah rata-rata seluruh negara yang berpartisipasi di dalam PISA (OECD, 2018)
Penurunan ini menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan pemangku kepentingan pendidikan di Indonesia, karena menandakan adanya tantangan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap penurunan ini dapat meliputi kurangnya investasi dalam pembangunan infrastruktur pendidikan, kekurangan sumber daya manusia yang berkualitas dalam sistem pendidikan, kurangnya akses terhadap pendidikan berkualitas bagi semua lapisan masyarakat yang menyebabkan rendahnya kualitas murid (Fajri, I., & Afriansyah, H, 2019)
Berkaca pada hasil PISA, perlu pemahaman terkait pendidikan Indonesia secara umum melalui beberapa indikator-indikator, pemahaman terkait dengan kondisi pendidikan Indonesia dapat membantu dalam menemukan benang merah penyebab rendahnya kualitas pendidikan Indonesia, atau lebih spesifik terkait dengan hasil PISA Indonesia
Tabel 1. Overview Pendidikan Indonesia 2022
Sumber: Badan Pusat Statistik (2022), Statistia.com (2022) (diolah penulis)
Berdasarkan Tabel 1, Indonesia memiliki tingkat partisipasi sekolah usia dini yang rendah. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ansari et al (2019), ditemukan bahwa terdapat bukti lebih lanjut bahwa anak-anak yang mengikuti PAUD pada usia 3 tahun memasuki tahun pra-K lebih siap secara akademis. Selain itu, rasio guru terhadap murid juga menunjukkan kondisi yang rendah dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, antara lain Singapura yang memiliki rasio perbandingan 12:1
Tentu pemerintah sudah melakukan berbagai upaya dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Pendidikan di Indonesia tidak berkembang menjadi seperti sekarang ini tanpa melalui perjalanan yang panjang, dan hal ini merupakan hasil dari proses, pergerakan, dan perkembangan yang berkesinambungan dan telah ditentukan sebelumnya.(Sibuea, 2020). Meskipun adanya reformasi terus-menerus, tidak dapat disimpulkan bahwa adanya peningkatan dari setiap transformasi perubahan pendidikan yang terjadi. Dari data yang dikumpulkan, cukup mewakilkan bahwa Indonesia memiliki beberapa indikator kualitas pendidikan yang rendah. Hal tersebut perlu menjadi pertimbangan dalam memberikan efeknya terhadap perekonomian Indonesia.
B. Hubungan Kualitas Pendidikan terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Kualitas pendidikan erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi melalui faktor produktivitas tenaga kerja. Secara teori, produktivitas tenaga kerja dilihat dari jumlah barang atau jasa yang dapat dihasilkan setiap unit tenaga kerja. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi pekerja adalah pendidikan sebab mengarah pada penciptaan teknologi dan inovasi baru. Susanto (2019) menemukan bahwa mengembangkan infrastruktur pendidikan dapat meningkatkan tingkat produktivitas pekerja di Yogyakarta. Benos dan Karagiannis (2016) juga menemukan pengaruh positif antara kualitas pendidikan terhadap produktivitas pekerja di Yunani dengan menggunakan indikator rasio murid terhadap guru, angka putus sekolah, tingkat keberhasilan dalam ujian ke pendidikan tinggi, dan paten.
Usaha pemerintah memajukan kualitas pendidikan menunjukkan tren yang konstan selama hampir dua dekade terakhir. Data World Bank menunjukkan rasio pengeluaran negara untuk pendidikan terhadap PDB berada di rentang angka 2.5 sampai 3.6 sejak 2001 hingga 2021. Rasio murid dengan guru menunjukkan tren penurunan dari 22 pada 1998 menjadi 17 murid per guru pada 2018. Disaat yang sama, berdasarkan data International Labour Organization (2023), produktivitas tenaga kerja Indonesia masih berada di peringkat 110 dari 189 negara dengan $14 Produk Domestik Bruto (PDB) per jam kerja. Ditambah, pertumbuhan ekonomi relatif stagnan dikisaran 5%. Bukti empiris ini menjadi sinyal urgensi penguatan kualitas pendidikan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
C. Sejarah Institusi Pendidikan Indonesia
Sejarah sistem pendidikan Indonesia kontemporer mencerminkan dinamika kuat antara institusi pendidikan dan konteks sosial di sekitarnya. Selama masa Orde Lama dan Orde Baru, institusi pendidikan dipengaruhi secara kuat oleh kebijakan pemerintah yang bertujuan mengukuhkan kekuasaan politik, dengan penekanan pada nilai-nilai ideologis tertentu. Namun, pada masa reformasi, institusi pendidikan mengalami perubahan signifikan sebagai respons terhadap tuntutan masyarakat akan demokratisasi dan peningkatan akses pendidikan. Dengan menelaah sejarah institusi pendidikan Indonesia, kita dapat melihat bagaimana dinamika antara institusi pendidikan dan konteks sosial telah membentuk perkembangan sistem pendidikan Indonesia sepanjang sejarahnya.
Pada periode antara 1950-1966, fokus utama adalah pendidikan nasional di Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dibentuk setelah KMB pada 1949. UUD RIS mengatur hak pendidikan setiap warga negara, kebebasan memilih pengajaran, dan kebebasan mengajar dengan pengawasan penguasa. Undang-Undang No. 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan di seluruh Indonesia menjadi penting dalam periode ini. Ini memuat tujuan dan dasar pendidikan nasional (Hartono, 2016). Meskipun terbatas, pendidikan nasional dilaksanakan sesuai UUD 1945. Pada masa ini, pendidikan dimasuki oleh politik praktis dan indoktrinasi untuk mempertahankan kekuasaan orde lama. Siswa dan guru dituntut disiplin tinggi, dengan citra guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang dikembangkan pada masa orde lama. (Fadli & Kumalasari, 2019)
Kebijakan pendidikan tinggi termasuk mendirikan universitas di setiap provinsi, meskipun mutu pendidikan tinggi di luar Pulau Jawa mulai menurun karena kurangnya persiapan dosen dan sarana. Pendidikan dalam era orde lama didasarkan pada prinsip sosialisme di mana pendidikan dianggap hak semua kelompok masyarakat tanpa memandang kelas sosial. Manipol dan USDEK–singkatan dari UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia–mempengaruhi kebijakan pendidikan nasional, dengan tujuan pendidikan nasional sesuai dengan prinsip sosialisme Indonesia (Zulkarnain, 2017).
