Perang yang terjadi antara Ukraina dan Rusia tidak menjadi sebuah perang yang dilakukan di medan perang saja layaknya perang konvensional. Namun, juga menggunakan cara yang nonkonvensional. Salah satu cara dalam peperangan nonkonvensional adalah dengan menggunakan senjata bernama sanksi. Ini adalah hukuman yang diberikan oleh suatu negara kepada suatu pihak akibat pelanggaran terhadap hukum internasional. Sanksi juga dapat diberikan kepada mereka yang dianggap merugikan kepentingan negara yang memberikan sanksi.
Salah satu pihak yang telah memberikan sanksi kepada Rusia pada tahun 2014 adalah Uni Eropa (Council of the European Union, 2024). Sanksi yang diberikan kepada Rusia memiliki beberapa tujuan, salah satunya adalah mengurangi kemampuan Rusia untuk membuat senjata yang canggih (U.S. Department of State, 2022). Selain menyasar Rusia secara umum, sanksi juga menyasar perusahaan hingga anggota pemerintahan Rusia. Selain pihak-pihak yang terkait dengan pemerintah Rusia, terdapat sekelompok orang yang terkena dampak dari sanksi ini. Mereka disebut sebagai Oligarki Rusia atau Russian Oligarch.
Lalu, apa itu Oligarki. Menurut definisi dari KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Oligarki adalah pemerintahan yang dijalankan beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu. Definisi ini sebenarnya sama dengan apa yang disampaikan oleh Plato dalam Republic dan Aristotle dalam politik. Namun, perlu untuk diingat bahwa definisi mengenai suatu hal dalam konteks ini “Oligarki” tidak sama antara satu negara dengan negara lainnya. Maka dari itu perlu untuk melihat konteks pada Rusia. Menurut Sergei Guriev and Andrei Rachinsky Oligarki di Rusia memiliki arti sebagai sekelompok orang yang mengontrol sumber sumber daya yang cukup untuk mempengaruhi politik nasional. Setelah definisi ini, pertanyaan yang selanjutnya adalah bagaimana Oligarki ini muncul.
Kejatuhan Uni Soviet dan Oligarki
Kemunculan Oligarki dimulai dengan bubarnya sebuah negara yang disebut sebagai Uni Soviet. Uni Soviet sendiri adalah gabungan dari 15 Republik yang disebut sebagai Soviet Socialist Republik (Dewdney et al., 2018). Banyak orang mengasosiasikan Uni Soviet sebagai Rusia. Ini tidak sepenuhnya salah, pasalnya wilayah Uni Soviet merupakan suksesor dari Kekaisaran Rusia yang runtuh setelah adanya revolusi tahun 1917 (The Editors of Encyclopedia Britannica, 2024) . Namun, perlu untuk diingat bahwa Uni Soviet bukan hanya terdiri dari Rusia. Melainkan Rusia menjadi salah satu Republik dari Uni Soviet. Terdapat beberapa Republik yang kini berubah menjadi negara setelah pecahnya Uni Soviet, seperti misalnya saja Ukraina, Belarusia, Kazakhstan, Lithuania, Georgia dan lain sebagainya. Adanya Republik-Republik ini dalam konteks Indonesia bisa disamakan dengan Provinsi. Namun, dengan otonomi yang lebih besar. Misalnya saja, masing-masing Republik memiliki lagu kebangsaan dan bahasa nasional yang berbeda-beda. Semua Republik Uni Soviet tunduk dan menganut sistem atau paham Komunisme.
Gambar 1. Peta Uni Soviet dan Republik-Republiknya
(Sumber : Encyclopaedia Britannica)
Kejatuhan Uni Soviet mulai terlihat pada tanggal 18 Januari tahun 1991. Di tanggal itu terjadi kudeta yang dilancarkan pada Gorbachev (Pemimpin tertinggi Uni Soviet). Kudeta ini dilakukan oleh para anggota komunis yang anti terhadap kebijakan-kebijakan Gorbachev. Kudeta ini pada awalnya sukses, Gorbachev saat itu berhasil ditangkap dan para pemberontak selama beberapa hari memegang kekuasaan secara efektif di Uni Soviet (The Editors of Encyclopaedia, 2023). Namun, pemberontakan yang mereka lakukan ternyata tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat Uni Soviet. Tentara Uni Soviet pun tidak sepenuhnya setuju untuk melawan para demonstran yang anti terhadap kudeta (Sandford, 2011). Bahkan, Boris Yeltsin yang menjabat sebagai presiden dari Russian Soviet Federative Socialist Republic berdiri di atas sebuah tank dan mengutarakan kekecewaan, mengutuk kudeta dan menyerukan mogok umum (The Editors of Encyclopaedia, 2023).
