The Social and Economic Effects of Citayam Fashion Week

Author: Muhammad Putra

Latar Belakang

Pada akhir bulan Mei 2022, kawasan stasiun MRT Dukuh Atas mulai diramaikan oleh remaja dari daerah satelit Jakarta. Pada awalnya, mereka mendatangi stasiun MRT Dukuh Atas untuk sekadar “nongkrong” karena daerahnya yang instagrambale. Kebutuhan untuk membuat konten media sosial pun membuat kawasan tersebut menjadi populer. Ketenaran Citayam Fashion Week (CFW) dimulai dengan konten-konten di social media yang mewawancarai para remaja pendatang dari daerah satelit Jakarta. Para pembuat konten menyoroti gaya berpakaian mereka yang nyentrik dan kepolosan berbicara para remaja tersebut. Setalah itu, berbagai konten lain mulai bermunculan yang ikut meramaikan dearah  stasiun MRT Dukuh Atas. Popularitas fenomena ini memuncak ketika para remaja pendatang mulai berjalan di zebra cross layaknya fashion week.

 

Melawan Eksklusivitas Fashion Week

Pada umumnya fashion week merupakan ajang yang dibuat dan dinikmati oleh kalangan menengah ke atas. Ketika diselenggarakannya ajang fashion week tingkat internasional seperti New York Fashion Week atau Paris Fashion Week, para artis papan atas, pengusaha branded fashion, dan tokoh konglomerat lainnya muncul dengan penampilan mode eksklusif yang kompetitif. Ajang ini menunjukan gaya hidup glamor yang tampaknya di luar jangkauan masyarakat umum. Eksklusivitas menciptakan seluruh lingkungan di sekitarnya yang menarik banyak orang (Valentine, 2021). Inklusivitas dalam industri ini sulit dijangkau karena hanya segelintir orang yang dapat menaklukan catwalk pada fashion week. Proyek seperti Emma Rogue terus mengembangkan komunitas artis dan golongan menengah keatas dengan mengundang mereka ke pertunjukan fashion week. Hal ini menyebabkan proyek fashion week berkutat pada kalangan tertentu saja. 

Fashion week adalah kesempatan bagi desainer mapan untuk memamerkan gaya dan pakaian terbaru. Di sisi lain, ajang ini menjadi kesempatan bagi yang sedang naik daun untuk membangun personal branding. Saya merasa ada banyak influencer yang menghadiri fashion week. Sebelumnya, ajang ini dihadiri tokoh fashion papan atas tapi sekarang mulai bermunculan munculnya influencer yang duduk di barisan depan di pekan mode dan mendapatkan wawancara (Berk, 2021).

Tren pada kebiasaan sebagian orang di kota besar dunia seperti New York dan Paris meningkatkan ketenaran dari fashion week yang hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu dan paling berjejaring di kota. Fashion week merpukan tempat suci bagi para elit yang mempertunjukan mode pakaian dengan gaya hidup borjuis. Terjadi fenomena dimana orang yang sangat kaya lebih suka berada di sekitar orang yang sangat kaya pada berbagai segi kehidupan tak terkecuali dalam peragaan fashion (Schwartz, 2021). Terbentuk tembok penghalang antara kaum berada dan kaum yang kurang beruntung. Schwartz mengeksplorasi sejumlah area di mana ketidaksetaraan yang berkembang menentukan fungsi ekonomi sehari-hari, dari rumah sakit, taman hiburan, pendidikan, hingga fashion week. 

Eksklusivitas fashion week ini dipatahkan oleh kehadiran fashion week. Sosok belum pernah diketahui sebelumnya mendapatkan panggung untuk mengekspresikan diri dan mendapatkan exposure yang luas di bidang fashion. Para model yang meramaikan CFW adalah remaja dari Depok, Citayam, dan Bojonggede, daerah penyangga Jakarta. Dari konten di social media lahirlah influencer fashion baru seperti Kurma, Bonge, Jeje Slebew, Roy, dan Alpin yang semuanya berasal dari daerah sekitar Jakarta.