Sapta Usaha Tama dan Pancawardhana adalah salah satu kebijakan penting dalam perkembangan pendidikan nasional, menekankan kesenian, olahraga, koperasi, dan pengembangan moral serta kecerdasan. Sistem pendidikan orde lama didasarkan pada undang-undang tertentu, termasuk Undang-Undang Pokok Pendidikan No. 4 tahun 1950, Undang-Undang No. 2 tahun 1962 tentang Perguruan Tinggi, dan Penetapan Presiden No. 5 tahun 1965. Stabilitas politik pada masa itu dipengaruhi oleh sistem parlemen yang sulit bekerja sama, yang akhirnya mengakibatkan Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 untuk membubarkan parlemen dan kembali ke UUD 1945 (Ningsih, 2016).
Salah satu transformasi pendidikan yang paling mencolok di Orde Baru adalah penerapan kewajiban belajar selama enam tahun bagi anak-anak usia 7-12 tahun (Junaidi, 2020). Langkah ini secara positif meningkatkan kesempatan akses pendidikan bagi masyarakat Indonesia sebab memastikan lebih banyak anak memiliki akses ke pendidikan dasar. Hal ini bisa dilihat dari tingkat partisipasi sekolah yang naik dari 70 persen pada tahun 1971 menjadi 92 persen setahun sebelum Orde Baru jatuh pada tahun 1997 (World Bank, 2018).
Walaupun terjadi peningkatan dalam akses pendidikan, dampak negatif juga muncul akibat sistem otoriter yang mengatur pendidikan pada masa Orde Baru. Pendidikan tidak hanya menjadi sarana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga digunakan sebagai alat untuk memastikan ketaatan politik terhadap pemerintah. Praktik indoktrinasi yang luas menunjukkan bahwa gagasan-gagasan politik Orde Baru ditanamkan dalam kurikulum pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi (Kusmawati et al, 2023).
Tidak hanya itu, perubahan dalam kurikulum mencerminkan orientasi politik pemerintah pada masa tersebut. Kurikulum pada masa Orde Baru, seperti Kurikulum 1968, 1975, 1984, dan 1994, menekankan pembentukan karakter siswa sesuai dengan kepentingan politik dan ideologi pemerintah. Fakta ini mengakibatkan penekanan yang lebih rendah pada kebebasan berpikir dan aspek afektif serta psikomotorik dalam pendidikan (Hudaidah, 2020).
Meskipun upaya dilakukan untuk meningkatkan akses pendidikan dasar, ada tantangan dalam menerapkan sistem pendidikan pada masa Orde Baru. Dominasi politik dan praktik indoktrinasi mengarah pada fokus pendidikan yang lebih pada pengembangan kesetiaan politik daripada pada pengembangan individu yang kritis dan kreatif. Akibatnya, tujuan pendidikan pada masa Orde Baru tidak selalu berpusat pada peningkatan kualitas sumber daya manusia secara menyeluruh (Hardika & Maunah, 2024).
Dalam dinamika perubahan kurikulum di masa Reformasi, tantangan internal dan eksternal menjadi faktor utama yang mempengaruhi penyempurnaan kurikulum. Penyesuaian terhadap perkembangan zaman, jumlah penduduk usia produktif, serta arus globalisasi dan perubahan sosial menjadi pertimbangan penting dalam pengembangan kurikulum. Implementasi kurikulum yang tepat diharapkan pemerintah dari berbagai kabinet presidensial yang berbeda dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan mempersiapkan peserta didik menghadapi tantangan global dan lokal (Triningsih, 2017).
Kurikulum 2004 (KBK), dikenal juga sebagai Kurikulum Berbasis Kompetensi, diperkenalkan di Indonesia sebagai respons terhadap kebijakan desentralisasi pemerintahan. Kebijakan ini menekankan pada peran utama peserta didik dalam proses belajar-mengajar, dengan guru berperan sebagai pendamping yang membimbing mereka dalam eksplorasi pembelajaran. Meskipun dianggap sebagai inovasi, KBK menghadapi beberapa tantangan, seperti kurangnya konsistensi dan kesulitan implementasi, yang menyebabkan penggantian dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada tahun 2006 (Pratama & Zulhijra, 2019) KTSP, sebagai kurikulum yang disesuaikan oleh masing-masing satuan pendidikan, memperhatikan standar kompetensi, kompetensi dasar, standar isi, dan standar kompetensi lulusan. Akan tetapi, masalah muncul dalam implementasi KTSP, seperti kepadatan materi kurikulum, kurangnya basis kompetensi yang kuat, dan kurangnya respons terhadap perubahan sosial. Kurikulum 2013 merupakan langkah penyempurnaan dari KTSP, dengan fokus pada pengembangan sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara seimbang. Ini juga menekankan pembelajaran yang mengembangkan sikap spiritual dan sosial yang sesuai dengan karakteristik peserta didik. Faktor-faktor yang mendorong pengembangan Kurikulum 2013 meliputi tantangan masa depan, kompetensi yang dibutuhkan di masa mendatang, fenomena sosial yang muncul, dan persepsi masyarakat terhadap pendidikan (Maghfuri, 2020).
Metode Penelitian
Kajian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang mencakup studi literatur dan analisis deskriptif atas data-data yang dianggap relevan. Data yang diperoleh penulis adalah jenis data sekunder dari jurnal, arsip perpustakaan, dan data statistik dari instansi terkait. Dalam menganalisis data, penulis menerapkan teknik reduksi data, yaitu memilih, memilah, dan merangkum intisari data yang ditemukan. Kemudian, dilakukan penyajian atau visualisasi data statistik dalam bentuk bagan batang, bagan garis, dan tabel. Terakhir, dilakukan penarikan kesimpulan dari data-data yang disajikan untuk menjawab pertanyaan penelitian.
Pembahasan
A. Landasan Teori
Secara umum, pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai peningkatan kapasitas produksi dan rata-rata standar kehidupan suatu negara yang terjadi dalam jangka waktu lama (Williamson, 2018). Indikator untuk mengukur pertumbuhan suatu ekonomi dilihat dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB) secara jangka panjang. Namun, negara-negara menaruh perhatian lebih utama terhadap pertumbuhan output per capita sebab merefleksikan standar hidup warga negaranya (Samuelson & Nordhaus, 2001). Seiring perubahan zaman, model pengukuran pertumbuhan ekonomi dan argumen pendukungnya terus berkembang sejak abad ke-18 hingga sekarang. Teori-teori pertumbuhan ekonomi yang telah disesuaikan dengan konteks perekonomian saat ini terbagi menjadi dua: teori eksogen dan endogen.