Gambar 2. Yeltsin berdiri di atas Tank Uni Soviet saat Kudeta Komunis Tahun 1991
(Sumber: Associated Press, 2021)
Dukungan rakyat Uni Soviet yang hampir tidak ada, tentara yang menolak untuk melawan para demonstran menandakan kegagalan plot para pelaku kudeta. Akhirnya kudeta pun gagal pada 21 Agustus 1991 dan Gorbachev kembali menjadi Presiden Uni Soviet. Alih-alih memperkuat Uni Soviet, apa yang dilakukan oleh para pelaku kudeta semakin memperumit upaya Gorbachev untuk mempertahankan union. Retakan-retakan Uni Soviet mulai melebar ditandai dengan Belarus yang menyatakan kemerdekaanya pada tanggal 25 Agustus 1991 (hanya 3 hari setelah berakhirnya kudeta) (Adamovich et al., 2024). Perlahan namun pasti, Uni Soviet mulai ditinggalkan oleh anggotanya. Moldova, negara-negara Baltik, Georgia, Armenia adalah mereka yang meninggalkan Union. Akhirnya pada 8 Desember 1991, republik-republik Uni Soviet secara resmi menyatakan bahwa entitas Uni Soviet sudah tidak ada lagi.
Layaknya sebuah pasangan yang mengalami perceraian atau pembagian harta warisan, pecahnya Uni Soviet tentu menimbulkan keributan tentang siapa yang akan mendapatkan apa. Jika pada kasus keluarga dan pasangan yang diperdebatkan adalah rumah, perhiasan, anak, dan hewan peliharaan, pada kasus pecahnya Uni Soviet yang diperebutkan adalah wilayah, tentara, senjata, perusahaan, Sumber Daya Alam dan lain sebagainya. Perebutan wilayah, tentara, senjata memang menyebabkan konflik berdarah. Namun, perebutan perusahaan dan Sumber Daya Alam lah yang melahirkan oligarki-oligarki. Sebenarnya oligarki bukan sesuatu yang hanya terjadi di Rusia, hal serupa terjadi di Ukraina dan negara bekas Uni Soviet lainnya. Meskipun begitu, pada pembahasan ini akan dibahas secara mendalam tentang Oligarki di Rusia.
Mengapa Rusia memilih Privatisasi?
Umumnya pembagian harta setelah perceraian dan pembagian harta warisan dilakukan melalui mekanisme hukum atau musyawarah, sementara pada kasus Rusia pembagian harta berupa perusahaan terjadi melalui proses yang dinamakan privatisasi. Singkatnya privatisasi adalah perubahan kepemilikan sebuah perusahaan dari awalnya milik negara menjadi pribadi. KBBI sendiri mendefinisikan privatisasi sebagai penjualan sebagian atau seluruh saham perusahaan negara, baik secara langsung ke perusahaan swasta nasional dan asing ataupun melalui mekanisme bursa efek (KBBI, 2016). Salah satu alasan mengapa Rusia melakukan privatisasi adalah inefisiensi. Perusahaan-perusahaan negara memiliki terlalu banyak pekerja, memproduksi barang yang tidak diminta oleh masyarakat, tidak secara efisien menentukan lokasi produksi, dan lain sebagainya (Boycko et al., 1993).
Terdapat beberapa teori yang membuat hal ini terjadi. Salah satunya adalah politikus yang dianggap terlalu ikut campur dalam perusahaan. Pemerintah Komunis misalnya saja sengaja merekrut pekerja dengan jumlah besar agar tidak terjadi kerusuhan akibat tingginya pengangguran (Boycko et al., 1993) . Sebagai gantinya, perusahaan akan mendapatkan “ganti rugi” atas ketidakefisienan ini dalam bentuk subsidi. Bahkan, perusahaan-perusahaan yang dikelola oleh pemerintah Uni Soviet tidak pernah mengalami likuidasi akibat kurangnya uang. Walaupun, perusahaan tersebut tidak menguntungkan sekalipun (Hazard, 1943) .
