Economic Aspects in Delayed-Marriage Decision
Oleh : Saffanah Calista
Seiring berjalannya waktu, pernikahan mulai dipandang secara berbeda dari sebelumnya. Pernikahan sudah tidak dilihat sebatas institusi keagamaan dan “sehidup semati” (Grossi, 2014). Tak hanya perubahan pandangan terhadap pernikahan, perubahan terkait kapan waktu yang tepat untuk menikah juga terjadi di berbagai negara. Hal ini berimbas pada semakin banyaknya negara yang mengalami tren penundaan pernikahan walaupun dengan kecepatan berbeda.
Trend in Marriage
Baik negara pendapatan tinggi maupun negara pendapatan rendah, masing-masing cenderung menunjukkan tren penundaan pernikahan. Tak hanya itu, tren peningkatan usia rata-rata pria dan wanita saat pernikahan pertama juga dirasakan oleh sebagian besar negara di dunia. Berdasarkan laporan World Bank (2020), sejak 1995 hingga sekarang, terjadi peningkatan usia rata-rata pria dan wanita saat menikah pertama kali. Eropa dan Asia Tengah menjadi bagian dunia dengan usia rata-rata tertua saat menikah pertama kali, yaitu 27 dan 30 tahun untuk wanita dan pria.
Hasil survei yang dikeluarkan oleh Organisation for Economic Co-Operation and Development atau OECD (2016) juga mendukung laporan yang dikeluarkan oleh World Bank. Berdasarkan survei OECD di negara anggota pada tahun 2016, usia rata-rata wanita dan pria saat menikah pertama kali adalah 30 dan 32 tahun. Apabila dibandingkan dengan 1990-an, telah terjadi peningkatan usia rata-rata menikah yang tadinya 25 tahun untuk wanita dan 27 tahun untuk pria
Grafik 1. Usia Rata-Rata saat Pernikahan Pertama Berdasarkan Gender Tahun 1990 dan 2016
Sumber : OECD 2019
Tren penundaan pernikahan juga dirasakan oleh beberapa negara di Asia Timur dan Asia Tenggara, seperti Korea Selatan. Dilansir dari The Korea Herald (2017), pada tahun 1996 pria dan wanita Korea rata-rata memutuskan untuk menikah pada usia 28,4 dan 25,5 tahun. Namun, data tahun 2016 menunjukan rata-rata pria dan wanita Korea menikah saat mereka berusia 32,8 dan 30,1 tahun. Dalam konteks Korea Selatan, tren penundaan pernikahan sudah terjadi sejak tahun 1940 saat negara tersebut ikut terseret dalam Perang Dunia II, sedangkan tren tidak menikah mulai terjadi di Korea Selatan sejak 1960-an. Penundaan pernikahan yang terjadi di Korea Selatan ialah respon masyarakat terhadap industrialisasi, urbanisasi, dan meningkatnya partisipasi wanita dalam kegiatan ekonomi dan pendidikan yang terjadi di negara tersebut.
Namun, tren penundaan pernikahan kurang ditunjukan oleh negara di Asia Selatan seperti India. Berdasarkan National Family Health Survey (2017) yang dikeluarkan oleh
Kementerian Kesehatan India, sebanyak 40% wanita berusia 20-49 tahun menikah untuk pertama kali sebelum usia 18 tahun, sedangkan sebesar 26% pria berusia 25-49 tahun menikah sebelum usia 21 tahun. Kondisi yang terjadi di Asia Selatan cenderung berbeda dengan negara di Asia Timur yang telah mengalami pertumbuhan ekonomi secara rapid dan wanita dengan pendidikan tinggi telah menjadi suatu hal yang biasa (Jones, 2010).
Factors Affecting Delayed Marriage
Terjadinya modernisasi berperan dalam menjelaskan tren penundaan pernikahan yang dialami negara-negara di dunia. Wilbert E. Moore (1965) mendefinisikan modernisasi sebagai suatu transformasi total kehidupan dari kehidupan tradisional menjadi kehidupan yang bergerak ke arah pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri-ciri negara barat yang stabil. Menurut Rossel (2017), kemajuan kegiatan ekonomi akibat modernisasi akan menstimulasi terjadinya urbanisasi, perbaikan birokrasi, demokrasi, kesetaraan gender, tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan terciptanya peluang pekerjaan.