Pada 1956, Robert Solow mengajukan model pertumbuhan ekonomi yang didasarkan atas asumsi produksi agregat neoklasik dengan fungsi: Y= zF(K,N). Model pertumbuhan Solow ini mengatakan produksi (Y) suatu negara bergantung pada fungsi produksi (F) dari input kapital (K) dan tenaga kerja (N) serta total faktor produktivitas (z). Dalam keadaan stabil jangka panjang, pertumbuhan agregat ditentukan oleh faktor pertumbuhan angkatan kerja yang bersifat eksogen atau di luar makroekonomi dengan menganggap savings rate, labor force growth rate, dan total faktor produktivitas konstan. Dengan kata lain, sumber daya manusia (SDM) dianggap eksogen atau faktor yang tidak bisa dikontrol (McMahon, 1999).
Akan tetapi, menurut Williamson (2018), ketergantungan terhadap faktor eksogen menjadi titik lemah sebab tidak menjelaskan kekuatan ekonomi dibalik peningkatan faktor total produktivitas (z). Faktor total produktivitas adalah unsur residual yang menyebabkan produksi output meningkat setelah memperhitungkan faktor agregat input. Faktor ini dapat diinterpretasikan sebagai aktivitas yang responsif terhadap perekonomian. Faktor total produktivitas dapat meliputi cuaca yang mendukung, kebijakan pemerintah yang menguntungkan, program penelitian dan pengembangan oleh perusahaan, serta pendidikan.
Model pertumbuhan Solow berperan sebagai fondasi teori pertumbuhan endogen yang dikembangkan Robert Lucas dan Paul Romer antara 1980-an hingga 1990-an (Dykas, Tokarski, dan Wisla, 2023). Fungsi produksi Lucas menitikberatkan pada kemampuan SDM dan memasukkan variabel teknologi sebagai konstanta tersendiri. Fungsi tersebut didefinisikan sebagai Yt =A(Kt, Ht, Nt)H. Komponennya meliputi Y = output, K = kapital fisik, = proporsi waktu pekerja untuk bekerja, H= SDM yang terlibat dalam perusahaan sebagai hasil investasi pada pendidikan dan pelatihan kerja, N = jumlah pekerja, H = rata-rata level SDM di masyarakat, dan A = konstanta level teknologi
Figur 2. Hubungan Kapital Pekerja terhadap Pendapatan Per Kapita
Sumber: McMahon (1999), (diolah penulis)
Teori endogen mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat meningkat seiring perkembangan teknologi untuk produksi di suatu negara yang dihasilkan dari pendidikan atau penelitian (Figur 2). Sehingga, dalam teori ini, peran pemerintah dan perusahaan menjadi vital dalam menyediakan pendidikan (schooling) dan pelatihan melalui skema learn by doing untuk meningkatkan keahlian tenaga kerja (Öztürkler & Bozgeyik, 2014).
Kelemahan dari kedua teori makroekonomi tersebut adalah variabel pendidikan, yang diukur dari rata-rata kuantitas tahun bersekolah, tidak memperhitungkan perbedaan kualitas pendidikan. Secara implisit, satu tahun sekolah diasumsikan memberikan peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang sama di berbagai sistem pendidikan. Hal ini tidak sesuai dengan kondisi di dunia nyata, yaitu adanya perbedaan sistem dan kualitas pendidikan lintas negara. Oleh karena itu, efek perbedaan kualitas pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi terabaikan (Hanushek dan Woessmann (2007).
Berbagai sumber literatur menggunakan rasio murid terhadap guru, pengeluaran institusi pendidikan per murid, serta hasil tes ujian terstandarisasi sebagai indikator ukuran kualitas pendidikan. Card dan Krueger (1996) menemukan bahwa setiap 10 persen peningkatan pengeluaran pendidikan berkorelasi dengan 1 hingga 2 persen peningkatan pendapatan murid di kemudian hari. Ketika keterampilan kognitif diperhitungkan melalui hasil tes PISA, PDB per kapita meningkat 2 persen untuk setiap peningkatan 1 standar deviasi skor PISA di antara negara OECD atau Organization for Economic Co-Operation and Development (Hanushek dan Woessmann, 2010).
B. Pentingnya Kualitas Pendidikan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Salah satu cara dalam melihat komitmen pemerintah dalam memprioritaskan pendidikan adalah melalui alokasi anggaran negara. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memiliki peran yang sangat penting dalam menopang pendidikan di Indonesia. Melalui alokasi dana yang disediakan, APBN mendukung berbagai aspek pendidikan. Salah satunya adalah anggaran pendidikan melalui TKDD (Transfer ke Daerah dan Dana Desa). Pada tahun 2021, TKDD dimanfaatkan untuk mendukung program merdeka belajar yang difokuskan pada peningkatan kualitas SDM. Anggaran pendidikan TKDD digunakan untuk mendukung program merdeka belajar yang fokus pada peningkatan kualitas sumber daya manusia Dukungan tersebut meliputi perubahan mekanisme pengusulan dan pelaksanaan DAK kegiatan rehabilitasi sekolah , sehingga pelaksanaan kegiatan tidak lagi dilakukan secara mandiri oleh pihak sekolah, melainkan dari usulan kegiatan hingga pelaksanaannya melibatkan dinas pekerjaan umum (Kemenkeu,2022)
Selain itu, APBN digunakan untuk pengembangan dan penelitian kurikulum, termasuk pengembangan metode pembelajaran yang efektif dan penyempurnaan kurikulum untuk memenuhi kebutuhan saat ini. Pendanaan APBN juga digunakan untuk program pengembangan sumber daya manusia, seperti pelatihan guru dan tenaga kependidikan, serta pemberantasan buta huruf dan pendidikan informal Seiring dengan upaya APBN dalam pengembangan teknologi, APBN juga mendukung pengembangan infrastruktur digital di bidang pendidikan, seperti penyediaan akses internet di sekolah dan pengadaan perangkat lunak dan perangkat keras yang diperlukan untuk mendukung pembelajaran online. Secara keseluruhan, APBN mempunyai peran sentral dalam menjamin pendidikan yang berkualitas dan merata bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia
Figur 3. Anggaran Pendidikan Indonesia 2012-2023
Sumber: Kementerian Keuangan (2023), (diolah penulis)
Berdasarkan Figur 3, Indonesia secara konsisten meningkatkan anggaran untuk pendidikan. Tahun 2023 sendiri mencapai angka tertinggi, yakni sebesar 612,2 triliun rupiah. Menurut Undang Undang (UU) No 20 tahun 2003, diamanatkan bahwa alokasi anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD. Penerapan mandatory spending dalam pendidikan telah dilaksanakan lebih dari satu dekade. Namun, tidak ada bukti signifikan dalam peningkatan kualitas pendidikan Indonesia jika berkaca pada hasil PISA Indonesia setiap tahunnya.