Pada zaman Leonid Brezhnev, bahkan muncul sebuah ungkapan “we pretend to work and they pretend to pay us” (Rosenblum, 1997). Ini menunjukkan “kongkalikong” antara manajemen perusahaan dan pekerja. Para manajer “membayar” para karyawan dengan upah yang kecil secara nominal (Gerber, 2006). Sementara manajer perusahaan tutup mata akan efisiensi para pekerjanya, sebab mereka telah memenuhi kuota penerimaan pekerja. Tentu saja, subsidi dan perusahaan yang tidak efisien perlu dihilangkan dalam sebuah struktur ekonomi. Maka dari itu, pemerintah Rusia memutuskan untuk melakukan privatisasi. Harapannya tentu terjadi efisiensi pada perusahaan-perusahaan.
Langkah Awal Privatisasi Rusia
Berjalannya privatisasi tentu memerlukan keterlibatan masyarakat. Permasalahan yang terjadi di Rusia adalah masyarakat sangat asing dengan konsep privatisasi dan kepemilikan pribadi. Hal ini bukanlah sesuatu yang mengherankan, paham komunisme yang diadopsi Rusia tidak mengenal sistem kepemilikan pribadi. Sebagai akibatnya ide, paham, ataupun etika bisnis tidak akan berkembang dan justru akan hilang. Goldman pada tahun 1997 menyebutkan bahwa setelah puluhan tahun Komunis berkuasa, tidak ada lagi market ecosystem, legal commercial codes, etika bisnis yang tertulis maupun tidak tertulis. Dia membandingkan dengan negara lain (yang menganut paham komunisme) yaitu Polandia yang masih memiliki sektor komersial (meskipun disebut tidak terlalu vibrant) dan commercial code. Tidak hanya itu saja, masa akhir Uni Soviet disebut-sebut membawa dekadensi moral pada masyarakat Uni Soviet. Masyarakat menganggap mencuri dari negara maupun perusahaan negara sebagai sesuatu yang sah-sah saja.
Menghadapi masalah ini para ekonom di Rusia berusaha untuk menemukan solusi privatisasi yang sesuai dengan kondisi masyarakat Rusia. Alfred Kokh saat itu menjabat sebagai Kepala Federal Agency for State Property Management merumuskan sebuah ide untuk mendistribusikan perusahaan-perusahaan dan properti negara dengan gratis. Nantinya akan ada lembaga memberikan perusahaan tersebut ke semua warga negara. Tanpa mempertimbangkan apakah warga negara ingin atau tidak ingin memiliki perusahaan atau aset negara. Ide ini akhirnya tidak terealisasi.
Gambar 3. Tokoh Privatisasi Rusia Alfred Kokh
(Sokolov, 2021)
Alfred Kokh dalam bukunya yang berjudul The selling of the Soviet empire : politics & economics of Russia’s privatization–revelations of the principal insider menjelaskan bahwa setelah berdiskusi dengan profesornya yang bernama Vitaly Naishul muncul sebuah ide. Naishul menjelaskan bahwa pembagian properti dapat dilakukan dengan sistem voucher atau kupon. Nantinya, kupon ini bisa dibelanjakan dan digunakan untuk berinvestasi pada perusahaan yang para pemegang sukai. Masing-masing voucher akan memiliki nilai sebesar 10,000 rubles. Semua warga negara Rusia, baik laki-laki, perempuan, hingga bayi akan mendapatkan satu voucher tersebut. Diharapkan sistem voucher ini dapat mengakrabkan masyarakat Rusia dengan kepemilikan pribadi. Setelahnya diharapkan masyarakat tidak lagi menggunakan sistem voucher untuk membeli saham. Namun, diharapkan nantinya sudah menggunakan uang. Voucher ini sendiri akan “basi” atau expired pada tahun 1994 Setidaknya itulah ide yang ada dalam pikiran para ekonom-ekonom Rusia.
Gambar 4. Voucher Privatisasi yang Diterbitkan oleh Rusia
(Sumber: Wikimedia Commons, 2022)
Singkatnya sistem ini dapat dijelaskan sebagai berikut : sebuah perusahaan menawarkan 100,000 saham perusahaan. Sementara terdapat 50,000 voucher yang ingin “membeli” saham perusahaan. Maka, seseorang yang memiliki 1 Voucher akan mendapatkan 2 share atau saham dari perusahaan tersebut. Mekanisme penawaran dan pembelian ini diatur oleh State Property Fund. Hasil akhirnya disebut (setidaknya menurut Alfred Kokh) sebuah kesuksesan. Terdapat 40 juta masyarakat Rusia atau sekitar 30% populasi dari penduduk Rusia yang menjadi anggota dari sebuah kelas baru yang disebut sebagai property owners. Serta juga memperkenalkan market economy dan stock market pada masyarakat Rusia.