Street fashion ini merupakan salah satu cara para remaja untuk menunjukkan identitasnya. Dengan adanya street fashion, remaja ini mampu menarik perhatian sehingga keberadaan mereka pun diakui. Selain itu, CFW sebagai subversif perkotaan mengindikasikan adanya inisiatif, kreativitas, dan langkah nyata dari masyarakat yang tidak mendapatkan akses pada kebutuhan tertentu. (Kartono, 2022). Beberapa masyarakat juga memiliki keinginan untuk mengikuti ajang mode seperti fashion show. Namun, tak sembarang orang bisa mengikutinya. Oleh karena itu, muncul kreativitas dari yang memiliki kebutuhan, tapi tidak memiliki akses menuju fashion week. Kreativitas ini yang kemudian berkembang di jalan. Urban subversif itu berkembang di jalan, kemudian berkembang menjadi tampilan seperti CFW. 

Namun, CFW mulai diambil alih oleh pejabat, kalangan menegah atas, hingga artis untuk membuat konten. Tren CFW berpotensi dikuasai oleh kalangan menengah ke atas yang memiliki sumber daya sosial dan ekonomi yang lebih (Nugroho, 2022). Hal itu akan membuat para remaja dari Citayam, Bojonggede, dan Depok yang memulai tren tersebut justru tersingkir atau bukan sebagai pemain utama CFW.

 

Multipiler Effect Bagi Ekonomi Sekitar

Citayam Fashion Week memberikan multpilier effect bagi UMKM yang dapat hadir di sekitar stasiun MRT Dukuh Atas. Multpilier Effect meruapkan keadaan dimana  suatu fenomena atau kejadian ekonomi dapat mempengaruhi kegiatan ekonomi lain. Disni CFW menjadi pusat keramaian yang dapat meningkatkan roda perekonomian di sekitarnya. Oleh karena itu, manfaat dari CFW tidak hanya dirasakan oleh remaja dari daerah satelit jakarta tapi juga para pelaku UMKM. 

Fenomena CFW juga telah berdampak bagi ekonomi sekitar. Sebagai contohnya ada kesaksian dari Satrling (Starbuck keliling) atau semacam penjual kopi jalanan yang dapat meraup omzet Rp700 ribu per hari (Kasali, 2022). Selain itu, ramainya remaja di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, atau dijuluki CFW, mendapat tanggapan positif dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno. Para UMKM yang ada di sekitar daerah CFW itu meningkat sampai dua kali lipat dari sebelumnya. Hal ini dirasakan oleh penjual kopi keliling sampai penjual makanan kering (Uno, 2022).

 

Intellectual Property dari Citayam Fashion Week

Dengan efek ekonomi yang dihasilkan Citayam Fashion Week, beberepa pihak melihat potensi komersilnya sehingga mencoba untuk mendapatkan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dari nama CFW. Pihak yang memiliki HAKI akan akan perlindungan hukum terhadap hasil cipta karya serta nilai ekonomis yang terkandung di dalamnya. Selain itu, sebuah perlindungan akan aset berharga yang dipunyai perorangan ataupun kelompok dalam bentuk hasil karya. Jika suatu ide telah mendapatkan HAKI dan digunakan oleh orang lain maka pemegang hak tersebut berhak mendapatkan royalti atas kepemilikan ide tersebut.

Kenyataanya, CFW dicetuskan dan dipopulerkan oleh remaja Citayam melalui social media. Namun, ide orisinil mereka mulai diperebutkan oleh para influencer. Saat ini, terdapat dua influencer berebut HAKI atas CFW, yaitu perusahaan Tiger Wong Entertainment milik Baim Wong dan perusahaan milik Indigo Aditya Nugraha. Baim Wong juga disebutkan akan menggelar CFW dengan nama perusahaannya pada bulan Agustus. Dalam lama resmi PDKI, Baim mengajukan permohonan dengan nama brand CFW dengan nomor registrasi Jid2022052181. Permohonan Baim tercatat di Kemenkumham pada 20 Juli 2022. Pihak yang dapat meraup keuntungan melalui komersialisasi dari brand CFW adalah mereka yang mendapatkan HAKI. Sangat disayangkan apabila ide yang dilahirkan oleh remaja citayam seolah digunakan oleh para influencer melalui proses pengajuan HAKI tersebut. Ketidaktahuan akan proses klaim atas intelectual property seakan dimanfaatkan oleh para influencer yang memiliki surplus sumber daya dan pengetahuan. Oleh karena itu, yang patut dipertanyakan adalah tujuan dan rencana dari para influencer mengajukan HAKI. 