Kualitas pendidikan adalah fondasi utama bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif. Pendidikan memiliki spillover effect, yakni melalui peningkatan kualitas pendidikan, maka akan ada penurunan tingkat kriminalitas, kenaikan tingkat sanitas, dll. Melalui individu yang diberdayakan dengan keterampilan, pengetahuan, dan kreativitas, peningkatan pemberdayaan masyarakat juga diperlukan dalam peningkatan tenaga kerja yang produktif. Ini tidak hanya meningkatkan produktivitas secara keseluruhan, tetapi juga mendorong inovasi yang menjadi kunci dalam menghadapi tantangan ekonomi global. Hal tersebut dibuktikan melalui berbagai model ekonomi yang sudah disebutkan pada pembahasan sebelumnya.
Figur 4. Rata-rata Upah/Gaji Berdasarkan Jenjang Pendidikan
Sumber: Badan Pusat Statistik (2022), (diolah penulis)
Berdasarkan Figur 4, jika dilihat dari sudut pandang individu, semakin tinggi jenjang pendidikan, maka rata-rata upah mereka meningkat. Terutama selisih antara gaji lulusan SMA/SMK dengan lulusan perguruan tinggi yang berada di kisaran 1 juta (Dalam rupiah) Hal tersebut konsisten dari tahun 2021 sampai 2022. Hal tersebut bisa menjadi pertimbangan seseorang dalam menilai manfaat pendidikan dari segi ekonomi individu.
Namun, Investasi dalam pendidikan yang baik tidak hanya berdampak pada tingkat individual, tetapi juga pada tingkat sosial dan ekonomi. Dengan memberikan akses yang lebih luas ke peluang pendidikan dan ekonomi, pendidikan yang berkualitas membantu mengurangi ketimpangan sosial dan ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Melalui berbagai penelitian yang dilakukan dengan menggunakan model ekonomi pada pembahasan sebelumnya, ditemukan bahwa dengan meningkatkan kualitas pendidikan, maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Salah satunya adalah penelitian dilakukan ole Reza & Widodo (2013) yang mengungkapkan bahwa 1% peningkatan kualitas pendidikan, maka akan terjadi pertumbuhan ekonomi sebesar 1.836% .Oleh karena itu, negara-negara yang memberikan prioritas pada pengembangan sistem pendidikan yang kuat memiliki peluang yang lebih baik untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan.
c. Isu yang Menghambat Kualitas Pendidikan
Pendidikan merupakan pilar fundamental bagi kemajuan bangsa. Ibarat sebuah bangunan, pendidikan adalah fondasi yang kokoh untuk membangun generasi penerus yang cerdas, berkarakter, dan siap mengantarkan bangsa menuju masa depan yang gemilang. Namun, ironisnya, kualitas pendidikan di Indonesia masih terbelenggu oleh berbagai faktor, seperti politik, infrastruktur, dan budaya.
- Iklim Politik
Di ranah politik, seringnya perubahan kebijakan tanpa pertimbangan matang dan kesiapan infrastruktur menghambat kemajuan pendidikan. Contohnya, pada tahun 2013, pemerintah meluncurkan Kurikulum 2013 yang kemudian diubah menjadi Kurikulum Merdeka pada tahun 2022. Perubahan yang mendadak ini membuat guru dan sekolah kesulitan beradaptasi dan menyebabkan ketidakstabilan dalam sistem pendidikan. Selain itu, alokasi dana pendidikan yang masih minim, hanya sekitar 20% dari APBN, menunjukkan kurangnya komitmen pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Dana tersebut pun sering digunakan untuk hal-hal non-esensial, seperti pembangunan infrastruktur yang tidak terkait langsung dengan pendidikan. Politik praktis juga masih mewarnai dunia pendidikan, seperti penempatan kepala sekolah dan guru berdasarkan koneksi, bukan kompetensi, yang menghambat kemajuan pendidikan dan memperparah keadaan.
Figur 5. Alokasi Dana Pendidikan dalam APBN (2010-2023)
Sumber: Kementerian Keuangan (2023), (diolah penulis)
Berdasarkan Figur 5, terdapat peningkatan dana yang signifikan dari tahun 2010 hingga 2023, meskipun begitu beberapa tantangan di bawah ini masih belum teratasi.
Pertama, kesenjangan kualitas pendidikan antara daerah terpencil dan perkotaan masih persisten terjadi. Fasilitas pendidikan di daerah terpencil masih jauh tertinggal dan distribusi guru yang tidak merata memperparah situasi. Hal ini menyebabkan anak-anak di daerah terpencil tidak memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Kedua, distribusi guru yang tidak merata juga menjadi hambatan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Guru-guru berkualitas cenderung terkonsentrasi di kota-kota besar, sedangkan daerah terpencil kekurangan guru yang kompeten. Hal ini menyebabkan kualitas pendidikan di daerah terpencil jauh lebih rendah dibandingkan dengan di kota-kota besar
Ketiga, fasilitas pendidikan yang masih belum memadai juga menjadi hambatan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Banyak sekolah di Indonesia masih kekurangan ruang kelas yang layak, buku pelajaran yang memadai, dan akses teknologi informasi. Hal ini menyebabkan proses belajar mengajar tidak optimal dan siswa tidak dapat mencapai potensi mereka sepenuhnya.