Selain itu para ekonom juga berusaha sebenarnya sudah melakukan upaya untuk menghindari konsentrasi saham pada golongan tertentu. Mereka membuat kebijakan jika misalnya saja ada perusahaan yang ingin menjual setengah saham perusahaan, perusahaan tersebut perlu untuk mengiklankan di 50 kota (Kokh, 1998). Diharapkan melalui sistem ini banyak orang akan membeli saham di perusahaan tersebut dan nantinya menghindari golongan tertentu menguasai saham pada daerah tersebut.
“Tidak ada program atau kebijakan yang menyenangkan bagi semua pihak” itulah kira-kira istilah yang muncul pada salah satu sesi kelas Ekonomi Pengantar I. Ini adalah prinsip yang dapat diterapkan dalam masa privatisasi Rusia. Tidak semua pihak senang dengan program privatisasi Rusia (utamanya kaum komunis) dan proses privatisasi juga bukan tanpa cela. Salah satu hal yang menjadi permasalahan adalah terkadang privatisasi gagal untuk meningkatkan efisiensi.
Kokh menyebutkan banyak pekerja yang membeli saham perusahaan tempat dia bekerja. Para pekerja ini tentu takut dengan adanya restrukturisasi pada perusahaan mereka. Pasalnya, jika terjadi restrukturisasi terdapat kemungkinan bahwa mereka akan kehilangan pekerjaanya. Ingat bahwa perusahaan negara Uni Soviet terkadang merekrut lebih banyak pekerja daripada yang dibutuhkan. Restrukturisasi sendiri berguna untuk mengefisiensikan perusahaan. Sebagai, akibat dari penolakan pekerja (yang memiliki kuasa perusahaan) terdapat perusahaan yang masih tidak efisien dalam proses operasinya.
Perlu untuk diingat bahwa pernyataan-pernyataan di atas merupakan pernyataan dari mantan pejabat Rusia yang tentunya memiliki kepentingan untuk mempertahankan citranya di depan publik. Maka, sebagai penyeimbang akan juga disertakan pendapat Orlando Figes dalam bukunya yang berjudul the story of russia. Dia menyebutkan bahwa privatisasi melalui Voucher ternyata membingungkan bagi banyak masyarakat Rusia. Mereka tidak paham dengan apa yang harus mereka lakukan pada voucher-voucher ini.
Masyarakat Rusia pun saat itu menghadapi permasalahan berupa meroketnya harga kebutuhan pokok. Kombinasi antara meroketnya harga kebutuhan pokok dan bingungnya masyarakat dalam menggunakan voucher membuat mereka akhirnya menjual voucher. Voucher tersebut dihargai dengan tidak adil. Figes menyebutkan bahwa satu Voucher dihargai dengan satu botol Vodka atau beberapa makanan dalam kaleng. Sebagai akibatnya, mereka yang memiliki dana dan mampu untuk membeli Voucher dari tangan orang Rusia yang kelaparan, mampu menguasai perusahaan.
Hal ini adalah hal yang sangat menyedihkan. Pasalnya hanya dengan satu Voucher seseorang di Rusia dapat merubah hidupnya. Seperti misalnya saja harga perusahaan Gazprom hanya dihargai 228 Juta dollar dengan Voucher. Ini hanya bernilai 0,1 persen dari apa yang dinilai oleh bank-bank yang ada di Barat. Dengan kata lain, satu saham perusahaan Gazprom akan sangat berharga bagi seorang warga Rusia. Harganya pun pasti melebih harga satu botol Vodka atau harga beberapa kaleng makanan. Kegagalan dalam penyampaian program ini menjadi awal dari munculnya oligarki. Namun, apa yang terjadi pada tahap voucher lebih karena kombinasi dari ketidaksengajaan dan kekacauan. Hal ini berbeda dengan skema loan for shares yang nantinnya dibahas secara khusus. Skema ini dianggap dengan sengaja menciptakan Oligarki-Oligarki di Rusia.
Setelah masa Voucher selesai datanglah masa yang disebut sebagai monetary period. Masa ini ditandai dengan saham perusahaan yang tidak lagi dijual melalui voucher. Namun, melalui uang. Pada masa ini sistem harga dari sebuah pasar tidak lagi ditentukan oleh pemerintah. Melainkan, ditentukan oleh pasar. Harga ini disebut oleh Kokh sebagai real price, dimana mekanisme pasar terbuka dan pasar saham lah yang menentukan harga sebuah saham.