Kesetaraan gender, tingkat pendidikan, dan partisipasi dalam pasar tenaga kerja pada akhirnya akan mempengaruhi keputusan seorang individu untuk menikah. Seorang individu akan dihadapkan dengan kondisi trade off antara manfaat yang ia terima apabila tidak menikah dan berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja dengan manfaat yang ia terima sebagai pasangan. Menurut Oppenheimer dalam A Theory of Marriage Timing (1988), pasangan akan memutuskan untuk menikah karena mereka berekspektasi dapat meraih lebih banyak manfaat daripada saat mereka sendiri.
Dari sisi wanita, tingginya tingkat pendidikan dan pendapatan cenderung akan menghasilkan keputusan untuk menunda pernikahan. Berdasarkan the economic independence hypothesis oleh Gary S. Becker (1981), tren untuk menikah menurun di kalangan wanita dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Tingginya potensi pendapatan yang mereka miliki akan mengurangi manfaat dari spesialisasi dan pertukaran yang ditawarkan oleh pernikahan. Namun, menurut Oppenheimer (1988), wanita berpendidikan bukan tidak menikah, tetapi menunda pernikahan untuk dilaksanakan di masa depan. Selain itu, studi yang dilakukan Chinhui Juhn dan Kristin McCue (2016) juga menunjukan bahwa wanita berpendidikan akan lebih mungkin untuk menikah karena dianggap lebih mampu menopang kestabilan pernikahan.
Sebaliknya, terjadi korelasi positif antara tingkat pendidikan dan pendapatan dengan keputusan seorang pria untuk menikah. Saat sudah memiliki kehidupan mapan dan merasa siap, seorang pria cenderung tidak menunda pernikahannya. Dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi, seorang pria dianggap lebih mampu memenuhi perannya dalam pernikahan tradisional sebagai family breadwinner atau pencari nafkah.
Selain faktor ekonomi dan pendidikan, perubahan pandangan dan nilai terkait pernikahan turut mempengaruhi keputusan seseorang untuk menikah. Sebagian masyarakat sudah tidak melihat pernikahan sebagai suatu kewajiban dan sebagai satu-satunya opsi yang tersedia. Pernikahan telah kehilangan tempatnya sebagai “syarat” untuk dapat melakukan hubungan seksual, melahirkan dan membesarkan anak, atau menghabiskan hidup bersama dengan
pasangan (Manting, 1996). Muncul opsi kohabitasi atau dikenal dengan “kumpul kebo” sebagai opsi alternatif dari pernikahan. Kohabitasi sendiri ialah hidup bersama seperti pasangan yang telah menikah (Merriam-Webster, 2021). Bagi beberapa orang dewasa opsi
“kumpul kebo” telah menjadi opsi lain yang dapat dipilih (Furstenberg, 2015)
Economic Factor Affecting Marital Stability
Pertimbangan faktor ekonomi tidak hanya digunakan untuk mengambil keputusan menikah atau tidak menikah. Kesiapan ekonomi atau finansial seseorang saat menikah juga akan mempengaruhi kestabilan pernikahan yang ia miliki. Penelitian yang diselenggarakan oleh Russell Sage Foundation pada tahun 2016 menunjukan adanya korelasi antara kekayaan, tingkat aset, dan kondisi hutang dengan kestabilan pernikahan. Menurut Conger, Conger, dan Martin (2010), wanita dan pria yang memiliki tingkat pendidikan dan pendapatan lebih tinggi akan memiliki kemungkinan lebih kecil untuk mengalami masalah finansial dan ketidakamanan ekonomi dalam pernikahan. Sebagai contoh, sepasang suami istri dengan pendapatan yang lebih tinggi tidak perlu memikirkan apakah mereka masih dapat tinggal di tempat yang mereka tinggali.