- Infrastruktur yang Terbatas
Kesenjangan fasilitas antara sekolah di daerah terpencil dan perkotaan menjadi jurang yang lebar. Contohnya, di daerah terpencil, banyak sekolah yang masih kekurangan ruang kelas yang layak, buku pelajaran yang memadai, dan akses teknologi informasi. Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (kemendikbud) tahun 2021 menunjukkan bahwa masih terdapat 29.946 sekolah dengan ruang kelas yang rusak. Distribusi guru yang tidak merata, dengan minimnya guru berkualitas di daerah terpencil, membuat pendidikan di daerah tersebut tertinggal jauh. Berdasarkan data PISA 2018, skor rata-rata siswa Indonesia di bidang membaca, matematika, dan sains masih di bawah rata-rata OECD. Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang belum mencukupi dan terhambat penyalurannya seringkali terlambat cair dan tidak sesuai dengan kebutuhan sekolah juga menghambat upaya untuk meningkatkan infrastruktur pendidikan.
Figur 6. Persentase Sekolah dengan Fasilitas Memadai (2010-2023)
Sumber: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (2023), (diolah penulis)
Data Kemendikbud tahun 2021 menunjukkan bahwa 94,5% SD, 98,2% SMP, 99,9% SMA, dan 95,1% SMK di Indonesia memiliki fasilitas memadai. Namun, definisi “memadai” dalam data ini perlu dikaji lebih dalam. Fasilitas memadai didefinisikan sebagai sekolah yang memiliki ruang kelas permanen, ruang guru, perpustakaan, toilet, dan laboratorium. Definisi ini tidak memperhitungkan kualitas dan kondisi infrastruktur tersebut. Di balik statistik “memadai” ini, terdapat kenyataan pahit di daerah terpencil. Banyak sekolah di daerah terpencil yang masih kekurangan ruang kelas yang layak. Ruang kelas yang ada seringkali terbuat dari bahan seadanya, bocor, dan tidak memiliki ventilasi yang baik. Kondisi ini tentu tidak kondusif untuk proses belajar mengajar.
Selain itu, distribusi guru yang tidak merata juga memperparah kesenjangan pendidikan. Guru-guru berkualitas cenderung terkonsentrasi di kota-kota besar, sedangkan daerah terpencil kekurangan guru yang kompeten. Hal ini menyebabkan kualitas pendidikan di daerah terpencil jauh lebih rendah dibandingkan dengan di kota-kota besar. Dana BOS yang diharapkan dapat membantu sekolah-sekolah di daerah terpencil untuk meningkatkan infrastrukturnya pun masih memiliki kendala. Dana BOS seringkali terlambat cair dan tidak sesuai dengan kebutuhan sekolah. Hal ini membuat sekolah-sekolah di daerah terpencil kesulitan untuk memperbaiki infrastruktur mereka.
- Infrastruktur yang Terbatas
Rendahnya partisipasi orang tua dalam pendidikan anak menunjukkan kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan. Berdasarkan data BPS tahun 2020, hanya 60,2% orang tua yang sering membantu anaknya belajar di rumah. Anggapan di sebagian masyarakat bahwa pendidikan tidak penting, terutama bagi anak perempuan yang dipandang tidak perlu pendidikan tinggi, memperparah situasi. Kesenjangan gender dalam pendidikan, dengan akses pendidikan yang lebih rendah bagi anak perempuan di daerah terpencil, data UNICEF tahun 2021 menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah SMP untuk anak perempuan di daerah terpencil 10% lebih rendah dibandingkan anak laki-laki, menjadi bukti nyata diskriminasi yang masih terjadi.
Figur 7. Persentase Partisipasi Sekolah SMP menurut Jenis Kelamin dan Wilayah
Sumber: Badan Pusat Statistik, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, United Nations Children’s Fund, (diolah penulis)
D. Tolak Ukur Sistem Pendidikan di Asia
- Singapura
Memilih Singapura sebagai benchmark pendidikan dibanding Indonesia memiliki beberapa alasan yang kuat. Pertama, Singapura dikenal secara luas sebagai salah satu sistem pendidikan terbaik di dunia dengan pencapaian yang konsisten dalam tes internasional seperti PISA dan TIMSS (TIMSS, 2019; OECD, 2022). Sistem pendidikan Singapura menonjol karena fokusnya pada pengembangan keterampilan praktis yang relevan dengan dunia kerja, termasuk pendidikan vokasi yang terintegrasi dengan baik dengan kebutuhan industri. Kedua, pendidikan vokasi sebagai kebijakan unggulan dapat memberikan solusi bagi tantangan lapangan kerja yang dihadapi Indonesia dengan mempersiapkan tenaga kerja yang terampil dan siap pakai, sesuai dengan kebutuhan industri yang berkembang pesat. Dengan mengadopsi pendekatan ini, Indonesia dapat meningkatkan daya saingnya dalam ekonomi global dan mengurangi kesenjangan antara dunia pendidikan dan lapangan kerja. Langkah-langkah yang diambil dalam pelatihan vokasional diakui dengan memenangkan Penghargaan Inovasi Harvard–IBM yang pertama kali diberikan oleh Universitas Harvard (Straits Times, 2007).
Investasi pemerintah Singapura dalam pendidikan vokasional relatif tinggi, seperti yang terlihat dari anggaran per siswa pada tahun 2007. Pengeluaran untuk setiap siswa sekolah dasar, sekolah menengah, politeknik, dan universitas adalah S$5123, S$7234, S$12,510, dan S$19,404, masing-masing. Pengeluaran untuk siswa pendidikan vokasional adalah S$10,343, sekitar 83% dari pengeluaran untuk siswa politeknik (Chew & Chew, 2011). Tingkat pengeluaran yang tinggi ini menunjukkan bahwa pendidikan vokasional di Singapura bukanlah sekadar sesuatu yang diremehkan tetapi merupakan komponen penting dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan vokasional di Singapura dikonsolidasikan di bawah Institut Pendidikan Teknik (ITE).