Sementara itu, Koordinator Humas Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham Irma tidak mempermasalahkan rebutan klaim CFW. Proses untuk mendapatkan hak atas nama tersebut memerlukan waktu lama serta tergantung dari dari persyaratan yang harus dipenuhi pihak pengaju (Irma, 2022). Selanjutnya, DJKI Kemenkumham akan mengumumkan hasilnya dalam waktu 2 bulan.

Dikhawatirkan, jika CFW mendapatkan HAKI maka akan dieksploitasi untuk tujuan dan kepentingan ekonomis melalui hak eksklusif. Seharusnya CFW menjadi public goods sehingga menjadi wadah inklusif yang dapat digunakan oleh semua orang. Daripada menjadi merek dagang, CFW lebih sesuai untuk menjadi gaya hidup yang dapat diutilisasi oleh masyarakat luas tanpa biaya tertentu. Hal ini dikarenakan proses dari penciptaanya hingga populer, CFW melibatkan berbagai pihak secara sukarela

 

Rekomendasi

Citayam Fashion Week dapat dikelola dan dikembangkan seperti gelaran yang sama yaitu Harajuku Fashion Street di distrik Shibuya Tokyo dan La Sape, singkatan dari Société des ambianceurs et des personnes elegantes atau Society of Atmosphere-setters di Republik Kongo pada awal abad ke-20. Harajuku dikenal secara internasional sebagai pusat budaya dan mode anak muda Jepang. Harajuku memiliki kawasan khusus yang tidak menganggu lalu lintas. Dapat ditemukan berbagai pilihan toko belanja dan makanan mencakup butik dan kafe kecil yang berorientasi pada anak muda, tetapi lingkungan ini juga menarik banyak toko rantai internasional yang lebih besar dengan pedagang barang mewah kelas atas yang tersebar luas di sepanjang Omotesando. Kawasan khusus yang berisi berbagai toko makanan dan fashion sepatutnya dicontoh oleh CFW supaya tidak terjadi kemacetan lalu lintas dan memperdayakan UMKM. 

Selain itu, sejak dicetuskannya Harajuku sejak 1970, kawasannya telah menjadi objek pariwisata lokal maupun mancanegara. Pihak pemerintah khususnya pariwisata seharusnya mewadahi euforia dalam bentuk kawasan dan mendukungnya secara konsisten supaya tidak menjadi hype sementara. Dari perspektif Pengembangan Ekonomi Pariwisata (Tourism Economic Development-TED) yang merupakan konsep yang menekankan kepada pemberdayaan komunitas untuk lebih memahami nilai-nilai dan aset yang mereka miliki, seperti kebudayaan, adat istiadat, ragam kuliner, gaya hidup (Hasan, 2018). Seharusnya CFW menjadi aset gaya hidup dan budaya seperti Harujuku di Jepang sehingga menjadikan Ciatyam Fashion Week salah satu objek wisata. 

 

Kesimpulan

Citayam Fashion Week mampu melawan stigma ekslusif dari fashion week dan memberikan wadah bagi masyarakat luas untuk mengeksresikan diri. CFW telah meberikan dampak dan memiliki potensi ekonomi sehingga pemerintah seharusnya hadir mengelola CFW sebagai public goods yang dapat dimanfaaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat. Di sisi lain, telah muncul eksternalitas berbentuk kemacetan yang perlu diorganisir melalui kawasan khusus diluar lalu lintas. Intervensi yang dilakukan pemerintah juga harus dapat memberikan ruang bagi pelaku fashion dan UMKM untuk berkreasi dan berkembang. CFW sebagai sentra keramaian juga berpotensi menjadi tempat pariwisata baru bagi wisatwan lokal maupun internasional.