Loan For Shares
Kegagalan pemerintah Rusia dalam kebijakannya tentu membuat Yeltsin kehilangan popularitasnya. Pada tahun 1996, popularitas Yeltsin berada dalam tingkat terendah sepanjang sejarah (Braguinsky, 2009). Sebagai akibatnya, terdapat kemungkinan bahwa pemerintah Komunis akan kembali berkuasa di Kremlin. Yeltsin tentu tidak tinggal diam, sebelum pemilu dimulai Yeltsin sudah meminta bantuan para pebisnis. Mereka akan membantu Yeltsin dalam kampanyenya dan sebagai gantinya akan mendapatkan perusahaan-perusahaan. Ini akan dilakukan melalui mekanisme shares to loan. Singkatnya, pemerintah Rusia akan memberikan perusahaan sebagai collateral atau jaminan untuk utang yang diberikan kepada pemerintah (Treisman, 2010).
Tangan para pebisnis sebenarnya terikat dengan mereka menyetujui skema share to loan. Jika Yeltsin kalah, maka besar kemungkinan pemerintah Komunis akan membatalkan skema tersebut dan tidak akan memberikan kompensasi. Sebagai akibatnya, para pebisnis mendanai kampanye besar-besaran di media massa. Beberapa taktik yang mereka gunakan adalah menakut-nakuti masyarakat dengan ancaman kebangkitan dan penderitaan di bawah hidup komunisme. Akhirnya Yeltsin pun memenangkan kampanye di tahun 1996.
Melalui kebijakan loan for shares muncul Oligarki-oligarki yang berkuasa di Rusia. Nama-nama seperti Roman Abramovich, Boris Berezovsky, dan Mikhail Khodorkovsky adalah mereka yang diuntungkan dengan adanya skema loan for shares. Terdapat banyak kritik-kritik yang mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Rusia adalah hal yang curang dan hanya menguntungkan lingkaran terdekat Yeltsin. Hal ini adalah sesuatu yang benar, Braguinsky pada tahun 2009 menyebutkan bahwa para oligarki yang berada di dekat Yeltsin memiliki pengaruh yang luar biasa.
Meskipun hanya menguntungkan lingkaran terdekat Yeltsin, bukan berarti tuduhan yang disampaikan oleh banyak orang sepenuhnya benar mengenai skema ini. Salah satunya adalah anggapan bahwa skema loan for shares menjual perusahaan dengan nilai yang rendah. Terdapat hal yang perlu diperhatikan di sini, bahwa harga perusahaan memang dijual rendah karena resiko yang muncul dari mengikuti skema ini juga besar. Baik secara internal maupun eksternal.
Misalnya saja perusahaan-perusahaan ini masih dikuasai oleh para anggota komunis. Perusahaan ini memiliki utang yang besar. Perusahaan sibneft misalnya saja memiliki utang sebesar 2 Miliar US Dollar (Treisman, 2010). Di sisi eksternal, Jika komunis kembali duduk di Kremlin, sudah pasti tidak akan ada kompensasi atas biaya yang dikeluarkan oleh Oligarki. Harga minyak, dan komoditas yang diproduksi perusahaan pun mengalami fluktuasi (Treisman, 2010). Maka dari itu, harga perusahaan yang rendah sebenarnya adalah kompensasi atas tingginya resiko membeli perusahaan-perusahaan Rusia.
Pengaruh Oligarki terhadap Aspek Ekonomi Rusia
(Sumber: The Role of Oligarchs in Russian Capitalism)
Tabel di atas menunjukkan bahwa perusahaan yang dimiliki oleh oligarki memiliki keunggulan signifikan dalam pertumbuhan produktivitas. Hal ini masuk akal, mengingat para Oligarki ingin menarik para investor. Tentu saja para investor tidak akan mau berinvestasi pada perusahaan yang payah. Hal ini dibuktikan dengan koefisien sebesar 0,08 dan t-statistik 2,32 (signifikan pada tingkat 5%), perusahaan oligarki secara konsisten mampu mencapai tingkat produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk kepemilikan lainnya. Selain itu, pertumbuhan output perusahaan oligarki juga menunjukkan hasil yang serupa dengan koefisien 0,08 dan t-statistik 2,22, yang menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan ini mampu meningkatkan produksi tanpa harus melakukan ekspansi besar-besaran dalam hal tenaga kerja atau modal. Dalam hal pertumbuhan tenaga kerja (log L) dan modal (log K), perusahaan oligarki tidak menunjukkan hubungan yang signifikan, dengan koefisien yang mendekati nol, sepertinya mereka hanya berfokus pada efisiensi internal daripada memperluas aset atau jumlah karyawan.