ITE didirikan sebagai lembaga pendidikan menengah atas pada tahun 1992 dan berada di bawah Kementerian Pendidikan. Sebagai institusi utama untuk pelatihan dan pendidikan vokasional, ITE memberikan sertifikat nasional keterampilan kerja dan industri. Menurut literatur mereka, ITE memainkan peran penting dalam melayani siswa yang cenderung secara teknis dan berusaha untuk melengkapi sistem pendidikan yang lebih luas (ITE, 2009). Pendidikan formal di Singapura dimulai pada usia tujuh tahun ketika seorang anak memasuki enam tahun sekolah dasar, setelah itu anak tersebut melanjutkan ke empat (stream Express) atau lima tahun (‘akademik normal’ atau ‘teknis normal’) sekolah menengah, tergantung pada kecenderungan akademik siswa. Setelah sekolah menengah dan dilengkapi dengan sertifikasi GCE ‘O’ Level, sekitar 25% dari 52.000 siswa di setiap kohort sekolah menengah atas akan mengambil rute akademik ke universitas dengan mendaftar di Junior College selama dua tahun di mana mereka akan lulus dengan GCE ‘A’ Level. Sekitar 40% akan diterima di salah satu dari lima politeknik untuk mendapatkan diploma di mana pembelajaran akademis dilengkapi dengan pelatihan praktis, sementara 10% akan memasuki pasar kerja atau lembaga lainnya. Sisanya, 25% dari kohort ini (atau 13.000 siswa) akan mendaftar di ITE selama dua tahun atau lebih di mana mereka akan menerima berbagai variasi Sertifikat ITE Nasional atau NITEC, tergantung pada persyaratan masuk.
Pendidikan vokasional di Singapura tidak berkembang pesat di bawah pemerintahan kolonial. Pada tahun 1959, ketika Partai Tindakan Rakyat (PAP) berkuasa, hanya ada dua sekolah teknik dan satu institut vokasional yang diwarisi (Law, 2014). Kesadaran yang kuat akan konsekuensi potensial dari pengangguran pemuda dan kebutuhan akan tenaga kerja terampil, serta ketergantungan pada modal manusia mengingat kurangnya sumber daya alam di pulau tersebut, mendorong pemerintah PAP untuk melakukan studi nasional tentang pendidikan teknik dan vokasional pada tahun 1961. Salah satu rekomendasi dari studi ini adalah pembangunan lebih banyak sekolah menengah vokasional, pendirian sekolah teknik tambahan, dan konversi Sekolah Dagang menjadi institut vokasional (Lindberg et al, 2018). Pada tahun 1965, terdapat 72 sekolah vokasional di pulau tersebut dengan laju pembangunan satu sekolah setiap bulan selama PAP berkuasa. Sementara tujuan utama pendidikan vokasional adalah, dan terus menjadi, pelatihan siswa untuk industri, pendidikan vokasional juga memainkan peran ideologis dalam proses pembangunan bangsa selama masa penggabungan negara dengan Malaysia dari tahun 1963 hingga 1965. Seperti seni dan budaya, pendidikan dan pelatihan vokasional dianggap oleh pemerintah PAP berguna dalam membentuk warga negara yang kuat dan bermoral.
1960-an adalah periode dekolonisasi yang mengakibatkan tiba-tiba terbukanya pemerintahan lokal terhadap ekonomi internasional di mana antarmuka yang tajam antara tren pasar global dan angkatan kerja domestik dapat, dalam jangka pendek, meredam seruan kemerdekaan sendiri dan, dalam jangka panjang, menggagalkan proyek nasionalisme Asia yang lebih luas. Memang, kemampuan angkatan kerja lokal untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan pasar global, bebas dari politik komunal dan etnis yang sedang meresahkan baik negara kota maupun pedalaman selama tahun-tahun penggabungan, dianggap sebagai ujian penting dari kemerdekaan sendiri. Bagi pemerintah PAP, urgensi pendidikan vokasional berasal dari tantangan pasar global dan pergeseran dari perlindungan kolonial ke tatanan dunia baru yang sedang terbentuk.
Kompetisi “Top of the Trade” yang diselenggarakan oleh Dewan Sains Singapura memperkuat citra pekerja berkerah biru melalui serangkaian kompetisi televisi dalam berbagai bidang seperti kerajinan kayu, elektronika, otomotif, dan konstruksi bangunan (Dewan Sains Singapura, 1977). Selain itu, pada tahun 1991, Kementerian Pendidikan Singapura mengumumkan kebijakan baru yang mewajibkan setiap siswa menerima minimal 10 tahun pendidikan, termasuk melalui pembentukan kursus tingkat sekolah menengah baru, Normal (Teknik), untuk mempersiapkan siswa yang kurang mampu secara akademis untuk pelatihan vokasional. Sebagai hasilnya, VITB diubah menjadi lembaga pendidikan menengah atas dalam pelatihan teknis dan vokasional, membutuhkan setidaknya 10 tahun pendidikan untuk masuk. Hal ini berujung pada pendirian ITE pada tahun 1992, yang menyediakan berbagai sertifikasi dan menawarkan jalan kemajuan bagi siswa vokasional, sejalan dengan ethos pengejaran kertas yang lebih luas dalam mendukung mobilitas sosial (Law, 2014).
- Vietnam
Kendatipun tingkat perkembangan ekonominya relatif rendah (PDB per kapita sebesar $2,170 pada tahun 2016), para siswa Vietnam memiliki pencapaian yang lebih baik daripada siswa di negara-negara OECD secara rata-rata dalam PISA. Pada tahun 2012 (partisipasi pertama Vietnam dalam PISA), pemuda Vietnam menempati peringkat ke-8 dalam sains, ke-17 dalam matematika, dan ke-19 dalam membaca dari 65 negara (OECD 2012). Tiga tahun kemudian, pada tahun 2015, Vietnam menempati peringkat ke-8 dalam sains, ke-22 dalam matematika, dan ke-32 dalam membaca dari 72 negara. Skor rata-rata Vietnam untuk sains 32 poin lebih tinggi dari rata-rata OECD—setara dengan sekitar satu tahun sekolah (OECD, 2015). Meskipun cakupan rendah Vietnam terhadap siswa usia 15 tahun dalam PISA mungkin mengakibatkan skor rata-rata nasional yang terlalu tinggi, Vietnam tetap menjadi anomali relatif terhadap PDB per kapitanya ketika mempertimbangkan rendahnya jumlah siswa yang terdaftar (OECD, 2019).
Dengan gagasan bahwa “negara yang buta huruf adalah negara yang lemah,” pada tahun 1945, pemerintah baru Vietnam saat merdeka segera memulai program kelas literasi bagi seluruh penduduk. Sejak saat itu, peningkatan melek huruf dan kualifikasi pendidikan masyarakat telah menjadi prioritas nasional di Vietnam. Komitmen pemerintah untuk meningkatkan pembelajaran masyarakat, bersama dengan pemantauan rutin terhadap reformasi dan penyesuaian kembali kebijakan serta implementasi, telah mendorong ekspansi dan peningkatan berkelanjutan dari sistem pendidikan di Vietnam.