 

Daftar Pustaka

LOFTIS, A. (2022). Breaking the Fashion Cycle of Exclusivity. The Observer. https://fordhamobserver.com/67847/recent/arts-and-culture/breaking-the-fashion-cycle-of-exclusivity/

Stein, N., Spinler, S., & Vanthournout, H. (2020). Face-to-Face Communication as A Tool to Support Second-Hand Fashion Sales: A Field Experiment at Fashion Week in Berlin. Sustainability, 12(5), 1758. https://doi.org/10.3390/su12051758 

Kanishk Tharoor. (2020, April 21). The Exclusivity Economy. The New Republic. https://newrepublic.com/article/157153/velvet-rope-economy-book-review-rich-exclusivity-hides-inequality 

Pohlmann, A. (2016). Harajuku: Tokyo street fashion, Honolulu Museum of Art, 19 November 2015-3 April 2016. Critical Studies in Men’s Fashion, 3(1), 47–52. https://go.gale.com/ps/i.do?id=GALE%7CA472848263&sid=googleScholar&v=2.1&it=r&linkaccess=abs&issn=2050070X&p=AONE&sw=w&userGroupName=anon%7E9d5f974b 

Ostrom, V., & Ostrom, E. (2019). Public Goods and Public Choices. Alternatives for Delivering Public Services, 7–49. https://doi.org/10.4324/9780429047978-2 

Kim, H. E. (2015). A Study on the Characteristics and Trends of Sustainable Fashion through Esthetica at London Fashion Week. Fashion & Textile Research Journal, 17(2), 168–177. https://doi.org/10.5805/sfti.2015.17.2.168 

Performing the Branded Self: Harajuku Fashion and South Korean Cosmetics as Tools of Neoliberal Self-Branding on Social Media – ProQuest. (2019). Proquest.com. https://www.proquest.com/openview/e382cced6d14d908ea82941c3a68c88c/1?pq-origsite=gscholar&cbl=18750&diss=y 

Hardiyanto, S. (2022, July 21). Aksi Jajaran Pejabat di Citayam Fashion Week, Ada Anies hingga Ridwan Kamil Halaman all – Kompas.com. KOMPAS.com; Kompas.com. https://www.kompas.com/tren/read/2022/07/21/080400465/aksi-jajaran-pejabat-di-citayam-fashion-week-ada-anies-hingga-ridwan-kamil?page=all 

Tia Dwitiani Komalasari. (2022, July 26). Baim Wong Batalkan Pendaftaran HAKI Citayam Fashion Week. Katadata.co.id; Katadata.co.id. https://katadata.co.id/tiakomalasari/berita/62df593b478ec/baim-wong-batalkan-pendaftaran-haki-citayam-fashion-week 

Adira Azzahra. (2022, July 21). Tanggapan Sosiolog tentang Fenomena Citayam Fashion Week. Ngelmu.co. https://www.ngelmu.co/tanggapan-sosiolog-tentang-fenomena-citayam-fashion-week/ 

Rendika Ferri Kurniawan. (2022, July 25). Baim Wong Daftarkan HAKI “Citayam Fashion Week”, Apa Itu HAKI? Halaman all – Kompas.com. KOMPAS.com; Kompas.com. https://www.kompas.com/tren/read/2022/07/25/180000965/baim-wong-daftarkan-haki-citayam-fashion-week-apa-itu-haki-?page=all 

Simorangkir, E. (2022, July 26). Podcast: Heboh Citayam Fashion Week “Dicuri” (ft. Rhenald Kasali). Detikfinance; detikcom. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-6198805/podcast-heboh-citayam-fashion-week-dicuri-ft-rhenald-kasali  

Risna Halidi. (2022, July 26). Ini Alasan Baim Wong Batal Patenkan Hak Kekayaan Intelektual Citayam Fashion Week. Suara.com; Suara.com. https://www.suara.com/lifestyle/2022/07/26/113636/ini-alasan-baim-wong-batal-patenkan-hak-kekayaan-intelektual-citayam-fashion-week 

Guðlaug, I. (2015). Fashion Subcultures in Japan. A multilayered history of street fashion in Japan. Skemman.is. https://skemman.is/handle/1946/22798 

Novie Fauziah. (2022, July 25). Cerita Sandiaga Uno saat Datang ke Citayam Fashion Week. Https://Economy.okezone.com/; Okezone.com. https://economy.okezone.com/read/2022/07/25/320/2636107/cerita-sandiaga-uno-saat-datang-ke-citayam-fashion-week