Terlihat pula pada tabel, perusahaan dengan kepemilikan asing memiliki koefisien 0,11 dan t-statistik 2,01 (signifikan pada tingkat 5%), menunjukkan pertumbuhan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan pemerintah, tapi lebih rendah dibandingkan perusahaan oligarki. Namun, berbeda dengan perusahaan oligarki, perusahaan asing cenderung mengalami penurunan dalam hal pertumbuhan tenaga kerja dan modal. Koefisien negatif pada pertumbuhan tenaga kerja (-0,03) dan modal (0,05) menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan ini lebih fokus pada peningkatan efisiensi penggunaan modal kerja, daripada menambah jumlah tenaga kerja. Ini menunjukkan bahwa perusahaan asing lebih cenderung memanfaatkan teknologi atau praktik manajemen yang lebih modern untuk mendorong produktivitas, meskipun dengan pengurangan adopsi tenaga kerja dan modal.
Tabel juga menunjukkan, perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah, baik di tingkat federal maupun daerah, paling buruk dalam hal pertumbuhan produktivitas. Perusahaan milik pemerintah federal memiliki koefisien produktivitas -0,01, sementara perusahaan daerah mencatatkan angka -0,15, meskipun hasil ini tidak signifikan secara statistik. Pertumbuhan output untuk perusahaan milik pemerintah juga negatif, dengan angka -0,04 untuk perusahaan federal dan -0,20 untuk perusahaan regional.
Perubahan dalam jumlah tenaga kerja memiliki hubungan signifikan dengan pertumbuhan produktivitas, dengan koefisien 0,60 dan t-statistik 7,11. Hal ini berarti peningkatan jumlah labor secara signifikan berkorelasi dengan peningkatan produktivitas perusahaan, terutama di perusahaan yang lebih mengandalkan tenaga kerja untuk meningkatkan output mereka. Sebaliknya, pertumbuhan modal tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap produktivitas. Koefisien untuk perubahan modal hanya 0,05, dengan t-statistik yang rendah (-1,07), menunjukkan bahwa menambah modal tidak kemudian meningkatkan produktivitas perusahaan secara optimal/signifikan.
- Setiap kenaikan jumlah tenaga kerja sebesar 10% akan meningkatkan produktivitas perusahaan sebesar 6% (koefisien 0,60, t-statistik 7,11).
- Kenaikan modal sebesar 10% hanya meningkatkan produktivitas sebesar 0,5% (koefisien 0,05, t-statistik -1,07).
Menghadapi Tantangan Oligarki
Meski oligarki terkesan sulit untuk dihilangkan, namun bukan berarti hal ini tidak dapat dicegah atau diatasi. Seperti halnya Ukraina, Moldova, dan Georgia, oligarki dapat dihadapi dengan melakukan berbagai upaya sistematis yang bertujuan untuk memperkuat institusi negara, menciptakan transparansi, dan menegakkan hukum secara independen (Konończuk, et al., 2017). Konończuk, et al. (2017) juga menjelaskan bahwa terdapat beberapa langkah penting yang diambil oleh Ukraina, Moldova, dan Georgia untuk menghadapi tantangan oligarki:
- Pembangunan Kapasitas Institusi
Negara dengan institusi yang lemah dapat mempermudah oligarki untuk mendominasi sistem politik dan ekonomi. Maka dari itu, salah satu langkah utamanya adalah dengan memperkuat institusi-institusi ini (politik dan ekonomi), terutama pada sektor penegakan hukum. Institusi-institusi tersebut harus terbebas dari pengaruh politik melalui penunjukan pejabat tinggi secara transparan, di bawah pengawasan badan independen. Penting juga untuk meningkatkan pengawasan parlementer terhadap institusi negara.
- Membentuk Badan Anti-Korupsi yang Efektif
Korupsi adalah salah satu alat utama yang digunakan oleh oligarki untuk mempertahankan kekuasaannya. Oleh karena itu, pembentukan lembaga anti-korupsi yang independen sangat penting dalam mengurangi peran oligarki di sektor politik dan ekonomi. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam sistem pemerintahan akan mengurangi risiko korupsi, karena pejabat akan cenderung menahan diri dari menyalahgunakan kekuasaannya ketika mereka tahu bahwa tindakan mereka dapat dengan mudah diawasi oleh masyarakat.