Nilai-nilai yang masyarakat tempatkan pada pendidikan telah diwujudkan dalam tindakan konkret. Untuk memastikan input dasar bagi sekolah-sekolah, Kementerian Pendidikan dan Pelatihan (MOET) mengembangkan dan memantau standar minimum untuk fasilitas fisik, organisasi dan manajemen sekolah, materi pengajaran dan dukungan guru, serta hubungan sekolah-orang tua melalui program Tingkat Kualitas Sekolah Dasar yang Mendasar. Seiring berjalannya waktu, program ini digunakan untuk membuat indeks input yang tidak hanya digunakan untuk memantau kemajuan tetapi juga untuk menilai apakah input tersebut menghasilkan pembelajaran (Le et al, 2022).
Vietnam telah konsisten dalam pengeluaran tinggi untuk pendidikan dan selalu memberikan prioritas pada investasi dalam pendidikan dasar dan melek huruf dasar. Investasi ini memberikan hasil yang memuaskan mengingat tingkat pengembalian keseluruhan untuk pendidikan di Vietnam lebih tinggi daripada sebagian besar negara di wilayah tersebut. Pada tahun 2002, pemerintah menghabiskan 3,9 persen dari PDB untuk pendidikan, lalu meningkat menjadi 6,3 persen pada tahun 2014. Pada tahun 2012, 14,3 persen dari belanja pendidikan dialokasikan untuk pendidikan pra-sekolah dan 50,4 persen untuk pendidikan dasar dan menengah rendah (World Bank, 2021). Bahkan ketika pemerintah menghadapi keterbatasan anggaran yang parah pada pertengahan 1980-an dan memperkenalkan biaya sekolah bagi pendidikan menengah, pendidikan dasar tetap gratis (Hang et al, 2022).
Pemerintah Vietnam menetapkan kebijakan pendidikan dasar wajib selama lima tahun secara universal pada tahun 1991 yang sepenuhnya tercapai pada tahun 2000. Pemerintah mulai memperluas pendidikan dasar dari sekolah setengah hari menjadi sekolah sehari penuh pada tahun 2008. Pada tahun 2016, 74 persen sekolah dasar menawarkan sekolah sehari penuh. Pada tahun 2013, pemerintah memutuskan untuk memperluas pendidikan wajib menjadi empat tahun pendidikan menengah rendah setelah tahun 2020.
Penghargaan terhadap pembelajaran dan guru adalah nilai-nilai tradisional masyarakat Vietnam. Selama berabad-abad, persepsi di kalangan intelektual dalam masyarakat Vietnam adalah bahwa posisi seorang guru lebih tinggi daripada orang tua dan hanya lebih rendah dari raja. Status sosial guru yang tinggi ini telah membantu menarik guru-guru berkualifikasi (Dang & Glewwe, 2017).
Pemerintah Vietnam juga telah menerapkan kebijakan untuk menarik dan mendukung guru-guru berkualifikasi. Para peserta pelatihan di lembaga pendidikan guru dibebaskan dari biaya kuliah dan diberi prioritas beasiswa. Ada harapan yang jelas bagi para guru dan mereka secara berkala dievaluasi dan diberikan umpan balik yang konstruktif. Para guru menerima tunjangan dan imbalan preferensial lainnya saat bekerja di daerah dengan kesulitan sosial ekonomi ekstrem, di sekolah-sekolah khusus, di sekolah bagi siswa berbakat, di sekolah asrama untuk minoritas etnis, dan di sekolah untuk siswa dengan disabilitas. Para guru diwajibkan untuk menyelesaikan 120 jam pengembangan profesional berkelanjutan yang disediakan oleh pemerintah setiap tahun. Pengembangan profesional ini melibatkan kegiatan kolaboratif dan berbasis praktik. Para guru diberi akses ke sumber daya online di mana lebih dari 5.000 kuliah berkualitas secara teratur diperbarui. Klaster guru memainkan peran penting dalam mendukung pengembangan profesional bagi guru-guru pendidikan anak usia dini dan dalam memperkenalkan teknik pengajaran baru (Nguyen et al, 2020).
Selama dua dekade terakhir, pemerintah Vietnam berfokus pada investasi dalam pendidikan prasekolah. Pada awal tahun 2000-an, setiap desa diwajibkan memiliki setidaknya satu taman kanak-kanak dan pemerintah sepenuhnya mensubsidi taman kanak-kanak negeri di desa-desa yang kurang beruntung dari anggaran negara. Kementerian Pendidikan dan Pelatihan (MOET), bekerja sama dengan United Nations Children’s Fund (UNICEF), melaksanakan program pendidikan dwibahasa berbasis bahasa ibu untuk sekolah-sekolah dengan jumlah etnis minoritas yang besar. Untuk meningkatkan aksesibilitas pada pendidikan anak usia dini atau Early Childhood Care and Education (ECCE), pemerintah juga mendorong partisipasi masyarakat dan sektor swasta dalam penyediaan layanan ECCE. Unit ECCE swasta menikmati insentif keuangan seperti subsidi tanah dan fasilitas fisik. Penduduk di masyarakat berkontribusi pada biaya operasional, sementara pemerintah daerah bertanggung jawab untuk memberikan bantuan terkait sumber daya. Dalam Undang-Undang Pendidikan 2009, pemerintah bertujuan untuk mencapai pendidikan prasekolah universal bagi anak usia lima tahun. Pada tahun 2017, negara ini berhasil mencapai tujuan memberikan akses kepada semua anak usia lima tahun untuk mendapatkan pendidikan prasekolah. Keberhasilan ini sebagian besar karena pengeluaran yang ditargetkan oleh pemerintah pada pendidikan prasekolah (OECD, 2017).
Prestasi-prestasi di bidang pendidikan ini tidak hanya mencerminkan komitmen pemerintah dalam meningkatkan pendidikan, tetapi juga menunjukkan nilai-nilai tradisional masyarakat Vietnam yang menghargai pembelajaran dan guru. Investasi yang signifikan dalam pendidikan dasar, melek huruf, dan pendidikan prasekolah telah menjadi landasan bagi kesuksesan pendidikan di negara ini. Kebijakan yang berfokus pada meningkatkan aksesibilitas, kualitas, dan profesionalisme guru, serta pendanaan yang terukur dalam bidang pendidikan, telah memperkuat posisi Vietnam sebagai salah satu pemimpin dalam pendidikan di kawasan Asia Tenggara.