Marriage and Gross Domestic Product
Ditemukan pula korelasi antara pernikahan dan tingkat PDB suatu negara. PDB atau Produk Domestik Bruto sendiri ialah nilai pasar barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam periode waktu tertentu. Tingkat PDB suatu negara nantinya secara tidak langsung akan mempengaruhi tren perbedaan usia pasangan yang menikah di negara tersebut. Hal tersebut dapat terjadi sebab negara dengan PDB tinggi akan mampu menyediakan berbagai fasilitas untuk penduduknya, termasuk fasilitas pendidikan.
Berdasarkan Mansour dan McKinnish dalam Who Marries Differently Aged Spouses? Ability, Education, Occupation, Earnings, and Appearance (2014), perbedaan usia pria dan wanita saat pernikahan pertama memiliki korelasi dengan tingkat pendidikan dan kualitas dari individu bersangkutan. Pria dan wanita yang lebih terpelajar cenderung menghabiskan lebih banyak waktu dengan sesama yang berusia sepantaran, lebih mungkin untuk melanjutkan pendidikan di sekolah pascasarjana dengan kualitas bagus, dan memiliki pekerjaan yang memungkinkan terjadi mobilitas sosial secara vertikal. Kesempatan ini kemudian membuka peluang terjadinya pertemuan dengan calon pasangan potensial yang memiliki jarak usia tidak terlalu jauh.
Berdasarkan publikasi yang dikeluarkan World Bank (2020) mengenai perbedaan usia pasangan saat pernikahan pertama, negara di benua Eropa dan Asia Tengah dengan PDB yang lebih tinggi cenderung memiliki perbedaan usia pasangan yang lebih kecil daripada negara di Sub-Sahara Afrika yang cenderung memiliki PDB lebih rendah.
Grafik 2. Perbedaan Usia saat Pernikahan Pertama dan Pendapatan Nasional
Sumber : World Bank Blog 2020
Fenomena kecenderungan seseorang untuk menikah dengan orang yang dianggap “selevel” juga dikenal dengan istilah assortative mating. Keberadaan assortative mating di antara pasangan dengan pendapatan tinggi atau menengah nantinya dapat melahirkan ketimpangan pendapatan (Schwartz, 2010). Apabila dibandingkan dengan kalangan wanita dengan suami berpendapatan rendah, peningkatan pendapatan dan partisipasi dalam angkatan kerja terjadi secara tidak proporsional di kalangan wanita yang memiliki suami berpendapatan tinggi atau menengah (Juhn dan Murphy, 1997). Hal ini nantinya akan menyebabkan ketimpangan ekonomi yang semakin besar di antara pasangan-pasangan menikah (Schwartz, 2010).
Conclusion
Tren penundaan pernikahan yang dialami suatu negara dapat menjelaskan banyak hal mengenai negara tersebut. Sebagai contoh, Korea Selatan dan India, tren penundaan lebih dahulu tampak di Korea Selatan daripada di India sebagai respon terhadap industrialisasi, urbanisasi, dan partisipasi wanita dalam kegiatan ekonomi yang sudah terjadi sejak 1940-an. Adanya tren ini juga memperlihatkan adanya kecenderungan seseorang untuk menikah saat sudah mapan secara ekonomi. Tak hanya itu, tren penundaan pernikahan juga berkorelasi dengan PDB suatu negara, penduduk negara dengan PDB tinggi cenderung akan menunda pernikahan dan menikah dengan seseorang yang “selevel” dengannya. Lantas, apakah tren penundaan pernikahan akan terus berlanjut dan berakhir pada hilangnya pernikahan?
Daftar Pustaka
Becker, Gary S. 1973. “A Theory of Marriage: Part 1”. Journal of Political Economy, Vol. 81
No. 4. Diakses pada 24 Maret 2021. https://www.jstor.org/stable/1831130
Boertien, Diederik, dan Juho Härkönen. 2018. “Why Does Women’s Education Stabilize Marriages?”. Demographic Research, Vol.38, No. 41. Diakses pada 16 Maret 2021. http://www.demographic-research.org/Volumes/Vol38/41/
Furstenberg, Frank. 2015. “Will Marriage Disappear?”. Proceedings of the American Philosophical Society 158 (3). Diakses pada 14 April 2021.