- Pendanaan Partai Politik
Langkah penting lainnya adalah dengan membersihkan partai politik dari kepentingan pribadi dan pengaruh oligarki. Hal ini dapat dilakukan dengan memastikan pendanaan partai politik yang transparan dan diawasi secara ketat. Pendanaan yang berasal dari anggaran negara dapat membantu mengurangi ketergantungan partai politik pada donasi dari oligarki, sehingga mengurangi pengaruh oligarki dalam proses politik.
- Kebijakan Persaingan yang Adil
Untuk mengurangi pengaruh oligarki, penting untuk memperkuat kebijakan persaingan dan memastikan bahwa tidak ada monopoli yang dipegang oleh oligarki.
- Peradilan yang Independen
Pembersihan sistem peradilan yang korup juga harus menjadi salah satu prioritas karena akan mempengaruhi banyak aspek, termasuk melemahkan pengaruh oligarki.
- Media Independen
Oligarki seringkali mengontrol media massa untuk mempertahankan pengaruh politiknya. Oleh karena itu, salah satu cara untuk menghadapi oligarki adalah dengan memperkuat media publik dan membatasi kepemilikan media oleh segelintir orang. Pemerintah dapat memperkenalkan undang-undang yang membatasi konsentrasi kepemilikan media dan memastikan bahwa media memiliki akses bebas untuk melaporkan kebijakan publik dengan transparan.
Kesimpulan
Privatisasi Rusia awalnya adalah sebuah new hope atau harapan baru bagi orang Rusia. Demokratisasi, kesejahteraan, dan kebebasan dalam segala lini hidup menjadi tujuan merdekanya Rusia dari Uni Soviet. Sayangnya, harapan masyarakat Rusia tidak bertahan lama. Privatisasi yang gagal, masalah ekonomi, belum lagi krisis-krisis politik membuat kemerdekaan baru ini terasa menyakitkan. Kegagalan privatisasi Rusia memang sebuah hal yang disayangkan. Banyak orang dengan mudah menunjuk pihak-pihak tertentu sebagai penyebab gagalnya program ini. Mereka yang sering ditunjuk adalah para pelopor privatisasi. Mereka, memang tidak sepenuhnya benar. Dugaan korupsi dan lain sebagainya adalah sesuatu yang tidak dapat dibiarkan. Namun, apa yang mereka lakukan saat itu adalah langkah terbaik dari yang terburuk.
Para peneliti dan kritikus memang dapat mengejek pemerintah Rusia karena terlalu terburu-buru dalam privatisasi. Sayangnya, mereka tidak mempertimbangkan banyak faktor. Seperti misalnya saja, ketakutan pemerintah Rusia akan kembali berkuasanya Komunis. Tidak hanya itu saja, terdapat banyak faktor lain yang diluar dugaan para pelopor privatisasi. Masyarakat yang ternyata masih awam dengan sistem Voucher adalah salah satunya. Ketidakpahaman masyarakat umum ternyata lebih dari prediksi para pelopor. Para peneliti dan kritikus tentu juga dimudahkan (daripada pelopor privatisasi) dengan banyaknya data-data penting yang beredar dan juga “kekayaan” waktu. Hal-hal yang tidak dimiliki oleh para pelopor. Ini sama seperti para pilot yang mereka ulang sesuatu kecelakaan. Seringkali para pilot ini berhasil mencapai sesuatu yang lebih (mengembalikan pesawat ke bandara dengan selamat, dll.) daripada pilot yang terlibat dalam kecelakaan. Keberhasilan pilot-pilot yang mensimulasikan ini bukan karena mereka lebih pintar atau lebih beruntung. Melainkan, karena mereka telah mengetahui apa yang akan terjadi dan bagaimana cara mengatasinya. Jadi daripada saling tunjuk menunjuk, ada baiknya kegagalan privatisasi Rusia menjadi pembelajaran kedepan. Tentu saja, agar proses privatisasi Rusia yang berantakan tidak terulang kembali.