Rekomendasi dan Kesimpulan
Sumber daya manusia (SDM) adalah salah satu faktor yang menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara sesuai teori para makroekonom. Oleh karena itu, institusi pendidikan menjadi titik krusial sebab disitulah awal proses pengembangan dan penentu kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan. Tren penurunan nilai Programme for International Student Assessment (PISA) sejak 2006 hingga 2022 menjadi sinyal penurunan kualitas pendidikan di Indonesia. Produktivitas pekerja Indonesia, berdasarkan data International Labour Organization, pun menunjukkan tingkat yang rendah di peringkat 110 dari 189 negara. Kondisi ini menunjukkan urgensi dibutuhkannya penguatan kualitas pendidikan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Walaupun tingkat pendidikan di Indonesia telah mengalami kemajuan yang signifikan selama tujuh dekade terakhir, setidaknya tiga masalah utama masih menghambat sektor pendidikan. Pertama, iklim politik dan sistem pemerintah dinilai belum berhasil mengoptimalkan kualitas sistem pendidikan nasional. Kedua, infrastruktur belum terdistribusi secara merata dan kurang memadai meskipun pendanaan APBN untuk pendidikan terus meningkat. Terakhir, budaya sosial sebagian masyarakat masih menganggap pendidikan berkualitas tidak esensial.
Berefleksi pada sistem pendidikan yang dilaksanakan negara-negara di Asia, terdapat tiga hal yang dapat diterapkan di Indonesia. Pertama, kesejahteraan dan kualifikasi guru perlu lebih didukung baik secara finansial maupun kapabilitasnya memberikan pembelajaran yang berkualitas. Kedua, indeks kualitas pendidikan dapat dikembangkan untuk memonitor dan mengevaluasi kinerja sektor tersebut dari sisi input, seperti materi pengajaran, fasilitas, dan proses pengajaran guru. Terakhir, menekankan pendidikan vokasi untuk memberikan sumber daya manusia dengan keahlian atau keterampilan khusus sesuai kebutuhan pasar. Langkah-langkah ini dapat meningkatkan kualitas pendidikan serta sumber daya manusia yang dihasilkan dan menguatkan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.
Daftar Pustaka
Benos, N., & Karagiannis, S. (2016). Do education quality and spillovers matter? Evidence on human capital and productivity in Greece. Economic Modeling, 54, 563-573. https://doi.org/10.1016/j.econmod.2016.01.015
Card, D., & Krueger, A.B. (1996). LABOR MARKET EFFECTS OF SCHOOL QUALITY: THEORY AND EVIDENCE. (National Bureau of Economic Research Working Paper 5450). https://www.nber.org/system/files/working_papers/w5450/w5450.pdf
Dykas, P., Tokarski, T., & Wisla, R. (2023). The Solow Model of Economic Growth Application to Contemporary Macroeconomic Issues. New York: Routledge. https://ruj.uj.edu.pl/xmlui/bitstream/handle/item/303373/dykas_tokarski_wisla_the_solow_model_of_economic_growth_2023.pdf?sequence=1&isAllowed=y
Hanushek, E.A, & Woesmann, L. (2010). Education and Economic Growth. International Encyclopedia of Education, 2, pp. 245-252. https://hanushek.stanford.edu/sites/default/files/publications/Hanushek%2BWoessmann%202010%20IntEncEduc%202.pdf
Hanushek, E.A, & Woesmann, L. (2007). The Role of Education Quality in Economic Growth. (World Bank Policy Research Working Paper 4122). https://documents1.worldbank.org/curated/en/260461468324885735/pdf/wps4122.pdf
McMahon, Walter W. (1999). Education and Development: Measuring the Social Benefits. Oxford University Press.
Öztürkler, H. & Bozgeyik, Y. (2014). WHAT IS ENDOGENOUS IN ENDOGENOUS GROWTH MODEL?. Journal of Dicle University Faculty of Economics and Administrative Sciences, (30-37). https://dergipark.org.tr/tr/download/article-file/370694#:~:text=Lucas(1988)%20suggested%20that%20technical,learning%2Dby%2Ddoing.
Susanto, J., & Udjianto, D. W. (2020). Education Spillovers and Labor Productivity Convergence In Yogyakarta Special Region and Central Java. Proceeding UII-ICABE, 1(1), 33–40. Retrieved from https://journal.uii.ac.id/icabe/article/view/14692
Williamson, S.D. (2018). Macroeconomics (6th ed). United Kingdom: Pearson.
Ansari, A., Pianta, R. C., Whittaker, J. V., Vitiello, V. E., & Ruzek, E. A. (2019). Starting Early: The Benefits of Attending Early Childhood Education Programs at Age 3. American Educational Research Journal, 56(4), 000283121881773. https://doi.org/10.3102/0002831218817737
Ihsanul Fajri, & Hade Afriansyah. (2019). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia. INA-Rxiv (OSF Preprints). https://doi.org/10.31227/osf.io/3a6qj
Indonesia, B.-S. (2022). Completion Rate by Educational Level and Province – Statistical Data. Www.bps.go.id. https://www.bps.go.id/en/statistics-table/2/MTk4MCMy/completion-rate-by-educational-level-and-province.html
Indonesia: education completion rate by education level and gender 2021. (2022). Statista. https://www.statista.com/statistics/1259441/indonesia-education-completion-rate-by-education-level-and-gender/
Kurba, M. (2023). MENYOAL ANGGARAN PENDIDIKAN. Kemenkeu.go.id. https://anggaran.kemenkeu.go.id/in/post/menyoal-anggaran-pendidikan
Reza, F., & Widodo, T. (2013). THE IMPACT OF EDUCATION ON ECONOMIC GROWTH IN INDONESIA. Journal of Indonesian Economy and Business (JIEB), 28(1), 23–44. https://doi.org/10.22146/jieb.6228
Sibuea, H. Y. P. (2020). PEMBARUAN SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA: PERKEMBANGAN DAN TANTANGAN (EDUCATION SYSTEM REFORM IN INDONESIA: PROGRESS AND CHALLENGES). Kajian, 22(2), 151–162. https://jurnal.dpr.go.id/index.php/kajian/article/view/1520/788
The Programme for International Student. (2018). https://www.oecd.org/pisa/publications/PISA2018_CN_IDN.pdf