https://repository.upenn.edu/sociology_papers/5/
Ga Young, Park. 2017. “More Koreans Get Married Late or Not at All”. Koreaherald, 22 Maret. Diakses pada 9 April 2021. http://www.koreaherald.com/view.php?ud=20170322000863
Greenwood, Jeremy, Nezih Guner, Georgi Kocharkov, dan Cezar Santos. 2014. “Marry Your Like: Assortative Mating and Income Inequality”. The American Economic Review , Vol. 104, No. 5. Diakses pada 14 April 2021. https://www.jstor.org/stable/42920961
Grossi, Renata. 2014. “Looking for Love in the Legal Discourse of Marriage Book”. Australia: ANU Press. Diakses pada 14 April 2021.
https://www.jstor.org/stable/j.ctt13www3x.5
Halim, Daniel, dan Sergio Rivera. 2020. “Love, Marriage, And Development: 4 Observations”. The World Bank, 14 Februari. Diakses pada 9 April 2021. https://Blogs.Worldbank.Org/Opendata/Love-Marriage-And-Development-4-Observati ons
International Institute for Population Sciences. 2017. “National Family Health Survey (NFHS-4) 2015-16”. International Institute for Population Sciences, Desember. Diakses pada 1 April 2021.
https://ruralindiaonline.org/en/library/resource/national-family-health-survey-nfhs-4-20 15-16-india/
Jones, Gavin W. 2010. “Changing Marriage Patterns in Asia”. Asia Research Institute Working Paper Series No. 131. Diakses pada 14 April 2021. https://dx.doi.org/10.2139/ssrn.1716533
Juhn, Chinhui dan Kevin M. Murphy. 1997. “Wage Inequality and Family Labor Supply”. Journal of Labor Economics Vol. 15, No. 1, Part 1. Diakses pada 14 April 2021. https://www.jstor.org/stable/2535315
Juhn, Chinhui dan Kristin McCue. 2016. “Selection and Specialization in the Evolution of Marriage Earnings Gaps”. RSF: The Russell Sage Foundation Journal of the Social Sciences, Vol. 2, No. 4. Diakses pada 11 April 2021. https://www.jstor.org/stable/10.7758/rsf.2016.2.4.09
Mankiw, N. Gregory. Principles of Economics 8th Edition. USA: Cengage Learning, 2015.
Mansour, Hani, dan Terra McKinnish. 2014. “Who Marries Differently Aged Spouses? Ability, Education, Occupation, Earnings, and Appearance”. The Review of Economics and Statistics, Vol. 96, No.3. https://www.jstor.org/stable/43555345
Manting, Dorien. 1996. “The Changing Meaning of Cohabitation and Marriage”. European Sociological Review , Vol. 12, No. 1. Diakses pada 11 April 2021. https://www.jstor.org/stable/522774
Moore, Wilbert E. 1965. “Social Verandering”. Social Change. Diterjemahkan oleh A. Basoski, Prisma Boeken, Utrech, Antwepen.
OECD. 2019. “Society at a Glance 2019”. OECD Publishing. Diakses pada 10 April 2021.
https://doi.org/10.1787/186e38db-en
Oppenheimer, Valerie. K. 1988. “A Theory of Marriage Timing”. American Journal of Sociology, Vol. 94, No. 3. Diakses pada 19 Maret 2021. https://www.jstor.org/stable/2780254
Sam Hyun, Yoo. 2016. “Postponement and Recuperation in Cohort Marriage: The Experience of South Korea”. Demographic Research, Vol. 35. Diakses pada 9 April 2021. https://www.jstor.org/stable/26332103
Schneider, Daniel. 2011. “Wealth and The Marital Divide”. American Journal of Sociology, Vol. 117, No. 2. Diakses pada 16 Maret 2021. https://www.jstor.org/stable/10.1086/661594
Schwartz, Christine R. 2010. “Earnings Inequality and the Changing Association between Spouses’ Earnings”. American Journal of Sociology , Vol. 115, No. 5. Diakses pada 14 April 2021. https://www.jstor.org/stable/10.1086/651373
Turney, Kristin dan Daniel Schneider. 2016. “Incarceration and Household Asset Ownership”. Demography, Vol. 53, No. 6. Diakses pada 16 Maret 2021. https://www.jstor.org/stable/44161227