DAFTAR PUSTAKA
References
Adamovich, A., Antony French, R., Ivanovich Rostovtsev, M., R. Marples, D., & The Editors of Encyclopaedia Britannica. (2024, September 17). Belarus – The emergence of the Belorussian Soviet Socialist Republic | Britannica. Www.britannica.com. https://www.britannica.com/place/Belarus/The-emergence-of-the-Belorussian-Soviet-Socialist-Republic
Associated Press. (2021, August 19). AP WAS THERE: 1991 Soviet Coup. AP NEWS. https://apnews.com/article/europe-aaf01f87bfed95e5bfcf23bdb0350085
BKF Kementerian Keuangan. (2021). Badan Kebijakan Fiskal – Reformasi Perpajakan untuk Penciptaan Keadilan, Peningkatan Kepatuhan, dan Penguatan Fiskal. Fiskal.kemenkeu.go.id. https://fiskal.kemenkeu.go.id/publikasi/siaran-pers-detil/326
Boycko, M., Shleifer, A., & Vishny, R. W. (1993). Privatizing Russia. Brookings.edu/Articles; Brookings. https://www.brookings.edu/articles/privatizing-russia/
Braguinsky, S. (2009). Postcommunist Oligarchs in Russia: Quantitative Analysis. The Journal of Law and Economics, 52(2), 307–349. https://doi.org/10.1086/589656
Council of the European Union. (2024, October 9). EU sanctions against Russia. Https://Www.consilium.europa.eu/En/Policies/Sanctions-Against-Russia/. https://www.consilium.europa.eu/en/policies/sanctions-against-russia/
Dewdney, J. C., McCauley, M., Pipes, R., & Conquest, R. (2018). Soviet Union | History, Leaders, Map, & Facts. In Encyclopædia Britannica. https://www.britannica.com/place/Soviet-Union
Figes, O. (2022). The Story of Russia. Bloomsbury Publishing. https://www.google.co.id/books/edition/The_Story_of_Russia/ZXtUEAAAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=inauthor:%22Orlando+Figes%22&printsec=frontcover
Gerber, Theodore P. (2006). Getting Paid: Wage Arrears and Stratification in Russia. American Journal of Sociology, 111(6), 1816–1870. https://doi.org/10.1086/499511
Goldman, M. (1997). The Pitfalls of Russian Privatization. Challenge, 40(3), 35–49. https://doi.org/10.1080/05775132.1997.11471973
Guriev, S., & Rachinsky, A. (2005). The Role of Oligarchs in Russian Capitalism. Journal of Economic Perspectives, 19(1), 131–150. https://doi.org/10.1257/0895330053147994
Hazard, J. N. (1943). Soviet Goverment Corporations. Michigan Law Review, 41(5). https://repository.law.umich.edu/mlr/vol41/iss5/4/
Hiatt, F. (1992, January 3). PRICES RISE IN RUSSIA. Washington Post; The Washington Post. https://www.washingtonpost.com/archive/politics/1992/01/03/prices-rise-in-russia/487c0218-2ee4-4900-a498-a6ba12867a97/
KBBI. (2016a). KBBI VI Daring – Oligarki. Kemdikbud.go.id. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/oligarki
KBBI. (2016b). KBBI VI Daring – Privatisasi. Kemdikbud.go.id. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/privatisasi
Kokh, A. (1998). The selling of the Soviet empire : politics & economics of Russia’s privatization–revelations of the principal insider. Liberty Publishing House.
Konończuk, W., Cenușa, D., & Kakachia, K. (2017). Oligarchs in Ukraine, Moldova and Georgia as key obstacles to reforms.
Rosenblum, D. (1997). “They Pretend to Pay Us. . . .” The Wage Arrears Crises in the Post-Soviet States. Demokratizatsiya: The Journal of Post-Soviet Democratization, 5(2).
Sandford, D. (2011, August 20). Moscow coup 1991: With Boris Yeltsin on the tank. BBC News. https://www.bbc.com/news/world-europe-14589691
Sokolov, M. (2021). Alfred Kokh. https://www.svoboda.org/a/protesty-putina-ne-ostanovyat-interview-s-alfredom-kohom/31606928.html
The Editors of Encyclopaedia. (2023, June 26). 1991 Soviet coup attempt | Description & Facts | Britannica. Www.britannica.com. https://www.britannica.com/topic/1991-Soviet-coup-attempt
The Editors of Encyclopedia Britannica. (2024). Russian Revolution. In Encyclopædia Britannica. https://www.britannica.com/event/Russian-Revolution
Treisman, D. (2010). “Loans for Shares” Revisited. Post-Soviet Affairs, 26(3), 207–227. https://doi.org/10.2747/1060-586x.26.3.207
U.S. Department of State. (2022, October 20). The Impact of Sanctions and Export Controls on the Russian Federation. United States Department of State. https://www.state.gov/the-impact-of-sanctions-and-export-controls-on-the-russian-federation/
Wikimedia Commons. (2022). File:Voucher.jpg – Wikimedia Commons. Wikimedia.org. https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Voucher.jpg